tirto.id - Puluhan massa seniman muda yang mengatasnamakan Seniman Selatan Yogyakarta ikut dalam aksi Gejayan Memanggil Jilid 2. Mereka membuat pertunjukan seni untuk mengkritik DPR dan Pemerintah.
"[Kami dari] Seniman Selatan [Yogya]. Kita bergerak aja, kita sudah resah [...] Enggak bisa gini terus. Aturan-aturan yang dibikin itu aneh enggak masuk akal," kata Ilham (23) salah satu seniman muda yang ikut dalam aksi Gejayan Memanggil Jilid 2, Senin (30/9/2019).
Salah satu aturan yang tak masuk akal menurutnya adalah pasal di RKUHP yang mengatur tentang ayam yang tak boleh masuk di pekarangan tetangga.
Atas dasar keresahan itu, kemudian ia dan rekan-rekannya bergerak. Mereka membuat pertunjukkan seni, beberapa dari mereka ada yang mengecat badan, mengenakan topeng plastik dan ada juga topeng babi.
"[Pertunjukkan seni ini] kritik untuk anggota dewan. Mungkin kelakuannya kayak yang di depan itu ada yang pakai topeng babi," kata Vidia, seniman muda lain yang tergabung dalam Seniman Selatan Yogya.
"Kita juga bikin lukisan. Kita berbicara pakai lukisan," tambah Ilham.
Demo mahasiswa Gejayan Memanggil 2 menuntut Presiden Jokowi terbitkan Perppu terkait UU KPK, merevisi pasal bermasalah RKUHP hingga RUU Minerba.
Demo mahasiswa Gejayan Memanggil jilid 2 di Yogyakarta pada Senin (30/9/2019) diikuti ribuan massa yang tergabung mulai dari mahasiswa, pelajar, buruh, masyarakat umum hingga gelandangan.
Terdapat sembilan tuntutan yang diajukan dalam demo Gejalan Memanggil 2. Juru Bicara Aliansi Rakyat Bergerak, Nailendra, mengatakan terdapat sejumlah masalah demokrasi di Indonesia yang belum terselesaikan usai Reformasi 98.
"Permasalahan yang menyerang KPK. Pertama, permasalahan yang marak dibahas adalah bagaimana dengan statusnya sebagai lembaga independen menegakkan hukum di bidang korupsi dalam RUU Tindak Pidana Korupsi," kata Nailendra.
"Kedua, salah satunya yang juga menarik dibahas adalah pegawai KPK yang tidak lagi menjadi Pegawai tetap dan berasal dari luar KPK."
Ia melanjutkan, permasalahan ketiga, Status ASN yang akan memengaruhi dan menimbulkan pertanyaan terkait independensi KPK dan pemerintah. Keempat, adalah penyelidik KPK yang hanya berasal dari kepolisian.
Tak hanya KPK, persoalan lainnya soal pelanggaran HAM dan HAM berat. Hal ini implikasi dari permainan elite politik dalam dinamika UU Pengadilan HAM salah satunya adalah impunitas.
Impunitas didefinisikan sebagai ketidakmungkinan pelaku pelanggaran HAM untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.
Hal ini menjadi kegagalan negara dalam menegakkan HAM di Indonesia. Terbukti, hampir seluruh pengadilan HAM berakhir tanpa pelaku yang dijerat pidana, ujar Nailendra.
Ada juga pemasalah UU Pertanahan, militerisme dan pelanggaran HAM di Papua serta pembakaran hutan. Selain permasalahan di atas, ada pula beberapa hal mendesak yang perlu disuarakan.
Hal tersebut melingkupi penangkapan aktivis pro demokrasi, perlakuan represif aparat negara terhadap massa aksi beberapa hari ini, perlakuan represif terhadap petani penolak korporasi, revisi UU Minerba, dan juga RKUHP.
Atas hal tersebut Aliansi Rakyat Bergerak menuntut 9 hal:
1. Hentikan segala bentuk represi dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat.
2. Tarik seluruh komponen militer, usut tuntas pelanggaran HAM, buka ruang demokrasi seluas-luasnya di Papua.
3. Mendesak pemerintah pusat untuk segera menanggulangi bencana dan menyelamatkan korban, tangkap dan adili pengusaha dan korporasi pembakar hutan, serta cabut HGU dan hentikan pemberian izin baru bari perusahaan besar perkebunan.
4. Mendesak presiden untuk menerbitkan Perppu terkait UU KPK.
5. Mendesak presiden untuk menerbitkan Perppu terkait UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
7. Merevisi pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam RKUHP dan meninjau ulang pasal-pasal tersebut dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil.
8. Menolak RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, dan RUU Minerba.
9. Tuntaskan pelanggaran HAM dan HAM berat serta adili penjahat HAM.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Alexander Haryanto