Menuju konten utama

Panic Buying dan Dampaknya Terhadap Ekonomi

Perilaku panic buying dapat menguntungkan para pemburu rente. Di sisi lain, mempersiapkan masa isolasi menurut sejumlah akademisi, adalah ekspresi dari mekanisme bertahan hidup manusia.

Panic Buying dan Dampaknya Terhadap Ekonomi
Ilustrasi panic buying. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Hampir setiap hari memang Ayu terbiasa membeli bahan makanan di pasar dekat rumah tinggalnya. Termasuk pada Selasa (3/3/2020), tepat satu hari setelah pengumuman resmi dua warga negara Indonesia dinyatakan terpapar virus Corona oleh Presiden RI, Joko Widodo.

Ayu tidak menyangka bahwa hari itu pasar yang biasa ia sambangi akan penuh sesak dengan pembeli. Ia bahkan menjadi saksi betapa banyak orang yang memborong bahan pangan, mulai dari daging ayam, beras, gula, sampai bahan pokok lainnya. Tak hanya itu, orang-orang pun banyak yang memborong bumbu dapur seperti jahe dan yang lainnya.

“Fresh Market Kota Wisata Cibubur kemarin itu udah kayak lebaran, sampai banyak toko yang kehabisan stok sembako. Pasar penuhnya ampun-ampun, sampai gerak aja susah,” cerita Ayu mengawali perbincangan dengan Tirto.

“Aku mau beli ayam seekor buat masak hari itu aja harus rebutan sama ibu-ibu yang beli ayam sampai 15 ekor. Belum lagi yang pada borong beras, gula, sampai berkarung-karung. Banyak juga yang borong jahe, jadinya harga jahe mahal sampe Rp50 ribu padahal biasanya Rp35 ribu. Aku cuma beli satu batang, buat masak.”

Hal lain yang sulit didapat Ayu bahkan hingga saat ini adalah masker dan juga hand sanitizer. Ayu bilang, ia mencari dua barang ini lantaran pihak sekolah sang anak mewajibkan setiap anak untuk membawa cairan pembersih tangan. Benda itu menurut Ayu masih sulit dicari hingga saat ini, termasuk masker di berbagai convenience store dekat rumahnya di bilangan Cibubur.

Hand sanitizer sama masker sudah dari pas pengumuman Indonesia terpapar Virus Corona, barangnya langsung sulit dicari. Jujur aja, aku engga ikut-ikutan panic buying karena menurutku, sebaran Virus Corona di sini masih bisa tertangani. Semoga memang benar bisa tertangani dengan baik,” harap Ayu.

Panic Buying dan Ekonomi

Penimbunan barang yang dilakukan oleh konsumen atau masyarakat ketika ada situasi tertentu yang dipandang gawat atau darurat kerap dikenal dengan istilah panic buying. Perilaku panic buying ini menurut Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dipicu oleh faktor psikologis yang biasanya terjadi karena informasi tidak sempurna atau menyeluruh yang diterima oleh masyarakat. Akibatnya, timbul kekhawatiran di masyarakat sehingga menimbulkan respons tindakan belanja secara masif sebagai upaya penyelamatan diri.

Terdapat dua bentuk kekhawatiran yang terjadi di masyarakat. Pertama adalah khawatir kalau tidak belanja sekarang, bisa saja besok harga barang naik. Kedua, jika tidak belanja sekarang, maka esok hari barangnya sudah tidak ada. "Seperti inilah kondisi panic buying yang sekarang ini terjadi, terutama untuk masker," jelas Enny kepada Tirto.

Dalam ekonomi, maraknya orang yang memburu suatu barang, seperti masker, memengaruhi sisi permintaan. Sebagaimana hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi berlaku yaitu: jika terjadi permintaan tinggi karena tidak jumlah barang yang sedikit, maka harga barang akan semakin mahal.

Faktor inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemburu rente atau pencari keuntungan. Sebab, di tengah kondisi panic buying, masyarakat cenderung membeli barang lebih dari yang dibutuhkan. Jika hal ini dilakukan oleh banyak orang, maka akibatnya adalah terjadi kelangkaan barang yang disebabkan ketidakseimbangan antara demand dan supply. Dus, kelangkaan akibat tidak seimbangnya permintaan dan penawaran ini berujung pada kenaikan harga.

“Yang terjadi setelah kenaikan harga adalah penurunan daya beli masyarakat. Karena misal uang Rp10 ribu yang tadinya cukup untuk beli masker, sekarang tidak cukup lagi karena harganya dua kali lipat bahkan lebih. Artinya, masyarakat harus menyiapkan uang berkali-kali lipat untuk membeli barang yang jumlahnya sama. Ini tentu bisa mengurangi daya beli masyarakat,” jelas Enny.

Untuk mengantisipasi dan memitigasi terulangnya panic buying, maka diperlukan kejelasan informasi dari otoritas yang berwenang, sebut Enny. Selain itu, informasi yang disajikan pemerintah, idealnya tidak tumpang tindih. Jelasnya informasi yang diterima oleh masyarakat, lanjutnya, dapat meredam tekanan psikologis masyarakat termasuk dari berbagai macam berita hoaks.

Langkah konkret lain yang juga bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membagikan masker secara cuma-cuma atau gratis kepada masyarakat. Hal ini seperti yang pernah pemerintah RI lakukan saat mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan. Distribusi pembagian masker ini pun bisa dilakukan secara fleksibel, seperti di pusat keramaian umum, perkantoran, sekolah-sekolah, dan sebagainya.

“Sehingga masyarakat tidak merasa khawatir untuk membeli masker di pasaran dan tidak dimanfaatkan oleh para pemburu rente yang menjual dengan harga yang amat mahal,” imbuh Enny.

Reaksi Natural atau Berlebihan?

Steven Taylor, Profesor sekaligus Psikolog Klinis di University of British Columbia, mengungkapkan, dalam kasus terjadinya bencana alam, terdapat perbedaan gagasan yang jelas antara persiapan untuk menghadapi bencana dan sekedar pembelian berlebih. Tapi, dalam kasus sebaran Virus Corona, ada banyak ketidakpastian yang mendorong terjadinya perilaku pembelian berlebih.

Panic buying menurut Taylor didorong oleh kecemasan dan keinginan untuk berusaha keras menghentikan ketakutan tersebut. “Panic buying membantu orang merasa mengendalikan situasi. Dalam keadaan seperti ini, orang merasa perlu untuk melakukan sesuatu yang sebanding dengan apa yang mereka anggap sebagai tingkatan krisis,” jelas Taylor, dilansir BBC.

Padahal, saat ini yang perlu dilakukan masyarakat untuk mencegah penularan dan sebaran wabah COVID-19 adalah dengan mencuci tangan dan mempraktikkan hidup bersih. “Tetapi bagi banyak orang, mencuci tangan sepertinya terlalu biasa. Wabah COVID-19 adalah peristiwa dramatis. Oleh karena itu, diperlukan tanggapan dramatis sehingga orang-orang menghamburkan uang dengan harapan dapat melindungi diri mereka sendiri,” tegas Taylor.

Meski demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa dalam menghadapi ancaman yang tidak diketahui, manusia cenderung menggunakan pengetahuan yang telah mereka ketahui sebelumnya dari ancaman serupa. Menurut Helene Joffe, Profesor Psikologi di University College London, terdapat kesinambungan antara reaksi orang terhadap krisis massal.

Helen menjelaskan, beberapa orang mengaitkan wabah COVID-19 dengan wabah SARS yang pernah terjadi sebelumnya. SARS sendiri disebabkan oleh virus corona yang berbeda dan sempat menyebar pada 2003 silam. “Jadi, orang akan menghubungkan dengan SARS maupun wabah hitam yang sempat menjangkiti Eropa, dan memperkuat risiko yang akan terjadi,” sebut Helene masih dari BBC.

Infografik Waspada Covid 19

Infografik Waspada Covid 19. tirto.id/Quita

Hal senada juga diungkapkan oleh David A. Savage dari University of Newcastle dan Benno Torgler dari Queensland University of Technology. Menurut keduanya, manusia memiliki kemampuan untuk 'melihat' ancaman di masa depan dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Dalam hal seperti wabah Virus Corona, satu faktor yang sangat menentukan adalah kecepatan informasi yang dapat dibagikan di seluruh dunia.

“Kosongnya jalan-jalan di Wuhan dan kota-kota lain di Cina serta terisolirnya kehidupan masyarakat, maka wajar jika kita ingin bersiap menghadapi ancaman gangguan serupa di negeri kita sendiri,” tulis David dan Benno, mengutip The Conversation.

Mempersiapkan masa isolasi menurut David dan Benno, bukanlah hasil dari ketakutan ekstrem atau irasional, melainkan ekspresi dari mekanisme bertahan hidup manusia yang sudah mengakar. “Tapi, Anda juga tidak perlu terburu-buru untuk membeli berbagai bahan pangan yang justru tidak bisa bertahan selama masa inkubasi virus. Ada baiknya Anda membuat daftar belanja dan hanya membeli hal-hal yang dibutuhkan,” imbuh David dan Benno.

Memilih untuk panic buying atau berbelanja sesuai kebutuhan sepenuhnya ada di tangan konsumen. Namun, ada baiknya untuk tetap menjaga tindakan agar tidak merugikan orang lain. Sebab, dengan panic buying, boleh jadi yang diuntungkan adalah para pemburu rente dan, sebaliknya, orang-orang yang benar-benar membutuhkan yang dirugikan.

Baca juga artikel terkait PANIC BUYING atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara