tirto.id - Di tengah pandemi Corona atau COVID-19, Indonesia memanen banyak tuduhan dugaan kecurangan perdagangan dari negara mitra seperti India, Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Turki sampai Vietnam.
Selama Januari-Mei 2020, sudah ada 16 tuduhan terdiri dari 10 anti-dumping dan 6 safeguards. Kemendag mencatat estimasi devisa negara yang hilang bisa mencapai US$1,9 miliar atau setara Rp26,5 triliun dari 16 tuduhan perdagangan selama pandemi tersebut.
Sebelumnya, Indonesia hanya menerima sekitar 14 tuduhan setiap tahunnya. Direktur Pengamanan Perdagangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Pradnyawati menjelaskan jumlah tuduhan selama Pandemi ini terbilang banyak dan tidak seperti biasanya. Jumlah ini kata Pradnya masih bisa bertambah lagi hingga akhir tahun.
“16 tuduhan, dari 13 tuduhan baru dan 3 sunset review dalam waktu 5 bulan di awal tahun itu cukup banyak. Bisa saja jadi 2 kali lipat di akhir tahun, tapi ya jangan sampai,” ucap Pradnya saat ditemui di Kemendag, Kamis (11/6/2020).
Jika potensi peningkatan benar terjadi, maka setidaknya jumlah tuduhan totalnya menyentuh angka 32. Angka itu hampir menyalip angka tertinggi pada tahun 2002-2003 dengan 36 tuduhan perdagangan.
Pradnya tak menjelaskan pasti apa penyebab lonjakan tuduhan ini. Namun, ia tak memungkiri jika selama pandemi berbagai negara berupaya semaksimal mungkin untuk meringankan beban negaranya termasuk melalui gugatan perdagangan.
Pemerintah, kata Pradnya, sudah menjawab tuduhan-tuduhan itu. Meski demikian, di tengah pandemi negara mitra justru semakin gencar mengirim ulang pertanyaan dan lebih terperinci.
“Intinya pandemi tidak menyurutkan mereka menuduh. COVID-19 bukan jadi halangan malah mereka kesenengan. Kan, bisa online. Semua negara arahnya ke situ. Itu sama WTO boleh dan legal,” ucap Pradnya.
Pradnya juga mencatat sebagian gugatan yang pernah diterima Indonesia juga muncul akibat efek domino. Maksudnya, negara lain bisa membuat gugatan untuk produk yang sama seperti yang pernah diajukan termasuk melirik dokumen negara pendahulu dan melakukan proses salin-tempel.
Lainnya ada mekanisme sunset review yang memungkinkan kasus yang sudah berlalu diperpanjang lagi. Sebagian kasus sunset review mencakup tuduhan yang sudah pernah dimenangkan Indonesia, tetapi diperkarakan lagi oleh negara tetangga.
Di luar itu, Indonesia juga sudah memiliki rekam jejak sebagai negara yang paling sering dituduh. Kemendag mencatat Indonesia menduduki peringkat ke-8 negara yang paling sering ditarget penyelidikan anti-dumping, peringkat ke-7 paling sering disasar penyelidikan anti-subsidi, dan peringkat kedua tersering menerapkan safeguard.
Proteksionisme di Tengah Perlambatan Perdagangan Dunia
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi tak melihat pola ini sebagai hal yang mengejutkan. Menurutnya, negara dunia memang mengarah pada proteksionisme dan inward looking. Hal ini berkaitan dengan pandemi Corona yang telah menyebabkan perlambatan perdagangan dunia.
World Trade Organization (WTO) memperkirakan pertumbuhan perdagangan dunia akan terkontraksi atau negatif 13-32 persen. Sementara International Monetary Fund (IMF) memperkirakan negatif 11 persen.
Langkah yang akan ditempuh pun ditujukan mengamankan industri dan pasar dalam negeri. Hal ini menjawab mengapa ada banyak tuduhan pada pos anti-dumping.
Sementara itu, negara mitra katanya juga berupaya agar produk ekspor mereka tetap bisa diterima Indonesia sehingga industrinya tetap berdenyut. Alhasil jumlah tuduhan pada instrumen safeguard Indonesia juga tak kalah besar.
“Itu strategi mereka jadi lebih protektif dan melakukan pembatasan. Salah satunya tuduhan kepada mitra dagang yang bisa berkompetisi dengan produk mereka,” ucap Faisal saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (12/6/2020).
Faisal juga menyoroti gugatan ini sejalan dengan neraca dagang Indonesia dengan negara bersangkutan. Dua negara dengan tuduhan terbanyak adalah India dan Amerika dengan masing-masing 4 dan 3 kasus. Menurut BPS posisi neraca dagang Indonesia terhadap India surplus 2,3 miliar dolar AS dan surplus 3,58 miliar dolar AS dengan Amerika.
“Kalau buat kita surplus positif. Tapi buat AS dan India itu defisit,” ucap Faisal.
Faisal yakin kalau sebagian besar tuduhan itu bisa dipatahkan. Pasalnya tuduhan diajukan atas kepentingan melindungi industri dalam negeri ketimbang benar-benar terjadi kecurangan dagang seperti yang dikira.
“Karena fokusnya perlindungan dalam negeri, maka kajian dampak ke industrinya sendiri sangat terbatas,” ucap Faisal.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi kepada semua pemangku kepentingan terkait kesesuaian dengan acuan WTO. Yusuf bilang posisi Indonesia yang kerap menjadi sasaran gugatan adalah salah satu alasannya.
Hal ini menurutnya penting lantaran Indonesia memiliki potensi pasar yang besar sehingga tidak mengherankan banyak negara akan mengincarnya. Di sisi lain, potensi produksi Indonesia juga masih terbilang besar meski beberapa kali terlewat dari sasaran relokasi.
“Perlu dijadikan evaluasi apakah selalu up to date dalam mengikuti acuan peraturan yang telah dan akan diterbitkan WTO,” ucap Yusuf.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti