tirto.id - Masalah defisit BPJS Kesehatan tak hanya bikin pusing Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan. Setiap tahun kedua kementerian itu harus putar otak menambal celah angka dalam neraca keuangan BPJS Kesehatan. Kini, Kementerian Pemuda dan Olahraga ikut pusing memikirkan solusi masalah tersebut.
Dari pertama kali diluncurkan pada 2014, angka defisit BPJS terus melonjak. Dua tahun terakhir, mereka mencatat defisit Rp13,8 triliun (2017) dan Rp19,4 triliun (2018). Ada beberapa hal yang jadi faktor jaminan kesehatan nasional itu membengkak. Pertama, jumlah iuran tidak sesuai. Kedua, banyak peserta menunggak iuran. Ketiga, morbiditas masyarakat didominasi penyakit katastropik yang butuh biaya tinggi, dan penerima Bantuan Iuran (PBI)--BPJS yang dibayar oleh pemerintah--tidak tepat sasaran.
Tapi, peta masalah defisit BPJS kemudian melebar sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia jarang olahraga.
Poin terakhir cukup masuk akal jika dilihat secara utuh. Kurangnya olahraga bisa membuat metabolisme tubuh melambat, badan mudah lelah, insomnia, dan akhirnya memicu penyakit lain datang. Sementara penyakit-penyakit yang muncul akibat jarang olahraga adalah jenis katastropik seperti liver, stroke, diabetes, darah tinggi, dan stroke.
Jika dilihat dari laporan kinerja Kemenpora (2017), indeks partisipasi olahraga masyarakat berada di angka 0.32 (32 persen). Artinya, berdasar hasil perhitungan indeks, hanya ada 32 orang dari 100 orang yang aktif berolahraga di Indonesia (hlm. 53). Sementara persentase keaktifan olahraga lebih tinggi di perkotaan ketimbang perdesaan, hal ini disebabkan fasilitas dan jenis olahraga di kota yang lebih beragam.
Pada tahun 2015, survei BPS mengungkapkan olahraga aktif hanya dilakukan 27,6 persen masyarakat di usia 10 tahun ke atas. Jika kita bandingkan dengan negara lain, partisipasi olahraga di Indonesia punya rentang yang jauh. Misalnya Jepang yang memiliki nilai partisipasi mencapai 60 persen, atau Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan angka partisipasi di atas 30 persen.
Berpegang pada kondisi itulah Menpora Zainudin Amali menyisipkan gerakan berolahraga dalam visinya. Menurut Zainudin, tingginya angka masyarakat yang sakit bermula dari keengganan berolahraga. Ia juga akan menggandeng beberapa kementerian untuk bekerja sama menjalankan visi tersebut.
“Pemerintah bisa menutup utang BPJS kalau masyarakatnya sehat,” ujar Zainudin dalam Rapat Koordinasi dengan Kemenko PMK, Kamis, (31/10/2019).
Melawan Polusi Penyebab Kanker
Program kerja Zainudin untuk mempopulerkan olahraga demi kesehatan sudah tepat. Tapi untuk mendapat kualitas hidup sehat dan ideal, olahraga saja tidak cukup. Ada faktor lain yang harus diperhatikan seperti gaya hidup, asupan gizi, dan faktor lingkungan.
Di kota besar, kesadaran untuk melakukan olahraga rutin mungkin sudah tinggi. Tapi masyarakatnya berhadapan dengan masalah lain, yakni polusi. Bayangkan, bagaimana bisa sehat jika kita bersepeda, lari, atau melakukan olahraga di ruang terbuka dengan paparan udara berbahaya?
Statistik dari Air Visual pada Selasa, 5 November 2019 menyebutkan Jakarta sebagai kota peringkat 10 berpolusi di dunia dengan skor AQI 147. Angka tersebut didapat dengan membandingkan kota-kota besar di dunia. Sementara statistik kota berpolusi di Indonesia pada tanggal yang sama dipegang oleh Pamulang, Parung, Sawangan dengan skor AQI 177.
Kemudian disusul Cileungsi, Ciputat, Palembang, Ciampea, Cibinong, Citeureup, dan Serpong dengan AQI terendah sebesar 167. Jika melihat sepuluh besar kota berpolusi di Indonesia, peringkat dunia Jakarta pun masih berada di bawah Serpong. Polusi kota-kota tersebut kebanyakan berasal dari pipa asap pembuangan pabrik dan knalpot kendaraan.
International Agency for Research on Cancer (IARC) membenarkan bahwa polusi udara luar adalah salah satu faktor penyebab kanker. Laman Cancer Research menyebutkan polusi udara luar terdiri dari campuran partikel kecil seperti debu dan zat di udara.
“Paparan polusi udara jadi faktor pemicu kanker paru dan memperpendek kelangsungan hidup orang dengan kanker paru,” tulis sebuah penelitian yang terbit di Jurnal Thorax (2016).
Indonesia sendiri mencatatkan posisi di peringkat kedelapan untuk angka kejadian penyakit kanker di Asia Tenggara. Angka kejadian tertinggi kanker laki-laki di negara ini dipegang oleh kanker paru, sebesar 19,4 per 100 ribu penduduk dengan rata-rata kematian 10,9 per 100 ribu penduduk.
Persoalan Gizi Indonesia
Persoalan selanjutnya yang perlu dibereskan untuk mencapai hidup sehat adalah kecukupan gizi. Skala obesitas di Indonesia pada orang dewasa sudah naik hingga dua kali lipat selama 15 tahun terakhir. Kondisi ini berpotensi meningkatkan penyakit tidak menular seperti diabetes dan kardiovaskular--yang termasuk katastropik.
Lonjakan berat badan pada umur umur dewasa disebabkan beberapa hal, di antaranya porsi bekerja yang tinggi, waktu perjalanan lebih lama, serta perubahan pola makan dan gaya hidup. Manusia era kiwari lebih kurang mengonsumsi produk segar dan lebih suka asupan makanan olahan dan pra-olahan dengan jumlah karbohidrat tinggi, termasuk gula, garam, dan lemak.
Di tataran umur yang lebih muda, UNICEF sebagai organisasi anak dunia di bawah PBB menyatakan jutaan anak dan remaja Indonesia tetap terancam bertubuh pendek (stunting) dan kurus (wasting). Selain itu, negara ini juga memiliki beban ganda kekurangan dan kelebihan gizi dalam satu waktu.
Masalah gizi yang saat ini paling mendapat perhatian adalah soal stunting karena efeknya bisa merusak kapasitas fisik dan kognitif anak secara permanen. Kondisi ini merupakan kegagalan seseorang dalam mencapai potensi pertumbuhan. Stunting disebabkan malnutrisi kronis dan penyakit berulang selama masa kanak-kanak.
Info dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan sekitar 1 dari 3 balita mengalami stunting. Meski begitu persentase balita yang tergolong sangat pendek dan pendek telah mengalami penurunan dari 37,2 persen di tahun 2013, menjadi 30,8 persen di tahun 2019, kurang 2,8 persen untuk mencapai target RPJMN 2019 sebesar 28 persen
Lalu persentase balita gizi kurang dan buruk juga menurun dari 19,6 persen (2013) menjadi 17.7 persen (2018). Skor ini hanya kurang 0,7 persen dari target RPJMN 2019 sebesar 17 persen. Angka penurunan juga terjadi pada kelompok balita sangat kurus dari 5,3 menjadi 3,5 persen, sementara kelompok kurus turun 0,1 persen menjadi 6,7 persen.
Pada kelompok balita gemuk, ada 13 provinsi di Indonesia yang angkanya di atas prevalensi nasional. Sedangkan obesitas pada umur di atas 15 tahun naik dari 26,6 persen di tahun 2013 jadi 31 persen di 2018. Angka ini dihitung berdasar indikator lingkar perut, dengan standar lebih dari 80 cm untuk perempuan dan 90 cm lebih untuk laki-laki.
“Wasting atau kekurangan gizi akut disebabkan penurunan berat badan cepat atau kegagalan menambah berat badan. Anak terlalu kurus atau gemuk punya risiko kematian tinggi,” tulis laman UNICEF.
Jika masalah gizi anak saja sudah tidak terselesaikan dengan baik dan mereka tumbuh di lingkungan berpolusi, bagaimana bisa mereka hidup berkualitas dan sehat seperti harapan Menpora Zainudin Amali?
Editor: Windu Jusuf