tirto.id - Saat Boedi Oetomo (BO) didirikan pada 20 Mei 1908, banyak orang Sunda yang menyambutnya. Meskipun BO dimotori kaum ningrat Jawa macam Soetomo, Wahidin Soedirohoesodo, Radjiman Wedyodiningrat, Goenawan, serta Tjipto Mangoenkoesoemo, perhimpunan ini cukup menarik perhatian banyak kalangan, termasuk generasi muda asal Sunda.
Namun, lama-kelamaan orang-orang Sunda yang berhimpun di BO resah. Sebagaimana diungkap Edy Prasetyono dalam Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia (2002), perhimpunan yang digagas para pelajar STOVIA (sekolah dokter pribumi) di Batavia itu dianggap hanya memperjuangkan kepentingan orang Jawa bagian tengah dan timur (hlm. 34).
Satu demi satu mereka menyatakan keluar dari BO dan mulai terpercik gagasan untuk menyempal, membentuk organisasi serupa namun bersifat dari dan untuk orang Sunda. Maka, pada 20 Juli 1913, tepat hari ini 105 tahun lalu, Pagoejoeban Pasoendan (Paguyuban Pasundan) resmi dibentuk.
Wajah Sunda Boedi Oetomo
Meskipun digawangi orang-orang Sunda dan didirikan atas dasar solidaritas etnis Sunda, namun pemimpin pertama Paguyuban Pasundan justru bukan orang Jawa Barat tulen. Ia bernama Daeng Kanduruan Ardiwinata. Dari namanya sudah bisa ditebak bahwa tokoh ini bertalian erat dengan etnis Bugis di Sulawesi Selatan.
Ya, darah Bugis memang mengalir dalam diri D.K. Ardiwinata. Menurut keterangan Ajip Rosidi dalam Kesusastraan Sunda Dewasa Ini: Sebuah Tinjauan (1966: 27), ayah Ardiwinata bernama Baso Daeng Passau alias Daeng Sulaeman, seorang bangsawan dari Bugis.
Kendati begitu, Ardiwinata juga tidak sepenuhnya non-Sunda. Ibundanya adalah perempuan Sunda asli. Ardiwinata lahir di Bandung pada 1866 dan sudah dianggap sebagai sesepuh masyarakat Sunda pada dekade kedua abad ke-20.
Ketika gonjang-ganjing di internal Boedi Oetomo semakin terasa, sejumlah mantan anggota BO yang juga pelajar STOVIA dan berasal dari tatar Sunda menemui Ardiniwata di kediamannya di Gang Paseban, Salemba, tidak jauh dari kampus mereka.
Maka, mereka pun menyepakati dibentuknya sebuah organisasi bernama Paguyuban Pasundan pada 18 Juli 1913. Dua hari kemudian, barulah organisasi ini didirikan secara resmi. D.K. Ardiwinata, seorang sastrawan yang kala itu bekerja sebagai pendidik dan kelak menjabat redaktur kepala Balai Pustaka, dipercaya sebagai ketuanya.
Sedangkan para pelajar STOVIA yang masuk dalam jajaran kepengurusan Paguyuban Pasundan periode pertama antara lain Dajat Hidajat (wakil ketua), Koesoema Soedjana (bendahara), serta Raden Junjunan dan M. Iskandar (komisaris).
Selain itu, ada pula orang-orang Sunda dari latar belakang yang berbeda; seperti seorang pengusaha bernama Raden Iskandar Brata (sekretaris I), Raden Poerawinata (sekretaris II) yang bekerja di Balai Pustaka, M. Adiwangsa (komisaris) yang juga menjabat sebagai kepala kantor pegadaian di Pasar Senen, serta seorang guru bernama M. Sastrawiria (komisaris).
Paguyuban Pasundan didirikan dengan tujuan untuk memajukan orang Sunda agar bertambah keselamatannya dengan mengikuti aturan yang diberlakukan pemerintah, juga tidak melanggar tuntunan agama. Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Menurut Suharto dalam Pagoejoeban Pasoendan, 1927-1942: Profil Pergerakan Etno-Nasionalis (2002), perjuangan Paguyuban Pasundan untuk memperoleh izin resmi tidak mudah. Lebih dari setahun setelah berdiri, perhimpunan ini baru mendapatkan legalitas dari pemerintah kolonial, yakni dengan terbitnya surat keputusan Gubernur Jenderal No. 46 tertanggal 9 Desember 1914 (hlm. 17).
Betul bahwa berdirinya Paguyuban Pasundan bermula dari ketidakpuasan para anggota BO yang berasal dari Sunda lantaran BO tidak mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat Sunda, melainkan terkesan hanya untuk orang-orang Jawa bagian tengah, timur, serta Madura. Namun, lebih dari itu, seperti dikutip dari Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil, dan Pluralis (2002) karya Harsya W. Bachtiar, kalangan intelektual Sunda juga merasa bahwa sudah saatnya orang-orang Sunda memiliki wadah sendiri; seperti halnya BO untuk orang Jawa, Ambonsch Studiefonds bagi putra daerah Maluku, dan seterusnya (hlm. 20).
Dan ternyata, berkat tipikal geraknya yang relatif lentur, usia Paguyuban Pasundan jauh lebih lama ketimbang Boedi Oetomo dan perhimpunan etnis sejenis. BO hanya mampu hidup kurang dari tiga dekade, tercerai-berai sampai akhirnya ambruk pada 1935 dan tidak sanggup bangun lagi.
Sementara Paguyuban Pasundan bisa bertahan amat lama, melalui masa demi masa, bahkan masih ada hingga saat ini.
Bertahan Melintasi Zaman
Meski bernama Paguyuban Pasundan, keanggotaan perhimpunan ini ternyata tidak sebatas untuk orang Sunda atau Jawa Barat. Disebutkan dalam AD/ART organisasi itu di Pasal 5, dikutip dari buku Sejarah Daerah Jawa Barat (1994) yang disusun Sri Sutjiatiningsih dan kawan-kawan, keanggotaan Paguyuban Pasundan terbuka bagi seluruh orang Indonesia (hlm. 154).
Gerak perjuangan dan keanggotaan Paguyuban Pasundan tidak terbatas di lingkungan lapisan atas, sedikit berbeda dengan BO. BO mengklaim bertujuan memajukan rakyat, namun pada kenyataannya organisasi ini justru sibuk mengurusi kepentingan kaum priyayi saja, bahkan sarat kepentingan politik yang membuatnya hancur berkeping-keping.
Semula, Paguyuban Pasundan bergerak di bidang pendidikan, sosial-budaya, dan ekonomi, juga kepemudaan serta pemberdayaan perempuan. Tapi pada akhirnya perhimpunan ini juga menyentuh ranah politik, kendati tidak lantas mengabaikan misi awalnya begitu saja.
Sempat dibubarkan pada era pendudukan Jepang pada 1942, Paguyuban Pasundan menggeliat lagi setelah kemerdekaan RI. Kala itu, Paguyuban Pasundan diperkuat tokoh-tokoh berpengaruh. Sebut saja Otto Iskandardinata, Djoeanda Kartasasmita, R.S. Soeradiradja, hingga Raden Kosasih Soerakoesoemah. Hoesni Thamrin juga pernah bergabung.
Munculnya Partai Rakyat Pasundan (PRP) pada masa revolusi fisik (1945-1949) menjadi pemicu kebangkitan Paguyuban Pasundan. Berdasarkan catatan Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan dalam Kronik Revolusi Indonesia (1999: 160), pembentukan PRP konon didalangi Belanda dan kemudian memproklamirkan Negara Pasundan pada 4 Mei 1947.
Dari situlah para tokoh Sunda sepakat untuk menghidupkan kembali Paguyuban Pasundan. Dan, dalam kongres yang digelar di Bandung pada 29-31 Januari 1949, Paguyuban Pasundan resmi beralih rupa menjadi partai politik bernama Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI).
Setelah penyerahan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada pemerintah RI pada akhir 1949, Indonesia bersiap menggelar pemilihan umum pertama beberapa warsa berselang. PARKI alias Paguyuban Pasundan pun ikut ambil bagian dalam Pemilu yang diselenggarakan pada 1955 itu.
Sayangnya, suara yang diperoleh tidak sesuai harapan dan sempat menimbulkan intrik internal yang berlangsung cukup lama. Akhirnya, untuk menuntaskan persoalan ini, dihelat kongres luar biasa pada 29 November 1959 dan mayoritas peserta kongres setuju untuk mengembalikan nama Paguyuban Pasundan.
Sejak saat itu, hingga akhir era Orde Baru, Paguyuban Pasundan lebih fokus ke urusan non-politik, terutama sektor pendidikan dan sosial-budaya. Beberapa perguruan atau sekolah tinggi pun dilahirkan, termasuk Universitas Pasundan, Sekolah Tinggi Hukum (STH) Pasundan, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, serta Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Pasundan.
Hingga saat ini, Paguyuban Pasundan masih eksis. Ia mampu bertahan melewati masa demi masa meskipun sempat diwarnai banyak dinamika dan sempat pingsan lantaran kondisi yang tidak memungkinkan.
Elastisitas yang menjadi kunci utama organisasi ini mampu bertahan lama, bahkan bisa digunakan dalam dunia politik. Yang terbaru, pada perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat tahun ini, Paguyuban Pasundan terjun lagi ke kancah politik dengan memberikan dukungan kepada salah satu calon.
Apapun itu, selama tidak melanggar aturan, Paguyuban Pasundan sah-sah saja mengambil sikap paling pragmatis sekalipun. Kelenturan menjadi resep ampuh bagi perhimpunan yang berdiri sejak era pergerakan nasional ini untuk terus bertahan melintasi zaman—cara yang mungkin lebih mujarab ketimbang apa yang pernah dilakukan Boedi Oetomo.
Editor: Ivan Aulia Ahsan