tirto.id - Setiap tiga puluh menit, Julia (33), seorang ibu rumah tangga, memperbarui story di akun media sosialnya.
Momen yang diunggahnya bermacam-macam: mulai dari foto atau video masakan yang dibuat hari ini, aktivitas membeli kopi di kafe terkenal, atau tiket perjalanan untuk liburan akhir tahun.
"Tidak ada maksud apa-apa, hanya pengen berbagi saja. Senang aja kalau ada yang komentar, lalu lanjut ngobrol deh!" ungkap Julia ringan.
Pengalaman Julia berbeda dengan Arum (29). Arum mengaku menyesal setelah bercerita tentang pengalaman pribadinya ke teman satu circle.
"Ada yang simpati kepada saya, ada pula teman yang pura-pura peduli tetapi malah menceritakan masalah saya ke orang lain,” ungkap Arum, “Sekarang saya lebih hati-hati kalau mau curhat."
Bagi sebagian dari kita, berbagi cerita tentang pengalaman pribadi pada banyak orang mungkin merupakan hal yang lumrah dan menyenangkan.
Di satu sisi, seperti Arum, mungkin kita juga pernah menyesali tindakan oversharing.
Oversharing, terlalu banyak mengumbar hal-hal pribadi dalam percakapan, baik dengan rekan kerja atau di media sosial, ternyata bukan hanya kebiasaan.
Bisa jadi, itu pertanda seseorang mengalami gangguan kecemasan dan trauma masa kecil.
Arida Nuralita S.Psi., M.A., Psikolog dari RS Jogja International Hospital (JIH) Solo mengatakan, "Sharing, jika sesuai konteks dan proporsional, dan medianya juga tepat, bisa bermanfaat baik bagi kita maupun orang lain. Membagi informasi dapat menginspirasi orang lain atau memberikan dukungan emosional atas kondisi yang sedang kita alami."
Senada disampaikan Polly Campbell, pemandu podcast Simply Said dan penulis buku How to Live an Awesome Life and Imperfect Spirituality (2015).
Menurut Campbell, sharing juga bisa menjadi katarsis, semacam pelepasan emosi yang baik.
Peneliti Erin Carbone dan George Loewenstein menjelaskan bahwa berbagi informasi merupakan dorongan naluriah manusia, bahkan penting bagi kelangsungan hidup nenek moyang kita.
Pertukaran pengalaman pribadi—menemukan tempat berteduh dan makanan berlimpah—dapat membantu anggota suku lain untuk bertahan hidup.
Hal ini juga merupakan cara untuk menjaga struktur dalam kelompok dan memotivasi orang agar berperilaku baik dan menjadi tim yang baik—termasuk menjaga status sosial.
Di sisi lain, Carbone dan Loewenstein menegaskan, dorongan ini bisa dianalogikan seperti rasa lapar atau haus. Artinya, sharing secara berlebihan berpotensi mengarah pada perilaku maladaptif yang mendorong pelakunya bertindak impulsif dan kelak merasa menyesal.
Arida menambahkan, “Apalagi, saat ini sharing saat ini bisa dilakukan di media sosial, sehingga banyak orang mudah mengakses apa yang kita bagikan. Maka tidak ada lagi batasan dan privasi. Bahkan oversharing bisa mengancam keamanan kita."
Kembali mengutip artikel dari Campbell di Psycholgy Today, menceritakan semua hal ke semua orang tidak selalu berakhir dengan baik.
“Pihak yang mendengarkan merasa tidak nyaman, dan pihak yang bercerita pun akan merasa dirinya sudah mengumbar hal terlalu banyak. Jadinya semua canggung,” tulis Campbell.
Tak dapat dimungkiri, media sosial memberikan dorongan banyak orang untuk terus-menerus bercerita. Bahkan bisa dibilang kemajuan teknologi ini telah memerangkap sebagian dari kita untuk oversharing.
Dengan sekali klik, kita dapat membagikan setiap keping isi kepala kepada dunia. Semakin lama, kita semakin terbiasa untuk tidak mematok batasan jelas antara kehidupan pribadi dan ruang publik.
Terlepas dari itu semua, bagi beberapa orang, berbagi detail intim kehidupan mereka dapat memberdayakan dan membebaskan. Sebagian orang lain bahkan menganggap oversharing sebagai mekanisme untuk mengatasi kecemasan, stres, dan trauma yang tidak terobati.
Demikian disampaikan dalam artikel dari klinik kesehatan mental berbasis di California, New U Theraphy Center & Family Services.
Penting untuk dipahami, ketika seseorang melakukan oversharing, mereka mencari validasi dan kepastian dari orang lain.
Mereka ingin berbagi bahwa mereka tidak sendirian merasakan pengalamannya.
Melalui oversharing, mereka merasa memegang kendali dan kepemilikan dengan mengungkapkan peristiwa atau aspek tertentu dalam kehidupannya.
Arida berpendapat, "Ada orang yang melakukan oversharing dengan sengaja untuk mendapatkan tujuan tertentu ingin dia capai. Biasanya, ada kebutuhan dukungan dari orang lain atau sosial, butuh validasi dan respons positif. Bisa jadi untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, pencitraan diri agar dianggap autentik. Ada pula yang ikut-ikutan tren dengan membagi semua kehidupan pribadinya."
Menariknya, kecenderungan atau kebiasaan seseorang untuk oversharing ternyata dapat berkaitan dengan trauma masa kecil oleh kekerasan emosional dari orang tua.
Daniel S. Lobel, PhD dalam artikel berjudul “Oversharing and Parental Childhood Trauma” di Psychology Todaymenjelaskan, pada penyintas dewasa yang pernah mengalami kekerasan emosional di masa kanak-kanak, oversharing dapat didorong oleh rasa takut atau kebutuhan akan validasi.
“Beberapa jenis trauma masa kecil tertentu mengajarkan dan membiasakan anak-anak untuk oversharing dengan cara menghukum mereka jika tidak membagikan ceritanya. Ketika dewasa, mereka cenderung menjadi pribadi yang suka overshare, yang kelak mengurangi efektivitas mereka dalam hubungan interpersonal,” tulis Lobel.
Penyintas trauma masa kecil juga acap kali mengalami pelecehan emosional dari orang tua yang memiliki gejala gangguan kepribadian, seperti borderline personality disorder (BPD) atau gangguan kepribadian narsistik (NPD).
Orang tua dengan gangguan tersebut akan menyerang anak-anaknya secara verbal, dengan cara gaslighting dan berbohong, ketika emosi mereka tidak teratur. Hal ini berpengaruh pada perkembangan karakter anak.
Orang tua dengan BPD atau NPD juga kesulitan membangun batasan antarpribadi.
Akibatnya, mereka tidak nyaman jika orang lain mempunyai atau berkutat dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Dalam konteks relasi dengan anak, mereka ingin tahu apa yang ada di benak anak-anaknya sehingga akan mengajukan pertanyaan terus-menerus kepada mereka.
Arida menambahkan, "Mereka yang mengami trauma masa kecil butuh kasih sayang dan validasi dari orang-orang terdekat. Saat anak sering dimarahi, ia mencoba mencari perhatian dari orang lain di luar orang tuanya.”
Apabila oversharing sudah telanjur menjadi kebiasaan yang buruk, ada sejumlah cara yang dapat kita coba untuk mengurangi atau menghentikannya.
Melansir artikel dari situs penyedia layanan psikologi Harley Therapy yang berbasis di London, journaling dapat membantu untuk meredam kecenderungan oversharing.
Selain itu, membaca buku-buku self-help atau mengikuti kelas pengembangan diri dapat membantu kita merasa lebih nyaman dengan diri sendiri.
Di balik itu semua, ketika oversharing dirasa sudah berkaitan dengan masalah lebih serius, bahkan berkaitan dengan kecemasan parah, gangguan kepribadian, atau trauma masa kecil, penting bagi kita untuk segera mencari bantuan dari profesional.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih