Menuju konten utama

OTT 2017 Terbanyak, Kualitas KPK Tangani Korupsi Masih Diragukan

Meski tidak memungkiri banyaknya OTT di era kepemimpinan Agus Rahardjo dkk, kualitas penanganan korupsi KPK masih dipertanyakan.

OTT 2017 Terbanyak, Kualitas KPK Tangani Korupsi Masih Diragukan
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kiri) menyaksikan penyidik memperlihatan barang bukti operasi tangkap tangan terhadap Bupati Batubara di Gedung KPK Jakarta, Kamis (14/9/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengkritik capaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam jumlah operasi tangkap tangan (OTT). Meski tidak memungkiri banyaknya OTT di era kepemimpinan Agus Rahardjo dkk, kualitas penanganan korupsi KPK masih dipertanyakan.

"Kalau dari sisi statistik, jumlah kasus naik, terutama OTT dan penanganan kasus e-KTP. Tapi dari sisi kualitas masih belum memuaskan," kata Febri saat dihubungi Tirto, Kamis (28/12/2017).

Menurut Febri, KPK seharusnya mengarahkan pengawasan kepada sektor infrastruktur. Ia mengklaim tidak sedikit uang beredar dalam proyek-proyek infrastruktur era pemerintah Jokowi. Namun, KPK justru mengarahkan kepada pemerintah daerah.

"Moncong meriam OTT diarahkan pada korupsi di daerah yang notabene bukan korupsi kelas kakap negeri ini," kata Febri.

Ia juga angkat bicara tentang minimnya perkara (Tindak Pidana Pencucian Uang) TPPU. ICW juga mempertanyakan alasan KPK era kepemimpinan Agus Rahardjo tidak menerapkan TPPU yang justru bisa lebih kuat menjerat pelaku korupsi.

Tak hanya itu, penerapan TPPU bisa membuat KPK mengetahui siapa penerima aliran dana tersebut. Kemampuan itu justru akan semakin memperkuat penanganan korupsi karena UU tindak pidana korupsi hanya menjerat pelaku berdasarkan keterangan saksi.

"UU TPPU selain akan menjerat banyak pelaku tapi juga optimal mengembalikan uang negara yang hilang. Jadi kami bingung dengan pimpinan KPK saat ini," ujar dia.

Febri juga mengkritisi langkah KPK pasca-refleksi akhir tahun yang terkesan hanya melaporkan capaian mereka di tahun 2017. Seharusnya KPK bisa menyampaikan perkembangan perkara yang menunggak saat ini seperti kasus Pelindo 2, kasus Petral, kasus SKK Migas, Rolls Royce, BLBI, kasus Hambalang, dan kasus aliran dana alat kesehatan (alkes).

"Kasus dugaan Amien Rais yang menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi alkes Flu Burung juga tidak jelas perkembangan penanganannya," kata Febri.

Selain itu, KPK juga dinilai tidak transparan dalam penanganan perkara internal Direktur Penyidikan KPK Brigjen Arie Budiman yang datang ke pansus hak angket KPK. Lembaga antikorupsi itu masih belum menjawab persoalaan penghilangan alat bukti uang suap dari importir daging.

Tidak hanya penindakan, ICW pun mengkritik masalah pencegahan. Mereka menilai, pencegahan KPK belum optimal lantaran masih ada sejumlah penanganan perkara di daerah dalam wilayah pencegahan seperti di daerah Jawa Tengah. Oleh sebab itu, KPK seharusnya menyampaikan target dan capaian secara menyeluruh.

"Menurut kami, KPK perlu menyampaikan sejak awal tahun tentang target dan capaian yang harus mereka kejar pada tahun tersebut. Hal ini juga bisa digunakan untuk menilai apakah anggaran yang besar memang telah sesuai dengan output dan outcome yang menjadi target tahun anggaran," kata Febri.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya telah mengklaim OTT yang dilakukannya sepanjang 2017 menjadi yang tertinggi sejak lembaga antirasuah itu berdiri pada 2003.

"Jumlah kasus tangkap tangan di tahun 2017 ini telah melampaui tahun sebelumnya dan merupakan terbanyak sepanjang sejarah KPK berdiri," ungkap Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers Capaian dan Kinerja KPK 2017 di Gedung KPK Jakarta, Rabu (27/12/2017).

Dalam catatan akhir tahun 2017, KPK juga mendapati tindak penyuapan masih mendominasi perkara korupsi di Indonesia. Tercatat, sebanyak 93 perkara yang ditangani KPK, meningkat dari 79 kasus pada tahun 2016.

Berdasarkan hasil penghitungan, KPK telah menyelamatkan uang sebesar Rp276,6 miliar selama tahun 2017. Nominal itu terdiri atas hibah barang rampasan dengan total sekitar Rp88,6 miliar yang terdiri atas hibah untuk museum Batik di Surakarta (Rp49 miliar), tanah dan bangunan untuk ANRI (Rp24,5 miliar), tanah dan bangunan untuk BPS (Rp2,9 miliar), serta wisma ke Kemenkeu dan kendaraan operasional rupbasan (Rp11,9 miliar).

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief mengakui mereka lebih berfokus untuk mengetahui jumlah uang yang diperoleh dari korupsi daripada penggunaan anggaran. Namun, Laode menyatakan penerapan TPPU masih lemah.

"Menurut saya ini [penerapan TPPU] juga masih lemah. Mumpung ada dari penyidik dan penindakan bahwa ke depan TPPU itu nggak boleh dipaksakan juga tetapi kalau ada unsur TPPU-nya maka kami akan upayakan karena memang betul pengembalian negara dari TPPU itu penting," kata Laode dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (27/12/2017).

Baca juga artikel terkait OTT KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari