tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) gross selama 2020 mencapai 3,06 persen. Angka ini mengalami kenaikan dari NPL gross 2019 yang mencapai 2,5 persen.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan kenaikan NPL ini sebenarnya bisa lebih tinggi lagi. Namun lembaganya telah berhasil menahan kenaikan NPL dengan kebijakan POJK 11/2020 yang mengatur tentang restrukturisasi kredit.
“Kebijakan ini bisa menahan NPL perbankan tidak terlalu tinggi pada level 3,06 persen,” ucap Wimboh dalam pertemuan tahunan industri jasa keuangan 2021 secara virtual, Jumat (15/1/2021).
Wimboh mencatat selama 2020, jumlah kredit yang direstrukturisasi menyentuh Rp971 triliun yang berasal dari 7,6 juta debitur. Jumlah ini setara 18 persen total kredit perbankan selama 2020.
Demi menjaga NPL di 2021, sejumlah kebijakan telah disiapkan OJK. Salah satunya memperpanjang program restrukturisasi kredit hingga Maret 2022. Wimboh berharap perpanjangan ini dapat memberi ruang bagi debitur sehingga bisa memiliki ruang gerak saat pandemi belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.
“Ini akan memberi ruang yang leluasa bagi debitur untuk bisa direstruktur kembali. Dalam restrukturisasi kembali kami pesankan (debitur) tidak diberikan penalti yang memberatkan,” ucap Wimboh.
Meski NPL naik dan restrukturisasi diperpanjang, Wimboh memastikan modal perbankan berada dalam kondisi yang aman. Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan tercatat mencapai 23,78 persen. Ia mencatat selama tahun 2020 jumlah likuiditas berlebih juga mengalami kenaikan dari Rp1.251 triliun di 2019 menjadi Rp2.011 triliun di 2020.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz