Menuju konten utama

Renegosiasi Proyek 35.000 MW: Cara Tanggung Atasi Kelebihan Listrik

Proyek listrik 35 ribu MW dipangkas karena pandemi dan keuangan PLN memburuk, padahal seharusnya bisa lebih dari itu.

Renegosiasi Proyek 35.000 MW: Cara Tanggung Atasi Kelebihan Listrik
Pekerja melakukan perawatan rutin di Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (Gitet) transmisi Jawa bagian timur dan Bali di Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (2/9/2020). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww.

tirto.id - Pandemi COVID-19 memaksa pemerintah merenegosiasi target proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Hal ini diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2020 dan Rencana Kerja Tahun 2021, Kamis (7/1/2020) lalu.

“Proyek 35 ribu megawatt yang sudah terkontrak, tentu saja komitmen itu harus bisa kami penuhi. Kami berupaya untuk menegosiasikan kembali,” katanya.

Dia bilang alasan renegosiasi adalah penurunan penjualan listrik selama 2020 sekaligus dampak pandemi pada kinerja keuangan PLN.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM Rida Mulyana menjelaskan lebih detail rencana ini. Menurutnya pemerintah tengah merevisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Dalam RUPTL 2021-2030 nanti, mereka hendak memangkas tambahan 15.000 MW. Alasannya rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik hanya 4,9 persen--jauh di bawah target 6,4 persen.

“Di dalamnya ada yang bagian dari program 35 GW. Pada saatnya memang kami perlu laporkan untuk di-take out (dikeluarkan) dari perpresnya,” ucap Rida dalam konferensi pers virtual, Rabu (13/1/2021).

Direktur Eksekutif Institute Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan penundaan dan renegosiasi memang dapat dimengerti dengan mempertimbangkan pertumbuhan konsumsi listrik yang akan mandek bahkan melambat ke 4,5 persen sampai lima tahun ke depan. Bila renegosiasi tak diteken, praktis PLN akan menghadapi kelebihan suplai listrik. Maksudnya, listrik yang dijual PLN melebihi dari yang dikonsumsi masyarakat dan dunia usaha.

Oversupply ini akan mendatangkan kerugian buat PLN. Sebabnya perusahaan pelat merah ini wajib membeli rata-rata minimal 80 persen dari hasil produksi listrik swasta. Bila PLN hanya bisa menyalurkan 60 persen dari 80 persen produksi listrik sesuai kontrak, maka sisa yang tak tersalurkan tetap harus dibayar (take or pay).

Masalahnya lagi, 75 persen proyek 35.000 MW direalisasikan oleh swasta. Sebagian besar listrik yang tidak bisa disalurkan akan diganjar oleh mekanisme mirip denda ini. Belum lagi jika memperhitungkan kapasitas di luar 35.000 MW.

Ganti Energi Terbarukan

Pada kondisi ini, Fabby menilai pemerintah tak cukup menunda pembangkit. Menurutnya COVID-19 bisa jadi momentum menyusun ulang jalannya program 35.000 MW. Salah satunya dengan membatalkan 7.500 MW proyek pembangkit yang masih belum dikonstruksi dan masih dalam perencanaan atau negosiasi jual-beli listrik atau power purchase agreement (PPA) lantaran sumbernya masih berbasis fosil.

Dalam hal ini paling parah PLN hanya perlu mengganti biaya studi kelayakan atau feasibility study (FA). Uang yang dikeluarkan jelas jauh lebih murah daripada terpaksa membeli listrik dari pembangkit yang terlanjur dibangun.

Menurut Fabby, 7.500 MW ini bisa diganti dengan Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti tenaga surya, air, hingga panas bumi. Keuntungannya, porsi capacity factor EBT bisa jauh lebih rendah dari pembangkit fosil yang rata-rata 80 persen harus dibeli listriknya sehingga cocok dengan permintaan listrik yang belum pulih.

Di sisi lain, pemerintah juga memerlukan tambahan porsi EBT untuk target bauran energi 23 persen per 2025. Menurut hitung-hitungan IESR, dalam kondisi tanpa COVID-19 saja pemerintah masih kekurangan 12-13.000 MW kapasitas EBT dengan perencanaan yang sedang berjalan.

Fabby juga mengingatkan kalau ini adalah kemauan Presiden Joko Widodo sendiri. Pada peluncuran proyek 35.000 MW, Jokowi meminta agar 25 persen dari 35.000 MW ini dialokasikan bagi EBT. Masalahnya memang realisasinya tidak ada sama sekali.

Fabby mengingatkan terus membangun pembangkit berbasis fosil seperti PLTU juga penuh risiko. Setelah 2025, operasi PLTU akan jauh lebih mahal dari EBT karena usia pembangkit di luar proyek 35.000 MW rata-rata sudah menyentuh 30 tahun. Belum lagi faktor mahalnya bahan baku lantaran harga batu bara inflasi. Sementara EBT tidak terpengaruh inflasi karena energinya berasal dari alam dan biaya bahan bakar bisa dihitung nol.

“Oleh karena itu, ketimbang jadi aset terbengkalai, lebih baik sekarang mendahulukan EBT,” ucap Fabby.

Lewat pesan singkat, Senin (11/1/2021), VP Public relations PLN Arsyadany G. Akmalaputri mengatakan untuk negosiasi ini “PLN telah membentuk tim konsultasi bersama IPP (independent power producer) untuk setiap pembangkit yang terdapat pada program 35.000 MW dan sedang proses konstruksi.”

Soal detail rencana negosiasi, Arsyadany memilih tak memberi tahu. Ia juga enggan menanggapi soal usul proyek dibatalkan saja atau diganti dengan EBT.

Baca juga artikel terkait PROYEK LISTRIK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino