Menuju konten utama

Oegroseno Bongkar Visi Hukum AMIN hingga Netralitas TNI-Polri

Di Timnas AMIN, Oegroseno juga aktif memberikan banyak masukan sebagai penasihat, terutama di bidang hukum.

Oegroseno Bongkar Visi Hukum AMIN hingga Netralitas TNI-Polri
Header Wansus Oegroseno. tirto.id/Tino

tirto.id - Mantan Wakapolri Komjen Pol. Oegroseno, bergabung dalam jajaran Tim Pemenangan Nasional (Timnas) Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN) sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat. Setelah mengabdi puluhan tahun di kepolisian, Ketua PP PTMSI (Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia) ini akhirnya memutuskan terjun langsung ke gelanggang politik.

Oegroseno melihat banyak pembenahan di bidang penegakan hukum yang perlu dilakukan. Kepada tim Podcast Tirto For Your Pemilu, pria yang pernah menjadi Wakil Kepala Polri (Wakapolri) ini juga membeberkan persiapannya pertama kali menjadi calon legislatif (caleg) di Dapil Sumatera Utara I.

“Siapa tahu bisa memberikan pemikiran-pemikiran terbaik lagi untuk negara dan bangsa, ini khususnya dalam hukum tadi,” kata dia.

Di Timnas AMIN, Oegroseno juga aktif memberikan banyak masukan sebagai penasihat, terutama di bidang hukum. Intensnya palagan Pilpres 2024, banyak disebut sejumlah pihak membuat aparat penegak hukum ikut cawe-cawe memenangkan paslon tertentu.

Menurut Oegroseno, netralitas TNI-Polri masih dapat diharapkan. Hal ini dia pastikan dengan terus melakukan klarifikasi laporan-laporan di lapangan.

Selain itu, dia berbagi soal dua kepengurusan yang menimbulkan konflik di tubuh PP PTMSI. Konflik ini masih belum menemui titik terang hingga saat ini. Kepada Tirto, dia membeberkan duduk perkara masalah di tubuh dunia tenis meja Tanah Air.

Berikut ini petikan wawancara Tirto diPodcastFor Your Pemilu (FYP)dengan Komjen Pol. Oegroseno:

Kenapa sekarang memutuskan terjun ke politik?

Jadi setelah pensiun 2014, jadi sembilan tahun, menjelang sepuluh tahun ini, sepertinya ada panggilan hati kita melihat perkembangan situasi yang berkaitan dengan penegakan hukum ya.

Jadi, berbeda dengan zaman-zaman dulu di situ. Saya ketemu sama rekan-rekan di DPP Nasdem, diharapkan Pak Oegroseno mau bergabung, saya terima. Awalnya saya juga tidak terlalu ingin masuk lagi, tapi mungkin siapa tahu bisa memberikan pemikiran-pemikiran terbaik lagi untuk negara dan bangsa, ini khususnya dalam hukum tadi.

Kecemasan dan dorongan apa yang mendorong untuk berpolitik?

Kita setelah pensiun banyak bergaul dengan masyarakat. Kemudian kita mengikuti perkembangan beberapa perubahan undang-undang, ada kaitan Undang-undang KPK.

Lalu ada rencana kitab undang-undang hukum pidana juga mau diamandemen, hukum acara juga diamandemen, kemudian masalah penanganan narkotika yang tidak pernah tuntas, gitu. Banyak masalah-masalah hukum yang kira-kira saya harus berbuat apa, gitu.

Jadi, kasihan masyarakat kalau enggak ada yang turun dengan niat berjuang lagi.

Komjen Pol Drs Oegroseno SH

Komjen. Pol. Drs. Oegroseno, S.H.. tirto.id/Andhika Krisnuwardhana

Kenapa memilih Nasdem?

Dari sekian partai politik yang saya lihat tidak memaksakan ya, tidak memaksakan bahwa calon presiden harus dari anggota parpol, ya Nasdem, kemudian didukung oleh PKS untuk di situ. Jadi ya nasionalisnya Pak Nasdem Surya Paloh itu yang saya lihat ini kelihatannya tokoh yang bisa dijadikan panutan ke depan.

Kenal Pak Surya Paloh dulu atau Anies Baswedan?

Saya kenal Pak Surya Paloh sebenarnya tahun 1991. Dulu kan Pemrednya Harian Prioritas, saya dulu Kapolsek di situ. Jadi kalau makan siang di situ, kalau enggak ada duit kita kan enggak boleh meres. Makan siang di kantornya [Harian Prioritas] itu aja. Jadi kenal akrab dengan grupnya Harian Prioritas.

Dengan Pak Anies Baswedan sendiri?

Pak Anies waktu saya ngikuti beliau dari jauh ya. Beliau waktu waktu jadi juru bicara berkaitan [kasus] Cicak-Buaya. Nah, terus kemudian di Gubernur DKI saya diajak bergabung di tim gubernur untuk percepatan pembangunan khusus pencegahan korupsi dan bidang hukum.

Nah, di situ saya lihat kepemimpinan Pak Anies selama saya 35 tahun dua bulan di Polri di Republik ini, saya tidak pernah menemukan pemimpin seperti Pak Anies ini ya. Menghormati sesama rekan. Jadi kalau mau ambil keputusan didengar dua atau tiga belah pihak supaya beliau lebih banyak menerima masukan.

Dan khususnya di pencegahan korupsi ini, saya setelah lima tahun bertugas bersama Pak Anies, laporan tim untuk pencegahan korupsi ini bisa mencegah bocornya anggaran dari APBD DKI itu selama 5 tahun hampir Rp7 triliun.

Anda berjuang di Dapil Sumatera Utara I, ada strategi menarik pemilih Gen Z?

Kepemimpinan saya di Polda Sumut, sebagai Kapolda ya, tahun 2010-2011. Saya selalu membangun komunikasi. Dengan mahasiswa HMI, dengan beberapa organisasi Islam itu, FPI dan sebagainya, ya kita berikan edukasi. Jangan sampai misalnya, kalau unjuk rasa menimbulkan kerusakan atau kekerasan.

Alhamdulillah, semuanya bisa diajak dialog. Jadi kunci komunikasi itu dengan beberapa pihak di masyarakat itu sebenarnya bisa dilakukan. Makanya saya bilang, pernah saya katakan bahwa senjata utama polisi itu bukan pistol, [senjatanya] adalah komunikasi.

Kalau pintar komunikasi, saya rasa pistol itu bisa jadikan souvenir aja dan bela diri aja.

Apa strategi ini juga termasuk alasan Anda aktif di media sosial TikTok?

Komunikasi dengan masyarakat tetap dibangun seperti itu. Jadi masyarakat haus gitu. Haus mau bicara dengan siapa. Jadi semua itu saya bangun karena pengalaman. Jadi pengalaman itu untuk setiap pemimpin menurut saya perlu. Jadi jangan sampai sebagai pemimpin kita miskin pengalaman.

Jadi pengalaman misalnya menghadapi masyarakat yang marah emosional. Itu saya punya pengalaman juga. Waktu Kapolres Surabaya Timur, menghadapi warga Timor-Timur yang marah karena kawannya dibunuh oleh salah satu warga.

Begitu mereka marah semua, bawa kayu, matanya merah itu. Wah, ini kalau saya sama-sama berdiri, kuat-kuatan, saya bisa didorong kan? Udah, saya aja duduk di aspal.

Alhamdulillah setelah duduk, mereka enggak marah. Dia nyampaikan semua pemikirannya pada kita, kita tampung, ya tidak ribut gitu loh. Jadi kalau misalnya kita ketemu orang-orang seperti itu ya, ya coba kita cari solusi.

Apa masalah yang Anda rasakan saat pertama kali ini menjadi caleg?

Kita ternyata masyarakat masih banyak masalah yang mereka sulit berkomunikasi dengan siapa gitu loh. Jadi ya mungkin dengan sistem kepolisian, kalau beberapa negara bisa kita adopsi ya. Seperti di Jepang.

Jepang itu setiap hari polisi mengadakan kunjungan dari rumah ke rumah. Jadi tidak perlu lagi pakai mobil muter-muter, pakai sirine, pakai rotator. Itu kan ngabisin bensin ya.

Saya lebih senang kalau polisi itu banyak komunikasi dengan masyarakat. Di manapun. Di Amerika, mau di Jepang, di Eropa, di Belanda sama. Jadi polisi itu benar-benar diharapkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat.

Jadi saya selama Kapolda di Sumut banyak komunikasi dengan masyarakat. Begitu saya cerita, saya mau ikut caleg, ya mereka welcome aja.

Paslon AMIN dana kampanyenya paling minim, kenapa?

Satu, Pak Anies uangnya juga emangnya tidak banyak. Juga lihat rumahnya beliau. Saya ke sana juga [tidak mewah]. Jadi beliau ya nyatakan bahwa beliau tidak ada dana.

Tapi kalau masyarakat menghendaki, ini kan siklus 10 tahunan. Siklus 10 tahunan itu pasti ya ada pergantian kan gitu. Masyarakat sudah mulai mencari siapa nih tokohnya.

Kalau Pak Anies selama ini rekam jejaknya jelas, pasti rakyat lebih tertarik cari pemimpin model Pak Anies. Makanya setelah selama menjabat, selama bertugas, orang harusnya berikan rekam jejak yang jelas.

Jadi jangan sampai masyarakat tidak tahu. Pemimpin ini mau dipilih, tapi saya enggak kenal.

Ada hambatan terkait kampanye Timnas AMIN?

Kalau kampanye Timnas kan jalan sendiri. Kebetulan saya ikut caleg, saya kegiatan sendiri. Tapi juga membawa misinya, ya mudah-mudahan tetap kita cari pemimpin nasional nanti yang baru, ya Pak Anies ini aja lah.

Yang masalah kampanye dicabut itu, di 6 daerah itu bagaimana?

Ya sama, kalau saya sama dengan apa yang dikatakan Pak Anies, bahwa ini pesta demokrasi, ini konstitusional. Jadi jangan sampai ada yang bertindak seperti itu. Jadi diskriminasi kan sudah melanggar hak asasi manusia.

Artinya [harus] difasilitasi, bukan malah dihambat-hambat. Ini kan pelajaran terburuk lah. Pelajaran terburuk bagi daerah-daerah yang menggunakan pola-pola seperti itu.

Pandangan Anda soal netralitas TNI-Polri?

Saya masih yakin TNI dan Polri, 99 persen masih jujur, berpegang pada Pancasila, berpegang pada Tribrata, pada Sumpah Prajurit Saptamarga.

Jadi tidak akan ada mengorbankan institusi yang dulu pernah diperjuangkan oleh para pahlawan, para pejuang kita seperti TNI ada Jenderal Sudirman, polisi juga ada Pak Hoegeng.

Masa akan mengorbankan seperti itu. Jadi kembali polisi sebagai alat negara, TNI juga sebagai alat negara. Bukan alat pemerintah. Kalau saya dari dulu bilang, polisi dan TNI bukan alat pemerintah.

Ada laporan di lapangan masalah netralitas?

Saya kalau ada yang menyatakan seperti itu, saya klarifikasi. Kepada rekan-rekan di sana, anak buah saya kan masih banyak yang jadi polisi sekarang.

‘Masa ada sih?’ Nggak ada, Ndan. Manggil saya udah pensiun pakai Komandan. Harusnya kan nggak ada. Jadi mereka masih respect sama kita.

Visi AMIN soal kepolisian bagaimana?

Polisi dikembalikan kepada tugas pokoknya. Tugas pokok ya. Tugas pokok sesuai dengan Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002.

Pasal 2 sebagai pelindung, pengayom pelayan masyarakat, penegak kamtibmas, penegak hukum, di situ aja. Jadi tugas yang lain itu butuh kompetensi sendiri.

Kalau soal [visi-misi] untuk Polwan bagaimana?

Ya Polwan saya rasanya gini, Polwan kan pernah kita, seperti saya pengalamannya, satu posisi saya sih polisi wanita semua. Coba, mampu nggak? Ternyata lama-lama hilang gitu.

Karena itu hanya kebijakan dari Kapolda saya kan. Terus saya ganti Kapolda, diubah lagi kan gitu. Polwan selalu saya bilang gini, di samping polisi, Anda adalah wanita. Tapi di samping wanita, Anda adalah polisi.

Berani enggak tugas 24 jam? Saya bilang gitu. Masa kalah sama bidan? Kalah sama perawat? Jadi jangan sampai Anda Polwan yang tugas sampai jam 24 aja takut. Kalau sampai jam 24 aja takut, karena enggak bisa 24 jam. Siklus tugas polisi 24 jam.

Tapi kalau situasi Polwan saat ini bagaimana?

Ya sebagian sudah di lapangan. Saya kan pernah kunjungan ke Amerika. Di Amerika tuh satu Polwan, satu kendaraan patroli sendiri. Tapi di mobil tuh peralatan sudah canggih semua. Polwannya dilengkapi bela diri. Polwan di Amerika, nangkep laki-laki yang mabuk berani.

Mimpi saya ke depan, ya Polwan seperti itu. Jangan sampai Polwan hanya di bagian staf, melayani pimpinan, jangan.

Polisi bisa menjabat di jabatan sipil, ada yang menyebut ini Dwifungsi. Bagaimana pandangan Anda?

Kalau saya sebaiknya tidak langsung diterima seperti itu ya. Jadi sebenarnya dulu ketentuan sudah ada. Kalau misalnya anggota Polri bertugas di Kemenkopolhukam, kemudian di lingkungan Setneg, itu tidak alih status.

Tapi kalau tugas dulu ada di Dirjen Imigrasi, kemudian di beberapa kementerian itu, nah mereka alih status. Jadi dia seperti mengundurkan diri dari Polri, pindah menjadi ASN.

Siap enggak di situ? Kalau emang aturannya diatur seperti itu ya bagus. Jadi jangan sampai pindah misalnya tidak alih status, nanti pengin balik lagi, balik lagi. Ya jangan.

Kalau pindah di luar yang instansi ada kaitan dengan Polri langsung, misalnya seperti Kemenkopolhukam, atau di Setneg karena tugas negara itu, ya tetap anggota Polri. Tapi kalau sudah pindah ya alih status saja langsung. Bikin permohonan mengundurkan diri dari polisi.

Perbaikan di tubuh kepolisian bagaimana saat ini?

Proses-proses tetap berjalan saya lihat ya. Jadi saya berharap ke depan, Indonesia kan negara-negara kepulauan. Nah, kesetaraan untuk mendapatkan pendidikan, pengembangan atau pendidikan lanjutan. Kalau pendidikan di polisi kan ada pendidikan pertama, pendidikan pembentukan. Itu melalui suatu seleksi yang ketat.

Tapi setelah pendidikan pertama, saya berharap ada sistem yang dibangun dengan pengalaman saat COVID-19 kemarin. Jadi pendidikan jarak jauh dilakukan kepada polisi yang ingin meningkatkan kariernya, pangkatnya atau jabatannya ke depan nanti.

Di situ harus berikan kesempatan. Pemerintah atau negara berikan kesempatan untuk pendidikan setiap anggota polisi murah. Jangan sampai ada biaya keluar. Itu bisa ditemukan pakai online. Kan biaya enggak banyak.

Apakah ini masuk sebagai masukan ke Timnas AMIN, khususnya bidang hukum?

Ya, saya banyak-banyak masukan seperti itu. Jadi contoh gini, misalnya ada orang salah, ya mungkin istilahnya kriminalisasi ya, atau salah proses, salah penanganan.

Sekarang kalau orang sudah diproses sampai dituntut jaksa, sampai pengadilan, divonis 5 tahun, ada dulu kasus yang anak-anak di Kebayoran Lama itu. Akhirnya setelah sampai Mahkamah Agung, bebas ya enggak terbukti.

Nah, ganti rugi sekarang berapa? Misalnya, dia sudah ditahan sekian bulan, kemudian divonis 5 tahun nih. Anak-anak umur 17 waktu itu kan. Ganti ruginya maksimum Rp100 juta. Saya berharap kalau Pak Anies nanti jadi presiden terpilih, ganti ruginya sebutkan Rp10 miliar.

Seharus seperti itu. Pemerintah memberikan ganti rugi, Rp10 miliar, kemudian direhabilitasi. Nah, duitnya dari mana? Dari anggaran penyidikan, penuntutan, sampai pengadilan dipotong semuanya.

Anda bermain TikTok, apa ada aduan warganet soal hukum di sana?

Ya terutama masalah tanah di situ ya. Saya melihat masalah tanah ini sebetulnya yang paling bertanggung jawab siapa. Saya lihat menterinya juga bagus, kalau ada mafia tanah laporkan saya, saya turun.

Saya dalam hati mikir Pak Hadi Tjahjanto [Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)] kira-kira kalau satu hari ada 20 laporan polisi masuk, mau turun pakai pesawat apa? Pakai helikopter? Enggak mungkin kan.

Jadi berdayakan saja BPN itu ada penyidik PPNS. Jadi yang nyelesaikan nanti PPNS di BPN. Karena tugas di BPN ini tidak mudah. Ilmu tentang pertanahan enggak mudah, sulit.

Nah, kalau PPNS nanti ada pelanggaran-pelanggaran kaitan pidananya, misalnya terima suap dan sebagainya, baru ditangani penyidik Polri di situ. Jadi yang ditangani penyidik Polri adalah PPNS yang menangani kasus tanah. Jadi jangan langsung diambil oleh polisi.

Kabarnya ada konflik di Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PP PTMSI), ini soal apa?

Jadi banyak pejabat yang mengurusi olahraga di Republik ini. Kemenpora di situ, kemudian ada KONI, ada KOI itu tidak pernah membaca Undang-Undang yang berkaitan dengan olahraga.

Undang-undang olahraga dulu ada Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005, kemudian ada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 juga ada. Kemudian Undang-undang Nomor 3 tadi sudah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022. Di situ jelas, jadi pembinaan olahraga itu ada peran masyarakat.

Masyarakat berarti atlet. Kemudian ada wasit, ada pelatih, ada induk organisasi cabang olahraganya, pimpinannya di pusat atau di daerah. Kemudian ada peran dari pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, kabupaten. Ini nggak berjalan baik.

Tenis meja itu dulu sampai 2013 masih aman. Tapi aktor intelektual yang membuat kondisi olahraga terpecah belah adanya dua kepengurusan ini adalah Ketua KONI sendiri.

Ketua KONI sendiri waktu itu kan salah satu jenderal purnawirawan TNI. Jadi dia sendiri menciptakan organisasi tandingan.

Saya pelajari. Kenapa dia bikin organisasi tandingan? Rupanya dulu Ketua KONI pusat waktu itu ingin membantu Pak Marzuki Ali waktu itu Ketua DPR yang kebetulan akan maju konvensi capres. Disiapkan kereta olahraga ini.

Diadakan Musawarah Nasional Kepengurusan PP PTMSI. Akhirnya dobel saya sebagai pengurus pusat, Pak Marzuki Ali sebagai pengurus besar. Jadi karena ini boneka, ciptaan kan boneka nih, KONI pusat saya gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Putusannya jelas. Putusan Mahkamah Agung sudah yang terakhir. KONI harus membatalkan SK Kepengurusan PP PTMSI Pak Marzuki Ali.

Lalu Putusan Mahkamah Agung enggak dilaksanakan. Kemudian dibikin Pak Marzuki Ali sakit mengundurkan diri. Padahal Pak Marzuki sudah bilang sama saya: 'Mas saya mundur aja lah. Udah lah Mas mimpin.'

Maka Ketua KONI pusat waktu itu langsung mengundurkan diri. Dibikin Munaslub lagi. Setelah dua tahun, pilih lagi. Tokoh bekas menteri dulu ada Pak Lukman Eddy. Yang satu partai dengan Pak Menporanya, Pak Imam Nahrawi.

Pak Lukman Eddy, dua tahun. Masuk calon Gubernur Riau, setelah masuk ke sana, dia menyerahkan jabatannya kepada Dato Tahir. Padahal Dato Tahir dulu pernah jadi ketua menyerahkan jabatan ke saya.

Komjen Pol Drs Oegroseno SH

Komjen. Pol. Drs. Oegroseno, S.H.. tirto.id/Andhika Krisnuwardhana

Begitu 2018 Tahir dipilih, langsung digugat oleh salah satu pengurus. Dinyatakan tidak sah. Tidak sah, [tapi] ditunjuk lagi sama KONI pusat. Orangnya Pak Dato Tahir namanya si Peter. Peter ini didukung KONI pusat.

Karena itu boneka, harus dipertahankan. KONI pusat begitu diganti sama Marciano, kawan saya sekarang KONI pusat, tetap tidak menghormati putusan Mahkamah Agung.

Sebenarnya dimediasi gampang. Urusan tenis meja panggil 5 menit selesai. 10 menit, nanti dikira sombongnya. Panggil aja dasarnya apa? Legal standing-nya ada nggak? Kalau nggak ada ya bubarkan aja.

Jadi nggak usah pake rekonsiliasi. Ini bukan partai politik, [ini] olahraga. Gampang soalnya.

Tapi itu di Menpora diganti yang terakhir Pak Dito. Pak Dito saya pikir tokoh muda kan. Sampai detik ini nggak selesai.

Kemudian gimana ke depannya? Nunggu Pak Anies terpilih lagi sama Menterinya mungkin kalau ada. Kalau yang terpilih nanti yang lain yang di situ ada dulu, yang bikin konflik di tenis meja ya rusak lagi kira-kira gitu.

Jadi ya mudah-mudahan lah tokoh-tokoh di KOI, KONI, sadar sama Menpora, udah lah kembali ke undang-undang ada peraturan gitu. Jadi jangan menggunakan kekuasaan.

Berita terakhir ini katanya kepengurusan PP PTMSI ini dibekukan oleh KOI, bagaimana soal itu?

Saya juga bingung. Sekarang konspirasi KOI, KONI, Menpora udah kelihatan. Saya atlet, saya tenis meja, tidak diberangkatkan terakhir ke Kamboja.

Saya bicara di media bahwa Menpora, KOI, KONI membunuh karakter atlet yang sudah disiapkan orang tuanya juga mau berangkat ke Kamboja. Akhirnya kan kita nggak bisa dapat medali di situ.

Akhirnya berangkat. Cuma saya kritik, saya di media. [Malah] marah, apa yang saya langgar?

Pesan terakhir apa untuk pemilih muda terkait Pilpres?

Ya bagi saya, para generasi muda nih, pilih pemimpin yang terbaik yang sudah memberikan rekam jejak yang baik pada masyarakat. Contoh rekam jejak Pak Anies jelas ya. Menggunakan tenaga-tenaga alih anak-anak muda di Indonesia.

Indonesia ini sebetulnya mampu di situ. Jadi ya udah nggak usah ragu-ragu kalau yang terbaik paslon nomor 1, nomor 1.

Tapi ya tidak dilarang kalau misalnya milih nomor 2 atau nomor 3, silakan itu hak masing-masing. Tapi bagi saya, pilih rekam jejak yang terbaik aja lah.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Current issue
Reporter: Ayu Octavi Anjani
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri