tirto.id - Salah satu rumus horor klasik yang dipakai John Krasinski dalam A Quite Place adalah menambahkan karakter ibu hamil dan anak-anak. Dua karakter jenis ini biasanya adalah jalan pintas para sutradara membangun simpati penonton. Buktinya, efek horor kematian Beau—anak bontot keluarga Abbott, yang berusia empat tahun—di awal film, sama mengerikannya dengan kematian Krasinski yang berperan jadi ayahnya di ujung film. Atau mungkin bagi sebagian orang, bahkan bisa bikin lebih bergidik.
Itu karena sifat anak kecil yang lebih rentan dan tak berdaya dari orang dewasa. Supaya penonton bisa bersimpati pada satu tokoh dewasa, sutradara butuh waktu lebih untuk mengembangkan karakternya.
Rumus ini belakangan ramai dipakai film-film horor Hollwood. Macam The Conjuring (2013), Anabelle (2014), Anabelle: Creation (2017), It (2017), Marrowbone (2017), dan film-film horor James Wan lainnya. Mereka memakai karakter anak-anak dan ibu hamil dalam naskahnya. Agar penoton mudah diajak merasakan teror yang disebar. Di dalam negeri sendiri, baru-baru ini juga ada Bayi Gaib: Bayi Tumbal, Bayi Mati karya Rizal Mantovani yang sayangnya gagal menyajikan horor berkualitas.
Ketika film-film horor arus utama mulai latah memakai karakter ibu hamil dan anak kecil sebagai objek yang ditakut-takuti, Truth or Dare datang dengan konsep beda. Mereka kembali ke rumus lama film-film horor akhir 90-an yang sempat tenar: merekrut segerombolan muda-mudi kampus yang nantinya akan mati satu per satu.
The Faculty, Urband Legend, I Know What You Did Last Summer, Idle Hands, Scream, atau saga Final Destination adalah sedikit dari banjir tren tersebut. Sebagaimana film-film itu punya Usher, Elijah Wood, Jared Leto, Jennifer Love-Hewitt, Devon Sawa, Jessica Alba, Drew Barrymore, Devon Sawa (lagi), dan Ali Larter, Truth or Dare juga berisi bintang-bintang muda idola remaja saat ini.
Kebanyakan dari mereka tenar dalam sinetron drama khusus remaja. Mulai dari tokoh utamanya Lucy Hale yang terkenal gara-gara Pretty Little Liars; Tyler Posey dari Wolf Teen, Violett Beane dari The Flash, Nolan Gerard Funk dari Glee ditambah aktor sinetron lain yang mungkin tak terlalu khusus buat remaja—tapi tetap terkenal—macam: Sophia Ali dari Grey’s Anatomy.
Selain karena ketenaran aktor-aktor tersebut, sutradara Jeff Wadlow tampaknya juga ingin mengejar keberagaman latar belakang pemain Truth or Dare. Maklum, isu Hollywood yang rasis masih belum habis dibahas di mana-mana. Selain ada Tyler Posey dan Sophia Ali yang melambangkan poc alias people of color alias orang-orang berkulit berwarna, Hayden Szeto, aktor Kanada keturunan Cina juga direkrut untuk memerankan karakter gay.
Persis seperti film-film horor era itu, naskah Truth or Dare juga cuma berani bermain-main di wilayah stereotip. Karakter Brad Chang yang diperan Szeto misalnya. Sudah jadi minoritas tiga lapis (orang kulit berwarna, Asia, dan gay), naskah film ini membuatnya punya ayah homofobik. Stereotip orang-orang Asia yang pada umumnya lebih religius dan masih menganggap tabu homoseksual sengaja diukir gamblang.
Bahkan karakter Tyler Posey punya dialog recehan yang bilang kalau semua pria yang suka Beyonce adalah gay—yang tentu saja ditujukan saat bercakap dengan Brad Chang.
Bukan cuma Szeto yang dapat peran demikian. Semua tokoh utama lain juga berputar-putar dalam karakter berstereotip yang mudah ditebak. Lucy Hale sebagai aktor alfa memerankan Olivia, seleb youtube, mahasiswa tenar, cantik, dan altruistik, yang melambangkan karakteristik generasi milenial. Ia tipikal protagonis utama yang akan menguasai sejumlah besar dialog dan selalu jadi penentu keputusan.
Olivia bersahabat kental dengan Markie (Violett Beane), yang punya karakter ala-ala bad-girl: suka mabuk, selingkuh, super-cantik, dan pirang. Yang terakhir itu adalah streotipe yang menurut saya kelewat dipaksa untuk membangun karakter Markie. Sebab, rambut asli Beane sebenarnya berwarna brunette.
Sifat karakter mereka sengaja dibikin berlawan. Kenapa? Ya, supaya ada konflik. Sayangnya, sebagaimana karakter-karakter penuh stereotip ini akan membawa alur yang amat mudah ditebak, konflik antara Olivia-Markie juga amat sangat cheesy. Hubungan keduanya sengaja dibikin rumit dengan prahara cinta segitiga.
Selain tokoh utama, para pemeran pembantu juga diberi peran-peran berstereotip tebal. Tyler Posey tampil sebagai pemuda ultra-seksi yang merusak hubungan Olivia-Markie, Nolan Gerad Funk muncul sebagai pria-besar-berotot, anak orang kaya, arogan, bermulut besar dan berakal dangkal, Sophia Ali diberi peran sebagai pengulur waktu sebelum adegan pamungkas di ujung film, sementara Sam Lerner yang paling sial: ia hadir sebagai badut yang sungguh tertebak jadi korban pertama.
Sebab, dalam semua film-film horor akhir 90-an, harus ada karakter pandir yang mati duluan. Agar para karakter lainnya sadar, kalau nyawa mereka terancam.
Naskahnya memang rapi mengembangkan para karakter. Tapi karena terlalu bermain-main dengan stereotip, semuanya justru mudah ditebak. Adegan-adegan slasher yang biasa jadi andalan film genre ini juga tampil cemen. Jangan harap ada muncratan darah, kepala dipenggal, usus terburai, atau badan gosong disambar listrik dalam film ini. Final Destination, Urban Legend, atau The Faculty punya adegan-adegan gore yang lebih horor.
Namun, keputusan untuk tak menggali sisi gore dalam Truth or Dare tampaknya memang sengaja dipilih Jeff Wadlow.
Konflik utama film ini memang bukan tentang alien yang bisa menyusup dalam tubuh manusia dalam The Faculty, atau pembunuh berdarah dingin yang memburu seisi kampus seperti dalam Urban Legend. Truth or Dare yang memang lebih cocok dibilang sebagai versi softcore dari Final Destination, berkisah tentang permain klasik truth or dare yang kena kutukan di sebuah bangunan tua di Meksiko.
Sebagaimana versi aslinya, permainan yang sudah berumur panjang itu menuntut kejujuran atau keberanian para pemainnya. Dua hal yang tak semua orang bisa mudah melakukannya. Agar efek horornya terasa, hantu dalam permainan itu mengeksplorasi ketakutan para pemainnya lewat aturan sederhana: siapa yang tak melakukan gilirannya akan mati.
Jeff Wadlow dan empat orang dalam tim penulis naskah akhirnya hanya memutuskan berfokus ke sana. Potensi Truth or Dare untuk jadi film gore langsung disekat, dengan premis bahwa horor paling mengerikan sebenarnya terjadi ketika kita harus benar-benar telanjang untuk jujur.
Seperti nyaris semua manusia di dunia ini, nyaris semua pemeran dalam Truth or Dare juga punya ketakutan akbar yang bikin mereka susah untuk memilih jadi jujur atau berani. Meski dibalut naskah cemen yang mengandalkan stereotip dalam berkisah, satu hal yang bisa dipuji adalah kemampuan Wadlow dan tim penulisnya meramu isu-isu sosial ke dalam naskah mereka.
Hebatnya, jumlah isu-isu itu tak cuma satu atau dua. Selain ada diskusi tentang homoseksual dan homofobia lewat karakter Brad Chang, Truth or Dare juga menyelipkan diskusi-diskusi lain tentang pelecehan seksual, bunuh diri, nasib imigran, dan tren milenial yang suka jadi social justice warior.
Tentu saja semua isu itu tak dibahas tuntas dan cuma jadi selipan yang lewat sepintas. Poinnya, Wadlow cuma ingin memperlihatkan bahwa karakter-karakter dalam filmnya cukup nyata, seperti manusia pada umumnya. Tak lebih.
Jadi, baiknya juga jangan berharap lebih. Film ini cuma cukup sebagai hiburan belaka.
Editor: Windu Jusuf