tirto.id - Nisan salib di makam seorang warga bernama Albertus Slamet Sugihardi dipotong bagian atasnya oleh warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta.
Menanggapi hal tersebut, Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta menilai, insiden pemotongan nisan salib itu telah menciderai hak konstitusi warga negara dalam hal kehidupan beragama.
Sekjen FPUB Yogyakarta, Timotius Apriyanto mengatakan, seharusnya konstitusi negara bisa menjamin hak setiap warga negara untuk bebas berekspresi dalam kehidupan beragama.
"Termasuk di dalamnya menggunakan simbol keagamaan baik pada acara upacara keagamaan maupun pada ritual kehidupan, misalnya berkaitan dengan kelahiran, pernikahan dan juga kematian," kata dia usai menggelar pertemuan di Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta, Selasa (18/12/2018).
Di sisi lain, Apriyanto juga menyayangkan pemahaman aparat, khususnya TNI/Polri, mengenai konstitusi warga negara masih belum optimal.
"Sehingga memang di tingkat implementasi di bidang kebebasan ekspresi beragama itu seringnya diletakkan pada konteks minoritas dan mayoritas," ujarnya.
Sementara terkait dengan kerukunan umat beragama, menurut dia, sebagian orang juga masih memandang sisi mayoritas dan minoritas. Hal itu, kata Apriyanto, bisa dinilai dari kasus pemotongan nisan salib di pemakaman tersebut.
"Misalnya tadi dikemukakan bahwa makam mayoritas adalah Islam, tapi kemudian ada mayoritas umat minoritas Katolik menyelenggarakan pemakaman di makam umum -secara notabene makam itu makam umum- [tetapi] harus menyesuaikan, terpaksa mengorbankan simbol keagamaan," katanya.
"Tapi sebenarnya saya menyaksikan bahwa kawan-kawan Katolik cukup mendalam, karena bayangkan salib yang seharusnya itu menyertai jenazah orang yang meninggal di tempat permakaman ini harus dihilangkan gara-gara formalitas relasi mayoritas dan minoritas," lanjutnya.
Ia juga menegaskan, kejadian ini harus menjadi refleksi umum di tahun 2018. Terlebih, kata dia, sepanjang 2018 sudah ada beberapa kasus intoleransi umat beragama di Yogyakarta.
Insiden yang terjadi sepanjang tahun ini, kata dia, dialami juga oleh umat muslim dan non-muslim, di antaranya insiden pembakaran Al-Qur'an di Kulon Progo, pembatalan aksi sosial gereja di Bantul, penyerangan terhadap seorang romo di gereja Sleman, serta pembakaran kantor PCM Muhammadiyah.
Dengan adanya serangkaian kejadian itu, FPUB mendesak aparat keamanan secara optimal dalam menjamin kebebasan beragama tanpa ada prespektif mayoritas dan minoritas.
"Kami menuntut Polda DIY untuk mengungkapkan hasil penyelidikan dan semacam Yogyakarta outlook untuk data-data secara lengkap dan transparan tentang kehidupan antar umat beriman atau umat beragama di Yogyakarta. supaya masyarakat menjadi tidak terombang-ambing oleh informasi dari luar," kata Apriyanto.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Alexander Haryanto