Menuju konten utama

Nelangsa Jemaah First Travel: Gagal Umrah, Aset Dirampas Negara

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi meminta negara tak ambil untung dalam putusan First Travel yang menyatakan aset dirampas negara. Sebab, pemulihan aset harus kedepankan korban.

Nelangsa Jemaah First Travel: Gagal Umrah, Aset Dirampas Negara
Korban First Travel melakukan doa dan tabur bunga di PN Depok, Selasa (23/4/2019). tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Polemik First Travel kembali mencuat. Kejaksaan Negeri Depok menjalankan eksekusi putusan kasasi terpidana kasus penipuan sekaligus bos First Travel, Andika Surrachman, Anniesa Hasibuan, dan Kiki Hasibuan.

Kejaksaan akan melelang aset perusahaan First Travel dan merampas untuk negara sesuai isi putusan pengadilan.

“Sesuai putusan MA (Mahkamah Agung). Sebagian dilelang oleh Kejari Depok,” kata Kasipenkum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Abdul Muis saat dikonfirmasi reporter Tirto, Sabtu (16/11/2019).

Sikap Kejaksaan Negeri Depok dikritik oleh korban penipuan yang merupakan jemaah First Travel dan kuasa hukum Andika.

Zuherial, salah satu jemaah First Travel menyayangkan langkah kejaksaan yang melelang aset First Travel. Menurut Zuherial, aset boleh dilelang, tetapi tidak untuk dirampas negara.

“Sangat menyayangkan itu aset, kan, bukan duit korupsi jemaah, itu uang setoran jemaah mau umrah. Kalau untuk dilelang, silakan, tapi hasil lelang dikembalikan kepada yang berhak/jemaah,” kata Zuherial kepada reporter Tirto, Minggu (17/11/2019).

Zuherial meminta kejaksaan menunggu proses sengketa perdata jemaah diputus, pada Senin (25/11/2019).

Beberapa jemaah First Travel memang mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Depok dengan nomor perjara 52/Pdt.G/2019/PN.DPK.

Setidaknya ada 5 jemaah yang menggugat, yakni: Anny Suhartaty, Ira Faizah, Devi Kusrini, Zuherial, dan Ario Tedjo dengan kuasa hukum Riesqi Rahmadiansyah.

Para jemaah menggugat Andika Surrachman dengan turut tergugat Kepala Kejaksaan Agung cq Kepala Kejaksaan Negeri Depok.

Dalam petitum, kelima jemaah menuntut pengadilan menyatakan telah melawan hukum dan membayar ganti rugi dengan total Rp49 miliar, kerugian immateril Rp1 dan uang dwangsom Rp1 juta.

“Kejaksaan, kan, eksekutor melaksanakan putusan pidana yang sudah inkrach, tapi seharusnya Kajari Depok tunggu dulu putusan perdata tanggal 25 November 2019. Jangan terburu-buru karena Kajari Depok sebagai turut tergugat,” ucap Zuherial.

Hal senada diungkapkan dua kuasa hukum jemaah First Travel di luar kelompok Zuherial, yaitu: Luthfi Yazid dan Mustolih Siradj.

Luthfi Yazid mempersoalkan respons kejaksaan yang meminta jemaah ikhlas dengan uang First Travel. Ia meminta kejaksaan agar memahami perasaan para jemaah yang menjadi korban penipuan dan memberikan solusi yang pro kepada korban.

“Kalau hartanya Kajari diambil untuk negara, apa ia ikhlas? Kemudian untuk 'tidak ribut' dan 'tak ada konflik' ya harus ada solusi, misalnya kembalikan uang jemaah atau berangkatkan mereka umrah. Aset tersebut, kan, dibeli dari uang jemaah bukan hasil korupsi, lah kok disita negara?,” kata Yazid saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (17/11/2019).

Yazid menagih kinerja crisis center maupun komitmen Kementerian Agama dalam menyelesaikan kasus First Travel ini.

Yazid menekankan hukum harus menciptakan keadilan daripada menjalankan putusan. Yazid meminta agar 63 ribu jemaah mendapatkan keadilan yang diharapkan.

“Yang penting uang kembali atau berangkat,” kata Yazid.

Aspirasi yang sama diungkapkan kuasa hukum jemaah First Travel lain, Mustolih Siradj. Ia menilai Mahkamah Agung seharusnya membuat terobosan hukum dengan mengembalikan aset kepada jemaah. Ia beralasan, negara tidak dirugikan sebagaimana kasus korupsi atau pembalakan hutan.

“Seharusnya aset tersebut dikembalikan kepada jemaah, bukan dirampas oleh negara. Sebab, tidak ada satu rupiah pun aset negara yang masuk ke pihak First Travel,” kata Mustolih dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto.

Mustolih mengatakan, jemaah justru semakin merugi bila kejaksaan melelang aset First Travel dan merampas sebagai keuntungan negara.

“Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah tidak berangkat ke Mekkah, jemaah harus menerima kenyataan pahit uangnya pun tidak kembali. Bukannya [negara] hadir untuk para korban, justru mengambil untung dari kasus ini,” kata Mustolih.

Penasihat hukum Andika, Boris Tampubolon juga menyoalkan tentang aset yang dirampas negara. Menurut dia, semestinya aset First Travel dikembalikan kepada jemaah, meski mereka harus mematuhi putusan hakim.

“Kami menyayangkan Kejari Depok yang akan melelang aset First Travel yang kemudian hasilnya dikembalikan ke negara, pasalnya aset tersebut seharusnya bukan untuk negara, tapi untuk jemaah dan klien kami, tapi apa pun itu kami tetap menghormatinya,” kata Boris saat dikonfirmasi reporter Tirto, pada Minggu kemarin.

Boris mengatakan, aset First Travel merupakan milik klien dia dan jemaah sebagai pemilik hak.

Jika diberikan kepada negara, kata dia, maka para jemaah atau orang-orang yang berhak terhadap aset itu akan mengalami kesengsaraan dan ketidakadilan.

Ia juga mempertanyakan apa aspek kemanfaatannya bagi jemaah yang kena tipu kliennya. Oleh sebab itu, kata Boris, Andika akan mengajukan peninjauan kembali dalam kasus First Travel.

“Kami akan mengajukan peninjauan kembali, semua fakta dan bukti baru sudah selesai saya dan tim kumpulkan. Bukti-bukti tersebut akan membuat terang bahwa kasus First Travel ini murni masalah privat (perdata) bukan pidana, juga ada bukti ada banyak aset-aset klien kami yang diperoleh jauh sebelum tindak pidana dilakukan, tapi ikut juga disita. Itu akan kami buktikan,” kata Boris.

Kejaksaan Disarankan Minta Fatwa Hukum

Ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho berpendapat jemaah masih bisa mendapatkan hak mereka meski putusan sudah kasasi. Sebab, prinsip hukum terhadap barang sitaan adalah setiap barang yang disita wajib dikembalikan kepada pemilik.

Eksekutor, dalam kasus First Travel, kata Hibnu, sebaiknya tidak langsung eksekusi karena isi putusan tidak sesuai prinsip hukum. Ia menyarankan agar kejaksaan meminta fatwa agar tidak ada kesalahan eksekusi.

“Jaksa Agung atau pun eksekutor harus minta fatwa ke MA. Mungkin spiritnya kita nggak tahu dirampas negara untuk apa,” kata Hibnu saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Hibnu meminta jaksa cerdas dalam kasus First Travel. Sebab, aset First Travel bukan milik negara. Menurut Hibnu, kejaksaan harus menghentikan pelelangan agar kasus tidak bertambah rumit.

Ia memahami kalau ada sejumlah gugatan secara perdata dilakukan untuk mendapatkan aset. Namun, kompleksitas isu membuat negara harus berhati-hati agar eksekusi tidak sembarangan, apalagi sampai dirampas untuk menjadi pendapatan negara.

Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi meminta negara tidak ambil untung dalam putusan yang menyatakan aset dirampas negara. Ia beralasan, pemulihan aset harus mengedepankan korban.

“Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari kasus ini, justru hak-hak korban yang harus dipikirkan,” kata Edwin dalam keterangan tertulis.

“Bayangkan, selain sudah menderita kerugian berupa materi yang tidak sedikit, terkadang korban juga mengalami penderitaan psikis akibat terpaan rundungan sosial dari lingkungan sekitar karena gagal umrah. Bahkan yang menyedihkan jika ada korban yang jatuh sakit karena memikirkan kegagalan mereka berangkat ke tanah suci,” kata Edwin.

Karena itu, kata Edwin, LPSK menawarkan tiga solusi dalam kasus First Travel.

Pertama, LPSK mengusulkan agar para korban First Travel melakukan pendekatan ke pemerintah melalui Kejaksaan Agung dan Menteri Keuangan untuk meminta seluruh aset yang disita pemerintah dikembalikan kepada seluruh korban.

Kedua, korban bisa mengajukan ganti kerugian kepada pelaku melalui pengajuan restitusi ke pengadilan. Untuk hal ini, kata dia, LPSK dapat memfasilitasi bila mana korban mengajukan permohonan.

Namun, kata Edwin, kedua solusi itu berpotensi menimbulkan masalah baru karena penegak hukum harus mengindentifikasi, verifikasi, melakukan kompilasi terkait data jumlah korban yang tersebar di seluruh Indonesia, bukti kerugian, dan proses administrasi.

Selain itu, ganti rugi berdasarkan aset tidak akan cukup untuk semua korban. Oleh sebab itu, Edwin menyarankan agar pemerintah memanfaatkan aset First Travel untuk sarana beribadah, yakni menggunakan aset untuk membangun rumah ibadah.

“Masjid atau musala yang dibangun dengan menggunakan aset itu sepenuhnya atas nama korban, amal jariyahnya pun tidak terputus dan akan terus mengalir pahalanya bagi korban,” kata Edwin.

Selain itu, kata Edwin, masjid atau musala yang dibangun bisa menjadi monumen pengingat agar masyarakat tidak lagi ada yang menjadi korban serupa seperti First Travel di masa yang akan datang.

Baca juga artikel terkait KASUS FIRST TRAVEL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz