tirto.id - Pemilik First Travel, Andika Surachman dan Aniessa Hasibuan masing-masing divonis 20 tahun dan 18 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Rabu (30/5/2018). Vonis tersebut belum menjadi akhir cerita lantaran calon jemaah umrah belum mendapat ganti rugi dari sejumlah aset yang disita aparat penegak hukum.
Dalam putusan, Majelis Hakim menyatakan aset milik First Travel diserahkan ke negara. Putusan ini menolak tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Depok yang sebelumnya menuntut barang bukti yang disita untuk dikembalikan kepada nasabah atau calon jemaah.
“Hakim tidak sependapat dengan pulasan penuntut umum terkait barang bukti nomor 1-529,” kata anggota Majelis Hakim Teguh Ariefianto.
Dalam pertimbangannya majelis mengatakan, ada konflik antara pengurus pengelola aset korban dengan korban. “Maka untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum, barang bukti poin 1-529 dirampas untuk negara,” kata hakim Teguh.
Daftar aset yang tidak kembali ke calon jemaah antara lain: AC merek Panasonic, mobil Daihatsu Sirion, Honda HRV, Ford, Nissan, Toyota Hiacce Commuter, 20 jam tangan berbagai merek, empat buah laptop, 10 tas mahal berbagai merek, 99 buah kacamata berbagai merek, satu unit apartemen Puri Park View, dan ratusan dokumen lainnya.
Semakin Tidak Menentu
Putusan hakim dianggap korban membikin masalah jadi berlarut. Ini seperti yang dirasakan Devi (44) salah seorang calon jemaah yang tak jadi berangkat umrah. Devi merasa putusan hakim ini tak membela calon jemaah yang sebenarnya menjadi korban dari penipuan yang dilakukan suami istri ini.
“Ini sekarang pemikiran negara seperti apa? Bukan mau membela jemaah kalau kayak gini?” kata Devi saat ditemui di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Rabu siang.
Devi merupakan salah satu calon jemaah yang intens hadir di PN Depok. Ia bersama korban lainnya kerap meminta kepada jaksa untuk mengusut daftar aset First Travel untuk kemudian disita dan dilelang sebagai pengganti kerugian. Tuntutan disampaikan lantaran ia dan korban lainnya hanya menghendaki berangkat umrah.
Putusan hakim yang diketok Rabu siang (30/5), kata Devi, tak memberi solusi tapi justru memicu masalah baru. “Mereka itu sudah nangis-nangis ingin berangkat ke tanah suci, tapi sampai sekarang mana hasilnya?” kata Devi.
Devi menilai masalah ini tak akan terjadi seandainya Pengurus Pengelolaan Aset Korban First Travel (PPAK FT) tak mengirim surat terkait aset yang belum sempat didata jaksa. PPAK FT bahkan sempat menolak mengelola aset dan penolakan ini jadi bahan pertimbangan hakim.
“13 pelapor itu apa? Apa coba mereka hasil dengan semua ini? Puas mereka? Katanya mereka membela jamaah, mana buktinya?” ujar Devi sambil menangis.
Soal penyitaan ini juga membuat salah satu pengecara korban First Travel Riesqi Rahmadiansyah mengaku akan meminta fatwa kepada Mahkamah Agung. Ia mengaku tak mempersoalkan vonis, tapi ia bingung apa yang landasan hakim menyita aset untuk negara.
“Saya akan menyurati MA untuk minta fatwa terkait putusan ini bagaimana eksekusinya,” kata Riesqi.
Menurut pria yang juga kuasa hukum Devi dan korban lainnya ini, JPU sebenarnya masih bisa menelusuri aset lain milik terdakwa Andika dan Aniessa. Kasus ini, kata dia, masih belum inkracht lantaran dalam dua hari ke depan bisa terjadi upaya banding atas vonis tersebut.
Tanggapan Pengurus Pengelola Aset
Tudingan ini dibantah pengurus PPAK FT, Dewi Gustiana. Ia mengatakan penolakan dan surat yang dilayangkan PPAK FT justru untuk mencegah korban bertambah. PPAK FT merupakan wadah perkumpulan bagi korban First Travel.
“Justru kalau kami terima, kami akan jadi korban lagi. Dana kecil jamaah banyak,” kata Dewi kepada Tirto, Rabu.
Dewi menerangkan, PPAK FT tidak ada maksud untuk mengambil semua aset calon jemaah FT. Ia balik berdalih, penundaan sebagai upaya agar korban tidak merugi. Ia beralasan, aset FT masih banyak belum terdata dengan jelas agar jemaah dapat keadilan.
Dewi bercerita, dirinya dan pengurus PPAK FT belum mendapat daftar seluruh aset milik First Travel. Mereka sudah meminta daftar aset FT dan jumlah aset yang diinformasikan kejaksaan ternyata hanya 500-an item, padahal aset FT seharusnya mencapai 800-an item. Pihak kejaksaan tidak merinci dengan dalih baru dibuka setelah perkara inkracht. Sementara itu, pihak Bareskrim disebut Dewi, tidak terbuka dalam menjelaskan jumlah aset First Travel.
“Kami sebagai jemaah diombang-ambingkan. Sampai kami yakin aset yang sekarang tidak cukup dan menjadi problem baru. Karena itu kami bersurat ke majelis hakim,” kata Dewi.
Sebagai salah satu korban First Travel, Dewi juga bingung soal alasan dilimpahkan aset First Travel dialihkan ke negara. Ia khawatir aset itu nantinya tak dikembalikan kepada jemaah. “Harusnya negara malu dong. Ini bukan uang hasil korupsi atau uang dari negara. Ini kan uang jemaah,” kata Dewi.
Penasihat hukum Dewi, Luthfie Yazid juga berpandangan aset FT seharusnya tidak dirampas untuk negara. Menurut Yazid, perkara FT bukan perkara korupsi sehingga tidak perlu melibatkan negara.
“Kalau kasus korupsi boleh lah masuk uang negara. Kalau bukan korupsi, ya malu dong. Masa negara mau ambil uang jemaah, uang rakyat?” kata Yazid.
Terdakwa Juga Mengeluh
Keluhan penyitaan aset FT ke negara juga diungkapkan penasihat hukum First Travel, Wirananda. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan kliennya akan banding terhadap putusan hakim. Ia beralasan, putusan tidak mengarah pada kemaslahatan umat sesuai permintaan Andika dan Anniesa.
“Harapan besar kami adalah aset dari FT ini dipergunakan untuk jemaah. Artinya berangkatkan jemaah atau refund uang jemaah,” kata Wirananda.
Wirananda mengaku, kliennya berkomitmen untuk memberangkatkan jemaah setelah perkara FT bergulir. Namun, akibat dirampas negara, status menjadi tidak jelas. “Untuk aset, harapan besar saya dimanfaatkan untuk jemaah,” kata Wiranda.
Sementara pihak kejaksaan belum mau bersikap terkait putusan hakim. Mereka melihat pandangan hakim hanya berbeda dari sisi Pengelolaan barang bukti. Jaksa justru kaget mendengar penolakan dari korban, terutama dari pihak PPAK FT karena aset yang ada belum sesuai dari jumlah seharusnya.
“Justru ketika menghadapi tuntutan para korban menolak. Ini justru yang saya tidak mengerti apa maksud di balik ini,” kata Jaksa Heri Jerman,.
Heri berpendapat, semua poin yang dikeluhkan korban sudah dimasukkan dalam dakwaan. Mereka pun memastikan semua aset yang dijadikan barang bukti sesuai dengan hasil penyidikan kepolisian. Ia mengaku, jaksa belum menghitung jumlah total aset.
“Itu barangnya banyak, lebih dari 500 item. Kalau kami rinci satu persatu tidak bisa, harus transaksi dulu,” kata jaksa.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih