Menuju konten utama

Negara Jorjoran Mengamankan Industri Batu Bara Lewat UU Cipta Kerja

Negara menyelamatkan industri tambang dengan memberikan mereka relaksasi tak perlu bayar royalti asalkan melakukan hilirisasi.

Negara Jorjoran Mengamankan Industri Batu Bara Lewat UU Cipta Kerja
Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (8/7/2020). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.

tirto.id - Pengusaha baru bara berbahagia. Berkat Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI dan disetujui pemerintah pada Senin 5 Oktober lalu, mereka tidak perlu lagi menyetor uang kepada negara setelah mengeruk sumber daya alam (SDA).

Pasal 128A ayat (1) revisi UU 3/2020 UU Cipta Kerja--versi teranyar, 812 halaman--menyebut pelaku usaha yang melakukan hilirisasi batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu dalam kewajiban penerimaan negara. Ayat berikutnya menyebut perlakuan tertentu itu adalah pengenaan royalti sebesar nol persen. Kementerian ESDM mengklaim insentif ini untuk “mempercepat proses hilirisasi.”

Koalisi masyarakat sipil Bersihkan Indonesia menolak klausul itu. Mereka mengatakan pembebasan royalti sebenarnya ditujukan demi menyelamatkan pengusaha batu bara atau seperti dana talangan (bailout).

Pernyataan itu berdasar karena faktanya banyak perusahaan batu bara sedang kesulitan keuangan. Data The Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan, dengan asumsi patokan harga batu bara di angka 47 dolar AS per ton, hanya ada 1 dari 11 perusahaan batu bara terbuka (tbk) yang kondisi keuangannya impas atau cukup baik.

Tren harga batu bara terus memburuk sejak 2019. IndexMundi mencatat harga batu bara acuan Newcastle sempat mencapai kisaran 100 dolar AS per ton di Januari 2019, lalu menjadi di bawah 70 dolar AS per ton pada Januari 2020, dan turun lagi menjadi 50,34 dolar AS per ton per Agustus 2020. Per Oktober lalu, Kementerian ESDM mencatat harga batu bara acuan (HBA) baru mencapai 51 dolar AS per ton.

Selain harganya terus anjlok, saat ini ekspor batu bara Indonesia juga mengalami tren penurunan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk kategori HS Code 27011 menunjukkan ekspor batu bara Januari-Agustus 2020 sempat mencapai 9,89 miliar dolar AS, turun dari periode yang sama di tahun 2019 (12,83 miliar) dan 2018 (13,68 miliar).

Kesulitan keuangan diperparah karena perusahaan batu bara memiliki utang jatuh tempo pada 2020-2022. Data Moody’s Investor Services mencatat perusahaan-perusahaan batu bara di Indonesia memiliki total utang 2,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp42 triliun untuk jatuh tempo 2022 saja.

Koalisi khawatir keputusan membebaskan royalti ini bakal mendorong laju eksploitasi besar-besaran dan melanggengkan pemanfaatan energi kotor terutama PLTU di Indonesia, saat komoditas tersebut mulai dijauhi berbagai negara. Di sisi lain, masyarakat dan pemerintah daerah hanya menanggung kerusakan lingkungannya saja tanpa menerima apa-apa.

“Hanya akan mendapat lubang tambang dan bencana saja,” ucap juru bicara Bersihkan Indonesia dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono dalam keterangan tertulis, Kamis (8/10/2020).

Kekhawatiran koalisi masyarakat sipil dapat dimengerti sebab sebelum UU Cipta Kerja lahir, pemerintah dan DPR sudah mengesahkan revisi UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang salah satu pasalnya menjamin pemilik izin tambang generasi pertama (PKP2B) dapat perpanjangan menjadi IUPK tanpa melalui lelang ulang dan penciutan luas konsesi.

Negara Juga Rugi

Peneliti dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Ghee Peh mencatat selama 2019 pemerintah Indonesia mendapat royalti hingga 1,1 miliar dolar AS dan 1,2 miliar dolar AS dari pajak 11 perusahaan batu bara. Jika kewajiban penerimaan benar diberikan perlakuan khusus hingga mencapai nol persen, maka sejumlah itu juga kerugian yang akan ditanggung dari penyelamatan pengusaha tambang.

Menurut IEEFA, kerugian itu tidak seharusnya ditanggung negara. Sebaliknya, cukup biarkan mekanisme pasar yang bekerja.

Saat ini ketertarikan investor pada industri batu bara terus menurun kecuali di sejumlah negara seperti Cina. IEEFA mencatat sekitar 122 bank dan lembaga multilateral telah menghentikan pendanaan bagi PLTU.

Nama-nama korporasi besar seperti Anglo American, Rio Tinto, dan BHP juga sudah/sedang menjual aset batu bara mereka. Belum lagi saat ini tren energi terbarukan semakin berkembang dan murah.

“Membiarkan tambang dan perusahaan yang dijalankan dengan buruk untuk gagal mungkin adalah pilihan ekonomi yang benar. Perusahaan dengan performa lebih baik dapat memutuskan apakah akan mengambil tugas ini atau membalikkan operasinya,” ucap Ghee dalam laporan bertajuk Indonesian Coal: No Bailout, Don’t Throw Good Money After Bad.

Namun, Direktur Pembinaan Pengusahaan batu bara Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan sebaliknya: pembebasan royalti tak akan mengurangi penerimaan negara. Ia beralasan hilirisasi mampu menciptakan efek ganda lewat pembukaan lapangan kerja yang mensubstitusi kehilangan penerimaan negara.

“Kalau industri jalan, maka secara agregat pajak memberi keuntungan bagi negara. Bagi daerah juga berdampak untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang,” ucap Sujatmiko, Jumat (16/10/2020), dikutip dari laman resmi kementerian.

Orias Petrus Moedak, Direktur Utama MIND ID, induk holding BUMN Tambang, juga sepakat. Ia bilang pasal pertambangan UU Cipta Kerja diyakini bakal meningkatkan lapangan pekerjaan.

“Ini sangat baik terhadap industri, rencana pengembangan ke depan,” ucap Orias dalam diskusi virtual, Kamis (15/10/2020).

Baca juga artikel terkait PERUSAHAAN TAMBANG atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino