tirto.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sebelumnya bernama Ciptakan Lapangan Kerja alias Cilaka akan memberi sejumlah ketentuan baru bagi pengusaha tambang batu bara. Salah satunya soal royalti bagi pengusaha tambang sebagaimana ditambahkan dalam Pasal 128A RUU Cilaka dengan sejumlah syarat.
Bunyinya, “(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.”
Fasilitas lain yang diberikan juga mencangkup perubahan pada Pasal 83 UU No. 4 Tahun 2009.
Pada Pasal 83 huruf c UU No. 4 Tahun 2009, luas wilayah izin usaha penambahan khusus (WIUPK) eksporlasi pertambangan batu bara ditetapkan maksimal 25 ribu hektare. Namun RUU Cilaka menambah luasnya seperti dalam Pasal 83 huruf b menjadi 50 ribu hektare.
Lalu luas WIUPK untuk kegiatan operasi produksi mineral logam dan batu bara yang semula dipatok 25 ribu dan 15 ribu dalam Pasal 83 huruf b dan d UU No. 4 Tahun 2009 dihapus. RUU Cilaka menggantinya dengan Pasal 83 huruf c kalau luas WIUPK bisa ditetapkan oleh pemerintah pusat dari usulan pelaku usaha.
Awalnya Pasal 47 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 menyatakan, “IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.”
Ketentuan ini diubah untuk jangka waktu yang lebih lama seperti pertambangan mineral logam. RUU Cilaka membuatnya menjadi, “Dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.”
Dari izin-izin yang diberikan ini pun, pemerintah menambahkan juga Pasal 169A dalam RUU Cilaka yang membuat perizinan bisa diperpanjang tanpa melalui lelang. Baik itu perizinan yang sudah diperpanjang maupun yang belum. Pertimbangan dalam pasal itu dilakukan berdasarkan, “peningkatan penerimaan negara.”
Menariknya, RUU Cilaka juga berupaya membuat celah bagi kegiatan tambang yang mengalami tumpang tindih dengan hutan dan tata ruang lainnya. Di dalam Pasal 134, RUU Cilaka menambahkan ayat (4).
“Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kegiatan usaha pertambangan dengan kawasan hutan, rencana tata ruang, Perizinan Berusaha/persetujuan, dan/atau hak atas tanah, penyelesaian tumpang tindih dimaksud diatur dengan Peraturan Presiden,” demikian ayat (4) Pasal 134.
Dalam diskusi publik "Omnibus Law Untuk Siapa?" di kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (19/1/2020), LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sempat menyatakan perubahan aturan ini menunjukkan Indonesia akan melanggengkan energi kotor.
Lewat perpanjangan masa konsensi dan penghapusan royalti, menurutnya pemodal akan semakin diuntungkan.
Belum lagi, dalam RUU Cilaka, ketentuan pidana korporasi dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan juga dihapus.
"Ini akan enggak ada batas waktu terutama yang terintegrasi dengan pemurnian, atau hilirisasi. Biasanya kan ada batas waktu, 20 tahun misalnya. Ini menunjukkan bahwa watak energi kita masih energi kotor seperti batubara," ucap Koordinator Jatam Merah Johansyah.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz