tirto.id - James Hunt, jurnalis yang bertugas di Beijing, menceritakan pengalamannya soal dahsyatnya sistem pembayaran digital di Cina. Saat ia pergi bekerja sampai kembali pulang ke rumah, tidak sedikitpun memakai uang tunai atau kartu kredit. Aktivitas sarapan di kafe, menyewa sepeda, makan siang di restoran, membeli buah di toko kelontong, naik taksi, menyumbang ke pengemis, dan seabrek transaksi lainnya, semua dibayar melalui ponsel pintar.
Perkembangan digital payment di Cina beberapa tahun terakhir memang sangat pesat. Menurut perusahaan riset asal Cina iResearch nilai pembayaran digital di Cina pada 2016 telah menembus $5,5 triliun. Banyak faktor yang membuat pembayaran digital di kota-kota besar Cina menjadi populer, karena kultur orang Cina yang terbiasa dengan perubahan, dukungan perusahaan teknologi Cina, dan sokongan pemerintah.
Pemerintah Cina pada 2015 melancarkan program "Internet Plus" yang dirancang untuk mengintegrasikan seluruh layanan publik dengan internet seperti tagihan listrik, pengajuan visa dan menjadwalkan janji dengan dokter dan lain sebagainya. Pemerintah Cina juga menggandeng perusahaan teknologi seperti Alibaba dan Tencent yang memiliki layanan pembayaran digital Alipay dan WeChat Pay.
“Jadi masyarakat dan pebisnis tidak perlu berkali-kali datang ke kantor pemerintahan untuk menyelesaikan urusannya. Prosedur lebih sederhana, dan memuaskan,” kata Perdana Menteri Cina Li Keqiang.
Di Indonesia, digital payment jauh tertinggal dari Cina. Namun, tidak bisa dipungkiri, masyarakat urban kini sudah nyaman membayar secara digital. Inda misalnya, warga Jakarta Selatan, mengaku hampir seluruh pengeluaran hariannya dibayar secara digital.
“Kalau mau dihitung, bisa dibilang hampir setiap hari pengeluaran saya itu dibayar melalui ponsel. Mulai dari naik ojek, beli makan siang, dan lain sebagainya, karena memang enggak repot,” kata perempuan 32 tahun ini kepada Tirto.
Pembayaran secara digital melalui aplikasi ponsel pintar memang kian populer di Indonesia. Sejumlah aplikasi juga menyediakan fitur dompet atau uang elektronik untuk mempermudah pelanggan bertransaksi atau melakukan pembayaran. Misalnya, Go-Pay dari Go-Jek, Line Pay di Line. Juga beberapa perusahaan e-commerce dan telekomunikasi membangun ekosistem pembayaran dompet digital sendiri seperti TokoCash di Tokopedia, Dompetku dari Indosat, BukaDompet dari BukaLapak, dan banyak lainnya.
Sayangnya, perkembangan dompet digital dari perusahaan teknologi tersebut justru masih terkendala dari sisi birokrasi dan perizinan. Perusahaan seperti Tokopedia dan Bukalapak misalnya masih belum mendapatkan izin dari Bank Indonesia, semenjak dompet digital mereka dibekukan Bank Indonesia (BI) pada Oktober 2017.
"Setiap bank atau lembaga selain bank yang menyelenggarakan uang elektronik dengan jumlah Rp1 miliar ke atas wajib memiliki izin Bank Indonesia," kata Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Eni V Panggabean seperti dikutip dari Antara.
Merujuk pada Surat Edaran BI Nomor 16/11/DKSP pada 22 Juli 2014 tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik, penerbit uang elektronik wajib mendapatkan izin dari Bank Sentral jika “floating fund” atau dana mengendap di uang elektronik tersebut mencapai Rp1 miliar. Pembekuan ini juga diperkuat dengan dasar Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 tentang uang elektronik (electronic money).
“Masih belum ada izin. Update terakhir itu masih di tahap analisa Bank Indonesia. Jadi saat ini kami masih menunggu hasilnya,” ujar Evi Andarini, Corporate Communication Manager Bukalapak kepada Tirto.
Evi mengaku seluruh persyaratan untuk mendapatkan izin prinsip dari Bank Indonesia sudah dipenuhi. Konsekuensinya proses top up untuk BukaDompet masih dalam status dibekukan sementara waktu. Namun, ia mengklaim kondisi tersebut tidak memengaruhi layanan BukaLapak karena transaksi masih bisa memakai saluran lainnya.
Seperti BukaLapak, layanan Tokocash milik Tokopedia juga belum mendapatkan izin dari otoritas. Menurut Tokopedia, perusahaan masih berkonsultasi dengan BI terkait izin. “Kami ingin agar lebih banyak masyarakat Indonesia dapat menikmati manfaat bertransaksi online di Tokopedia, sekaligus mendukung inklusi keuangan,” jelas Sari Kacaribu, Head of Public Policy & Government Relations Tokopedia kepada Tirto.
Kendala dari sisi birokrasi memang sering dikeluhkan oleh pelaku usaha financial technology (fintech). Asosiasi Fintech Indonesia mengakui tidak sedikit kendala dihadapi perusahaan fintech saat hendak mengurus pendaftaran untuk memperoleh izin operasi di Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Fintech yang mencakup beberapa kategori pembayaran, pinjaman, agregator, crowdfunding, dan financial planning memang punya saluran perizinan yang berbeda. Untuk fintech berbasis pinjam meminjam atau peer to peer lending, perizinan di OJK. Sedangkan untuk yang berbasis sistem pembayaran prosesnya di BI. Dari dua otoritas tersebut, pengurusan pendaftaran di OJK dinilai lebih mudah ketimbang di BI. Hal itu dikarenakan ada perbedaan mekanisme audit yang dipakai masing-masing otoritas.
“Mekanisme BI adalah pre-audit. Artinya, seluruh dokumen dan sistem harus siap sebelum memohon izin. Sementara mekanisme OJK adalah post audit,” kata M. Ajisatria Sulaeman, Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia kepada Tirto.
Dengan post audit, perusahaan fintech diberikan kesempatan untuk tetap beroperasi dengan memberikan sejumlah dokumen awal. Setelah itu, perusahaan diberikan waktu satu tahun untuk melengkapi dokumen lainnya, termasuk memperbaiki sistem, sedangkan di BI sebaliknya.
Menanggapi soal izin uang elektronik ini, Kepala Departemen Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko menilai cepat atau tidaknya pelaku usaha mendapatkan izin dari BI, tergantung dari pelaku usaha itu sendiri.
“Selain dokumen harus dilengkapi, kami juga melihat kesiapan infrastrukturnya. Nah, ada yang cepat, ada yang lama. Jadi, tergantung seberapa cepat feedback mereka,” ujarnya kepada Tirto.
Adanya peraturan baru mengenai uang elektronik juga membuat dokumen yang harus dilengkapi oleh perusahaan pendaftar menjadi bertambah. Hal itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 20/06/2018. Dokumen tambahan yang harus dilengkapi itu misalnya seperti surat pernyataan dan jaminan (representation and warranties), dan dokumen kepemilikan saham 51 persen adalah warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Ketentuan ini berimbas pada beberapa perusahaan penyedia layanan uang digital.
Jika dihitung, syarat-syarat yang harus dipenuhi calon penerbit uang elektronik, baik dari bank maupun nonbank dalam peraturan baru tersebut sebanyak sembilan syarat. Adapun, izin dari Bank Indonesia berlaku selama 5 tahun.
"Lima penerbit ini kepemilikannya melanggar ketentuan 49 persen-51 persen (asing-domestik). Dan mereka harus sesuaikan," kata Onny dikutip dari Antara.
Saat pihak BukaLapak diminta tanggapan, mereka mengaku aturan baru mengenai kepemilikan saham tidak memberatkan BukaLapak mengingat mayoritas kepemilikan saham perseroan adalah dari dalam negeri, bukan asing. Sementara itu pihak Tokopedia saat dikonfirmasi belum bersedia berkomentar.
Hingga saat ini, jumlah pendaftar uang elektronik yang tercatat di Bank Indonesia sudah mencapai 20 perusahaan. Namun di luar itu, BI baru memberikan izin kepada 27 perusahaan. Dari total penerbit berizin, sebanyak 11 penerbit berasal dari bank, lalu 11 penerbit dari perusahaan teknologi informasi, dan sisanya dari perusahaan komunikasi.
Transaksi Uang Elektronik Melonjak
Di tengah persoalan izin perusahaan fintech dengan segala layanannya, animo masyarakat untuk memakai uang elektronik sangat tinggi. Berdasarkan data BI, volume dan nilai transaksi uang elektronik di Indonesia juga meningkat setiap tahunnya.
Pada 2017, volume transaksi tercatat sebanyak 943 juta transaksi, naik 38 persen dari 2016 sebanyak 683 juta transaksi. Sementara nilai transaksi naik 75 persen dari Rp7,06 triliun menjadi Rp12,37 triliun. Peluang volume dan nilai transaksi tahun ini akan tumbuh lebih tinggi lagi dari tahun-tahun sebelumnya. Ini karena volume transaksi pada kuartal I-2018 saja sudah 64 persen dari realisasi 2017 atau sebesar 611 juta transaksi.
Nilai transaksi uang elektronik juga mengalami kenaikan signifikan. Pada periode yang sama, nilai transaksi uang elektronik sudah mencapai 83 persen dari realisasi 2017 senilai Rp12,37 triliun, atau sebesar Rp10,31 triliun.
Torehan positif uang elektronik di Indonesia yang tak diimbangi kecepatan birokrasi dalam merespons proses perizinan mendapat kritikan. Institute for Development of Economics & Finance (Indef) menyayangkan birokrasi masih menjadi faktor yang menghambat perkembangan bisnis uang elektronik.
“Memang problem-nya BI masih risk oriented belum innovation oriented. Faktor kehati-hatian menjadi alasan perizinan sistem pembayaran khususnya uang elektronik jadi sulit,” tutur Bhima Yudhistira, Peneliti Indef kepada Tirto.
Ucapan Bhima memang ada benarnya, kondisi ini berdampak pada daya saing Indonesia untuk urusan digitalisasi. Berdasarkan IMD Digital Competitiveness 2017 (PDF), peringkat Indonesia terkait regulasi berada di peringkat ke-61 dari total 63 negara yang dikaji. Kesiapan regulasi dari Indonesia kalah dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia yang berada di peringkat ke-30, Singapura di peringkat ke-1, dan Thailand di peringkat ke-38.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra