tirto.id - "Kami rutin menanyakan bagaimana status aplikasi izin kami, namun selalu dijawab sedang diproses. Lamanya proses ini berdampak pada kenyamanan pengguna, sekaligus menurunnya penjualan UKM Bukalapak dari channel BukaDompet."
Ahmad Zaky, Founder & CEO BukaLapak mengeluhkan begitu alot proses mengurus legalitas uang elektronik milik Bukalapak yang dikenal 'BukaDompet'. Sejak dibekukan Bank Indonesia (BI) pada Oktober 2017 lalu, Zaky mengaku sudah langsung mencoba memenuhi segala aturan yang ditetapkan BI.
Namun, sudah lebih dari tiga bulan belum ada kejelasan dari BI. BukaLapak bukan satu-satunya perusahaan perdagangan daring (e-commerce) yang fasilitas uang elektroniknya dibekukan. Beberapa nama seperti TokoCash milik Tokopedia, ShopeePay milik Shopee, dan PayTren milik Ustadz Yusuf Mansyur.
Layanan uang elektronik tersebut dibekukan ketika dana yang dikelola sudah mencapai Rp1 miliar sementara para penerbitnya belum mengantongi izin dari BI. Bila merujuk pada Surat Edaran BI Nomor 16/11/DKSP pada 22 Juli 2014 tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik, penerbit uang elektronik wajib mendapatkan izin dari Bank Sentral jika “floating fund” atau dana mengendap di uang elektronik tersebut mencapai Rp1 miliar. Pembekuan ini juga diperkuat dengan dasar Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 tentang uang elektronik (electronic money).
"Setiap bank atau lembaga selain bank yang menyelenggarakan uang elektronik dengan jumlah Rp 1 miliar ke atas wajib memiliki izin Bank Indonesia," kata Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Eni V Panggabean seperti dikutip dari Antara.
Pembekuan hanya dikenakan untuk layanan tambah saldo (top up) uang elektronik. Sedangkan untuk transaksi dan pencairan saldo masih bisa dilakukan pengguna uang elektronik dari empat aplikasi tersebut. Proses jual beli juga tetap bisa berjalan normal dengan pilihan sistem pembayaran lainnya. Layanan top up uang elektronik baru bisa digunakan kembali setelah proses perizinan dinyatakan sudah terpenuhi oleh Bank Indonesia.
"Syarat-syarat semua sudah kami submit sejak Oktober," ujar Zaky kepada Tirto.
Menurut Zaky, alotnya proses perizinan uang elektronik di BI berdampak cukup signifikan. Setidaknya, ada sekitar Rp100 miliar potensi omzet UKM BukaLapak yang hilang. Pembayaran melalui BukaDompet menjadi andalan para pelanggan BukaLapak atau berada di peringkat kedua setelah pembayaran melalui transfer ATM. Sedikitnya sekitar 20 persen transaksi diselesaikan melalui BukaDompet.
"Mungkin sekitar seratusan miliar dalam sebulan (potensi omzet UKM yang hilang). Ini berdampak pada kenyamanan pengguna," imbuh Zaky.
Sementara itu, pihak Tokopedia melalui Senior Communications Lead Tokopedia, Siti Fauziah menegaskan "kami sudah mengajukan izin uang elektronik ke Bank Indonesia. Karena proses ini menyangkut berbagai pihak di luar Tokopedia, seperti Bank Indonesia, kami tidak bisa memastikan berapa lama fitur top up dari layanan TokoCash akan dihentikan."
Sayangnya Tokopedia enggan menyampaikan potensi kerugian dari keputusan BI tersebut. Ia menegaskan pihaknya berusaha maksimal bisa segera menyelesaikan proses perizinan.
Tirto berupaya menanyakan ihwal ini kepada pihak bank sentral soal nasib dompet digital milik para e-commerce. Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Eni V Panggabean sempat berkilah ketika dihubungi. Ia beralasan bahwa semua informasi harus melalui Departemen Komunikasi BI.
Sayangnya, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman pun tak bisa memberikan alasan kongkret mengapa perizinan uang elektronik e-commerce menjadi begitu alot.
"Oh itu saya juga nggak bisa jawab. Namanya juga dalam proses, yang mengajukan izin tentu boleh bertanya langsung ke teman-teman yang mengurusnya," kata Agusman kepada Tirto.
Berapa lama idealnya perizinan ini bisa rampung?
"Setahu saya setelah semua dokumen dan persyaratan lengkap service level agreement-nya dalam 45 hari maksimal sudah ada keputusan. Itu maksimal waktu setelah dokumen dan persyaratan lengkap ya. Jika belum keluar juga bisa jadi dokumen atau persyaratan yang diminta belum lengkap," jelas Agusman.
Zaky mengaku akan tetap mengikuti aturan main dari Bank Indonesia. Walaupun tak bisa dipungkiri mereka ingin segera layanan dompet digital Bukalapak bisa beroperasi secara normal kembali.
"Kami masih menunggu, tapi memang berharap dipercepat. Apalagi kami unicorn yang mayoritas milik Indonesia. Tiga tahun lalu sejak lewat Rp1 miliar, kami sudah audiensi dan jawaban BI itu nggak masuk (aturan perizinan) e-money. Baru September 2017 kami dinyatakan harus izin e-money," tambah Zaky.
Keadaan semacam ini tentu akan mengganggu iklim e-commerce di Indonesia yang sedang menggeliat. Pada 2017, sektor e-commerce Indonesia mampu menyumbang penjualan $7,056 miliar, meningkat dari $5,780 miliar di 2016. Potensi ini sedang dipacu oleh pemerintah yang sedang fokus mengembangkan ekonomi digital, khususnya transaksi non tunai atau e-money.
Namun, alotnya perizinan uang elektronik di BI yang harus dilewati Tokopedia atau yang lain, cukup disayangkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Menurut Rudiantara, dua kunci dari sekian banyak faktor yang berpengaruh pada cepatnya pertumbuhan ekonomi digital, khususnya e-commerce adalah sistem logistik dan sistem pembayaran. Kedua sistem tersebut harus jalan cepat secara bersamaan.
Khusus untuk sistem pembayaran, sudah seharusnya lebih memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang di masyarakat, yaitu melalui dompet digital yang ada pada ponsel pintar. Sehingga biaya transaksi bagi masyarakat lebih cepat dan lebih murah.
"Karenanya saya mendorong percepatan-percepatan pada pengembangan sistem pembayaran termasuk proses perizinannya. Makin banyak yang memanfaatkan, makin cepat terjadi perputaran ekonomi yang akan meningkatkan skala ekonomi. Akhirnya (tercipta) biaya yang sangat efisien bagi masyarakat," kata Rudiantara kepada Tirto.
Ia menegaskan percepatan proses perizinan dompet digital milik e-commerce sangat penting, karena pemerintah punya target nilai valuasi e-commerce sebesar $130 miliar atau setara Rp1.857 triliun pada 2020 mendatang. Ini tentu juga akan sangat tergantung para pelaku e-commerce dan iklim usaha yang mendukung, termasuk dukungan dari pemegang kebijakan bidang moneter, Bank Indonesia.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra