Menuju konten utama

Nasib Bisnis Barang Elektronik Saat Dolar Tembus Rp15.000

Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang bertahan di atas Rp15.000 dampaknya sudah dapat dilihat dari data indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan grosir jenis barang impor.

Nasib Bisnis Barang Elektronik Saat Dolar Tembus Rp15.000
Pedagang menata barang elektronik yang dijual di pusat elektronik Glodok, Jakarta, Jumat (7/9/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Kurs rupiah tercatat kian melemah terhadap dolar AS dalam sebulan terakhir. Berdasarkan data Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) bahkan bertahan di atas Rp15.000 per dolar AS sejak awal bulan ini. Puncaknya, pada Selasa, 9 Oktober kurs rupiah terhadap dolar AS berada di level Rp15.233.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengklaim tren pelemahan kurs rupiah yang bertahan di atas Rp15.000 per dolar AS masih berada dalam batas fundamental perekonomian Indonesia. Namun demikian, bisnis elektronik sudah merasakan dampak dari kurs rupiah yang terus anjlok.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel), Ali Soebroto Oentaryo mengatakan 100 persen barang impor elektronik terdampak karena pelemahan rupiah itu. “Produk dari dalam negeri pun tidak bebas [dari dampak], kecuali dia 100 persen material diproduksi dari dalam negeri,” kata Ali kepada Tirto, Rabu (10/10/2018).

Sayangnya, kata Ali, mayoritas material produksi elektronik diimpor dari luar. Sehingga rata-rata kenaikan harga elektronik akibat nilai tukar rupiah yang terus melemah mencapai 7 persen.

“Tergantung kita mau ngitung base-nya dari mana. Kalau kita mau ngitung base dari Rp14 ribu ke Rp15 ribu, ya naik 100 poin, ya kira-kira naiknya 7 persen,” kata Ali menjelaskan.

Akan tetapi, Ali mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah sudah menjadi hal yang biasa sejak zaman orde baru. “Bahkan zaman orde baru dulu 3 kali devaluasi, kalau sekarang kan depresiasi. Biasanya peningkatan dari biaya tersebut akan dipaskan [disesuaikan] kepada pasar, tapi tahap demi tahap,” kata Ali.

Menurut Ali, pelaku usaha sudah memiliki beberapa cara untuk menghadapi pelemahan rupiah ini. Salah satunya dengan mengurangi unsur promosi. Selain itu, kata dia, pedagang elektronik biasanya memiliki stok barang, sehingga mereka dapat menjual stok yang tersedia untuk menghindari dampak kurs rupiah.

“Jadi mereka bisa menjual dengan harga lama lebih panjang. Malah menjadi suatu berkah bagi mereka yang stoknya banyak,” kata Ali.

Sedangkan pedagang yang tidak memiliki banyak stok, kata dia, nantinya akan menaikkan harga bertahap 1 hingga 2 persen dahulu. “Bagi mereka yang memiliki model barang baru, misalnya akan dikeluarkan bulan depan. Itu yang paling bagus karena kalau model baru kan tinggal setting harga baru,” kata Ali.

Barang keluaran model terbaru, kata dia, secara otomatis pasar tidak akan menolaknya bila harganya dinaikkan. “Sebetulnya harga barang elektronik bukan dari pasar, tapi pasar melihat dulunya harga berapa? Kalau dulunya enggak ada, ya pasar pasti akan menerima. Tinggal mereka mau beli atau tidak. Itu keputusan personal dari konsumen,” kata Ali.

Pernyataan Ali tersebut tidak jauh berbeda dengan pengakuan para pedagang elektronik yang ditemui reporter Tirto. Ujang (usia 40 tahun), salah satu pedagang elektronik di Pasar Senen, mengaku belum ada kenaikan karena rata-rata masih menggunakan stok lama.

Ujang mencontohkan, harga televisi yang dijualnya masih sekitar Rp1,2 juta untuk ukuran 19 inchi; Rp2,4 juta untuk ukuran 32 inchi; mesin cuci di kisaran Rp1,5 hingga Rp1,8 juta; dan harga AC sekitar Rp3 juta.

Namun demikian, Ujang mengakui bila di tengah kondisi rupiah yang semakin melemah itu membuat kentungan dirinya semakin rendah. Apalagi, kata dia, belakangan permintaan barang elektronik semakin sepi, terutama untuk televisi.

“Semenjak dolar naik sekitar Rp15 ribu sudah mulai sepi. Bisa untung sedikit-sedikit. Kalau rupiah semakin melemah, perusahaan bisa bangkrut,” kata Ujang saat ditemui reporter Tirto, Rabu (10/10/2018).

Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang bertahan di atas Rp15.000 dampaknya sudah dapat dilihat dari data indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan grosir jenis barang impor.

“Per September indeks harga perdagangan besar dan grosir jenis barang impor naik 0,66 persen. Secara spesifik harga AC naik 0,46 persen, harga peralatan listrik naik 0,85 persen,” kata Bhima kepada Tirto, Rabu (10/10/2018).

Bhima mengatakan, komponen barang elektronik yang berasal dari impor cukup besar, sehingga sangat sensitif terhadap fluktuasi nilai tukar. Ia menyebutkan porsi barang impor elektronik dari impor nonmigas dalam negeri kurang lebih 5 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Oktober merilis IHPB umum nonmigas pada September 2018, sebesar 165,18 atau naik 0,08 persen dari IHPB Agustus 2018 sebesar 165,04. Kelompok barang impor nonmigas menyumbang andil sebesar 0,09 persen, setelah sektor industri 0,11 persen, pertanian 0,25 persen, lalu pertambangan dan penggalian 0,03 persen.

“Jadi itu menunjukkan imbas rupiah sudah terasa di harga barang [elektronik]" kata Bhima menegaskan.

Baca juga artikel terkait NILAI TUKAR atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Bisnis
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz