tirto.id - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi resmi menjatuhi hukuman kepada mantan Ketua DPR Setya Novanto, Selasa (24/4/2018). Novanto terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat korupsi KTP-elektronik yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Hakim memvonis Novanto 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Politikus Golkar itu juga diwajibkan membayar uang pengganti US$7,3 juta dikurang Rp5 miliar serta pencabutan hak politik selama lima tahun usai bebas dari penjara.
Yang menarik, putusan ini tidak hanya berdampak pada Novanto sendiri. Sejumlah nama yang sebelumnya tidak dipertimbangkan sebagai penerima aliran dana korupsi menjadi perhatian. Majelis hakim yang dipimpin Yanto dan empat hakim lain melihat ada upaya Novanto memperkaya sejumlah pihak dalam proyek KTP-elektronik.
"Dalam proses penganggaran dan pekerjaan penerapan KTP-elektronik telah menguntungkan terdakwa Setya Novanto dan pihak-pihak lain," ujar hakim Ansyori saat membacakan fakta hukum.
Ada nama-nama pejabat eksekutif dan legislatif periode 2009-2014 yang disebut hakim dalam sidang itu. Beberapa nama belum diproses seperti dipanggil sebagai saksi.
Salah satu pejabat eksekutif yang disebut hakim menerima uang haram KTP-elektronik adalah mantan Mendagri Gamawan Fauzi. Ia disebut menerima uang Rp50 juta. Ada pula nama mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni, disebut dapat jatah US$500 ribu dan Rp22,5 juta. Terakhir mantan Ketua Pengadaan Proyek KTP-elektronik, Drajat Wisnu Setyawan, sebesar US$40 ribu dan Rp25 juta.
Gamawan sebetulnya juga dituduh menerima ruko dari Paulus Tannos, pemilik PT Sandipala Artha Putra, salah satu anggota konsorsium yang bertugas mencetak dan mendistribusikan 45 juta keping KTP-elektronik dengan harga per keping Rp14.400. Namun berkat keterangan Azmin Aulia, adik Gamawan, hakim menghilangkan dugaan penerimaan ruko kepada mantan Bupati Solok tersebut.
Di jajaran pejabat legislatif, ada mantan Ketua DPR Ade Komarudin dan mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah yang juga disebut menerima keuntungan dari proyek ini. Kedua politikus itu disebut menerima masing-masing US$100 ribu. Selain kedua orang ini, hakim berpandangan ada beberapa anggota DPR periode 2009-2014 yang juga ikut menikmati aliran dana. Diduga, uang yang mengalir ke Senayan mencapai US$12,856 ribu dan Rp44 miliar.
Nama-nama yang disebut hakim ini sebetulnya telah muncul beberapa kali dalam persidangan lain. Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto misalnya (keduanya kini sudah dihukum), pejabat seperti Gamawan Fauzi, Jafar Hafsah, Diah Anggraeni, hingga Ade Komarudin juga disebut menerima duit KTP-elektronik.
Sebagian besar dari mereka sudah berkali-kali membantah menerima uang hasil korupsi. Saat bersaksi di persidangan Novanto, 29 Januari lalu, Gamawan Fauzi mengklaim tidak ada "satu sen pun" uang KTP-elektronik yang masuk ke kantong pribadinya.
"Saya InsyaAllah [tidak ada]. Silakan Yang Mulia buktikan," kata Gamawan.
Bantahan serupa juga diungkapkan Akom, sapaan Ade Komarudin. "Urusan aliran dana saya tidak tahu," kata Akom, dikutip dari Antara.
Lain Gamawan dan Akom, lain pula Diah Anggraeni. Ia justru mengaku pernah menerima uang, bahkan hingga dua kali, dari Irman yang merupakan mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri. Namun ia mengaku tidak tahu uang itu adalah hasil korupsi.
"Pernah [menerima uang]. Tapi saya tidak tahu apakah itu uang dari e-KTP atau bukan, karena yang dari Pak Irman ini dua. Pertama dari Irman, yang kedua dari Andi [Narogong]," kata Diah dalam persidangan di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, 5 April.
Diah bilang, Andi mengaku kalau uang itu berasal dari sumber halal, yaitu bisnis. Diah mengklaim menolak pemberian itu, meski Andi acuh dan pergi begitu saja setelah uang diserahkan.
"Andi saya tanya, ini uang e-KTP? 'Bukan, Bu. Ini uang dari bisnis kami karena tidak ada yang memikirkan ibu.' kata Andi. 'Eh,nggak usah, nggakusah memikirkan saya,' saya bilang," kata Diah.
Total uang yang diterimanya mencapai US$500 ribu.
Sehari setelah menerima uang Diah mengaku langsung menemui Irman di Kemendagri. Ia merasa uang itu harus dikembalikan. Namun Irman justru mengomeli Diah dan menolak pengembalian tersebut.
Pengakuan serupa juga pernah disampaikan Jafar Hafsah. Ia mengaku menerima uang korupsi KTP-elektronik Rp1 miliar dari mantan Bendahara Demokrat Nazaruddin.
"Tentunya saya menganggap itu untuk operasional [partai] karena Nazaruddin kan bendahara saya," ujar Jafar di pengadilan Tipikor, Jakarta, 3 Maret lalu.
Jafar baru tahu kalau itu adalah uang haram setelah diberitahukan penyidik KPK. Ia pun mengembalikannya ke komisi antirasuah itu.
Pekerjaan Rumah KPK Belum Selesai
Apa nama-nama yang disebut hakim bakal kembali ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Kabiro Humas KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi Tirto, Selasa (24/4) kemarin bilang kalau yang pertama bakal mereka lakukan adalah melakukan penelaahan.
"Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan mempelajari fakta-fakta sidang yang muncul, termasuk peran pihak-pihak lain. Kami duga masih ada sejumlah pihak yang harus bertanggung jawab dalam proyek ini."
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, menilai memang pekerjaan rumah KPK tak bakal berhenti sampai sini saja. Mereka, sebagaimana keterangan Febri, juga perlu menelusuri nama-nama yang disebut hakim.
ICW juga mendorong KPK untuk membidik korporasi yang terlibat. "KPK harus menyidik dugaan keterlibatan korporasi sebagai pelaku atau instrumen yang digunakan untuk melakukan korupsi."
Mengenai putusan hakim sendiri, Lalola menilai kalau itu tidak maksimal. Menurutnya Novanto layak dihukum lebih berat.
"Sepatutnya SN divonis pidana seumur hidup. Selain kurungan, pidana tambahan berupa uang pengganti juga tidak merepresentasikan jumlah kerugian negara," kata Lalola.
Ada sejumlah alasan mengapa Lalola berpendapat demikian. Katanya, sepanjang proses pengusutan perkara, Novanto sama sekali tidak kooperatif. Vonis ini juga dikhawatirkan tidak bakal membuat Novanto jera dan dapat jadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi.
Meski demikian ada pula putusan hakim yang patut diapresiasi, yaitu keputusan untuk mencabut hak politik Novanto lima tahun setelah bebas dari penjara. Sebab, katanya, vonis yang seperti ini masih jarang dijatuhkan untuk terdakwa korupsi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino