Menuju konten utama

Multiple Sclerosis, Penyakit Berat yang Belum Ada Obatnya

Para penyandangnya kerap dianggap berbohong, malas, dan terkena gangguan jiwa.

Multiple Sclerosis, Penyakit Berat yang Belum Ada Obatnya
Lydia Emily Archibald, seorang seniman pengidap multiple sklerosis berpose di depan salah satu karyanya yang bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan akan penyakit tersebut. REUTERS/Mario Anzuoni

tirto.id - Kanya Puspokusumo pernah merasakan lumpuh di kakinya, selang beberapa waktu, sakitnya hilang begitu saja. Penglihatannya juga sering terasa kabur. Kanya juga pernah mengalami hilang ingatan jangka pendek, hingga kelumpuhan selama 6 bulan, dan koma selama 5 hari. Karena gejala sakit yang silih berganti itulah, ia sempat dianggap berbohong oleh lingkungan sekitarnya.

Segala gejala yang dialami Kanya merupakan dampak dari sakit Multiple Sclerosis (MS) yang ia derita. Sudah selama 16 tahun ia menjadi penyintas MS dan berdamai dengan keadaan. Hingga kini, ia masih harus merasakan ragam penyakit yang datang silih berganti, terutama rasa lelah berlebihan.

“Lelah seperti habis olahraga dan membersihkan rumah. Padahal enggak ngapa-ngapain. Kalau sudah begitu, harus istirahat bahkan hingga berhari-hari,” ceritanya.

Baca juga: Semangat Olahraga bisa Menular Lewat Instagram

Lelah berlebihan seperti yang dialami Kanya juga lazim dialami penderita MS lainnya. Tak jarang, para penyandang MS dicap sebagai “pemalas” oleh orang awam. Apalagi penyandang MS sangat jarang ada di Indonesia. MS adalah penyakit langka. Menurut data Indonesia Foundation of Multiple Sclerosis, hanya terdapat 80 penyandang MS di Indonesia. Penyakit ini lebih banyak menyerang ras Kaukasian, dengan prevalensi di Amerika Serikat sebanyak 400 ribu orang dan 2,5 juta di dunia.

MS merupakan penyakit autoimun yang menyerang otak dan sumsum tulang belakang. Jika seharusnya sel imun berfungsi melindungi tubuh dari kuman penyakit, pada kasus autoimun, sel imun justru menyerang dan merusak sel-sel tubuh.

“Harusnya sel darah putih membunuh kuman masuk. Tapi yang terjadi pada penyandang MS, sel darah putih terlalu aktif dan menyerang sel-sel saraf,” jelas dr. Riwanti Estiasari, SpS(K), ahli neorologi dari departemen neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Autoimun pada MS menghancurkan myelin, yakni zat lemak yang melapisi dan melindungi serabut saraf di otak dan sumsum tulang belakang. Akibatnya, hantaran saraf terganggu. Myelin dapat dianalogikan sebagai lapisan isolator pada kabel listrik. Ketika myelin pelindung atau isolator itu rusak, serat saraf akan terpapar dan aliran listrik terhambat. Akhirnya, saraf yang diibaratkan kabel-kabel halus listrik juga bisa mengalami kerusakan.

“Kalau terkena di bagian memori, bisa mengalami gangguan memori. Jika terkena di otak bagian depan, [penderita] dapat mengalami gangguan dalam mempelajari sesuatu.”

Baca juga: Mengapa Musisi Suka Lupa Lirik atau Lokasi Konser

Akibat kerusakan myelin, sebanyak 33 persen penyandang MS mengeluhkan gejala berupa diplopia, yakni gangguan mata berupa melihat objek ganda. Sebanyak 70 persen mengeluhkan lelah berlebihan, dan 30-50 persen merasa rasa nyeri di bagian-bagian tubuh tertentu. Selain itu, beberapa gejala lain yang mungkin dialami penyandang MS adalah gangguan keseimbangan (mudah jatuh), kesemutan, tulang gerak (ekstremitas) terganggu, dan tak tahan pada udara panas.

“Pasien tidak suka panas, berlaku juga untuk mandi air panas,” kata Riwanti.

Infografik Multiple Sklerosis

MS Belum Bisa Disembuhkan

Hingga kini, belum diketahui secara pasti penyebab penyakit MS. Namun, penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian MS menjadi dua kali lebih tinggi pada wanita ketimbang pria. Kebanyakan yang terserang MS berada pada usia produktif, antara 20-40 tahun. Lalu, sekitar 15 persen penyandang diketahui juga memiliki kerabat yang menderita MS. Artinya, peluang terkena MS akan semakin besar ketika memiliki kerabat penyandang MS.

Faktor genetik berpengaruh sebesar 1,5 persen pada anak yang memiliki orangtua penyandang, dan hanya berpengaruh 2,5-5 persen pada kerabat jauh. Sementara itu, risiko terkena MS pada saudara kandung penderita adalah 2,7 persen.

Baca juga: Keturunan Cina juga Bagian dari Indonesia

Faktor lainnya yang mempengaruhi risiko MS adalah kurang vitamin D. Sebab vitamin D berperan dalam mengatur respons imun, dengan menurunkan produksi sitokin proinflamasi dan meningkatkan produksi sitokin anti-inflamasi. Faktor tersebut secara tidak langsung menjelaskan alasan MS lebih banyak menyerang ras kaukasoid. Paparan sinar matahari di wilayah mereka lebih rendah ketimbang di negara tropis di wilayah khatulistiwa.

Faktor gaya hidup seperti merokok dan obesitas juga menyumbang risiko paparan MS. Zat dalam rokok mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Bahkan, perokok pasif dapat terkena risiko MS yang lebih tinggi dibanding perokok aktif. Penyandang MS yang berhenti merokok akhirnya memiliki jeda kambuh lebih lambat ketimbang saat mereka merokok.

Sementara itu, obesitas membuat tubuh kekurangan vitamin D, selain membuat sistem kekebalan tubuh terlalu aktif dan menyebabkan radang.

“Kalau sudah ada gejala, bisa dilakukan pemeriksaan MRI, pemeriksaan darah, pemeriksaan cairan otak dan saraf," papar Riwanti

Baca juga: Obesitas Mengancam Anak Indonesia

Hanya saja, setelah terdeteksi MS, penyandang harus bisa berdamai dengan kondisinya. Sebab, MS hingga saat ini belum bisa disembuhkan secara total. Pengobatan hanya diberikan saat kambuh guna meminimalkan gejala yang dialami.

Hal yang bisa dilakukan oleh penderita adalah terapi dan pengobatan jangka panjang untuk meminimalisir kekambuhan dan mencegah kecacatan. Data menunjukkan, sebanyak 30 persen penyandang MS pada akhirnya harus mengalami cacat fisik selama 20-25 tahun masa hidupnya.

Baca juga artikel terkait AUTOIMUN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani