tirto.id - Sejak DPR, DPD, dan perwakilan pemerintahan Jokowi secara kilat menyetujui RUU Cipta kerja (Ciptaker) menjadi Undang-undang, gelombang protes rakyat membesar di beberapa kota-kota besar di Indonesia. Media sosial pun riuh rendah oleh percakapan netizen yang menolak Omnibus Law ini. Ungkapan yang kerap muncul selama aksi protes adalah “Mosi Tidak Percaya.”
Itu bukan seruan baru karena ungkapan itu sudah muncul dalam serangkaian demonstrasi besar menolak RKUHP tahun lalu. Grup musik Efek Rumah Kaca pernah pula merilis lagu berjudul Mosi Tidak Percaya pada 2008.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan mosi sebagai, “Keputusan rapat, misalnya parlemen, yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat.” KBBI juga merinci mosi tidak percaya sebagai, “Pernyataan tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah.”
Mosi tidak percaya adalah mekanisme politik yang lazim di negara dengan sistem pemerintahan parlementer. Di Indonesia kondisinya berbeda karena mosi tidak percaya justru diteriakkan rakyat kepada DPR dan Pemerintah Jokowi. Tentu saja, mosi itu tidak bersifat formal karena pemerintahan Indonesia bersistem presidensial, bukan parlementer.
Hal itu ditegaskan oleh Dosen hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Namun, seruan mosi tidak percaya dalam aksi penolak seperti UU Cipta Kerja tetap bisa dipahami sebagai simbol ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif dan eksekutif.
“Saya pikir ketidakpercayaan itu lebih pada pernyataan ketidakpercayaan publik atas pilihan kebijakan (pemerintah dan DPR) itu,” ujar Zainal kepada Tirto saat dihubungi pada Jumat, 8 Oktober 2020. “Lebih bermakna simbolik saja untuk menyatakan kami tidak percaya dengan kebijakan ini dan kami mau melawan kebijakan ini.”
Mosi tidak percaya yang diserukan demonstran dinilai Zainal juga tidak akan membuat presiden jatuh. Pasalnya, sistem presidensial punya mekanisme berbeda dari sistem parlementer untuk melengserkan kepala pemerintahan.
Seruan mosi tidak percaya di Indonesia sebagai luapan ketidakpuasan terhadap pemerintah sekilas mirip dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat dan Brasil. Pada 1992 ketika ekonomi memburuk, rakyat AS menyerukan mosi tidak percaya kepada Presiden George H.W. Bush. Sementara itu, pada Maret 2020 lalu, jutaan warga memukul-mukul panci dan wajan dari jendela rumah sebagai ungkapan protes sekaligus ketidakpercayaan terhadap Presiden Jair Bolsonaro. Dia dianggap gagal menangani pandemi COVID-19.
Meski kini tidak dikenal, Indonesia sebenarnya pernah menerapkan mekanisme pada dekade 1950-an. Kala itu, Indonesia memang menganut sistem parlementer. Seturut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Noto Susanto dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid VI (2008, hlm. 310-313) setidaknya ada dua kabinet yang dijatuhkan oleh kelompok oposisi di DPR, yaitu Kabinet Sukiman dan Kabinet Wilopo.
Pada 2010, seruan mosi tidak percaya juga menerpa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Latar pemicunya adalah skandal Bank Century. Namun, wacana itu lindap begitu saja karena mekanisme itu memang tidak ada sistem presidensial.
Asal-Usul Mosi Tidak Percaya
Mosi tidak percaya alias motion of no confidence semula berakar dari tradisi politik di Parlemen Inggris. Profesor sejarah dari University of Exeter Richard Toye menjelaskan bahwamosi tidak percaya berlaku di dua lembaga dalam sistem politik Inggris, yaitu di dalam kepemimpinan partai dan Parlemen. Dalam konteks Parlemen, mosi tidak percaya menandakan bahwa pemerintah kehilangan dukungan dariHouse of Commons.
“Prinsip dasarnya adalah: pemerintah harus mendapatkan kepercayaan dari House of Commons. Jika pemerintah telah kehilangan suara mayoritas di House of Commons, itu adalah isyarat kejatuhan bagi pemerintah atau pemilihan umum harus diadakan,” terang Profesor Toye sebagaimana dikutip History Extra.
Dalam konstitusi Inggris, pemerintah musti mempertahankan kepercayaan House of Commons. Jika tidak, pemerintahan dianggap tidak berjalan efektif. Saat itulah House of Commonsakan menyatakan mosi dengan seruan “Bahwa Dewan ini tidak percaya pada Pemerintahan Yang Mulia”.
Parlemen kemudian akan menggelar pemungutan suara untuk menentukan apakah pemerintahan tetap berlanjut atau harus diganti. Jika partai pendukung pemerintah di Parlemen menang, maka pemerintahan akan berjalan sebagaimana biasanya. Namun, jika kalah, pemerintah akan diberi waktu 14 hari untuk kembali meyakinkan Parlemen.
Di masa itulah terjadi partai pemerintah dan oposisi saling adu kekuatan politik. Partai oposisi juga dapat membentuk pemerintahan alternatif mereka sendiri. Jika dalam jangka waktu 14 hari itu tidak ada penyelesaian yang disepakati atau pemerintahan alternatif dari oposisi ditolak, maka pemilihan umum akan dipercepat.
“Pada titik ini, perdana menteri memberi tahu Ratu perihal tanggal pemilihan umum. Kemudian, 25 hari sebelum tanggal pemungutan suara,Parlemen akan membubarkan diri,” tulis laman BBC.
Kelaziman di Inggris
Belum terang betul bagaimana mekanisme mosi tidak percaya pertama kali dibuat. Namun, setidaknya mekanisme yang mirip dengan mosi tidak percaya itu pertama kali terjadi pada 1742. Kala itu, Perdana Menteri Robert Walpole mundur dari jabatannya setelah kalah dalam sebuah pemungutan suara di House of Commons.
Mosi yang secara terang disebut mosi tidak percaya terjadi pada 1782. Kala itu, House of Commons menyerukan mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri Lord North karena perilakunya selama perang dengan Amerika. Mosi itu berhasil menjatuhkan Lord North dari kursi perdana menteri.
“Sejak itu, ada 20 pemerintahan yang kehilangan kepercayaan dari House of Commons. Semua mosi itu mengarah pada pembubaran atau pengunduran diri pemerintah. Jika pilihan terakhir yang diambil, Parlemen akan membentuk pemerintah penggantinya,” tulis Catherine Haddon, sejarawan di Institute for Government.
Kejadian 1782 itu lalu menjadi preseden dalam Parlemen Inggris. Pemerintah diharapkan atau diminta mengundurkan diri atau membubarkan diri jika mereka kehilangan kepercayaan Parlemen. Mosi tidak percaya lalu menjadi kelaziman dalam perpolitikan Inggris abad ke-19.
Kali terakhir mosi tidak percaya dari Parlemen mampu memicu pemilu di Inggris terjadi pada 1979. Kala itu, Perdana Menteri James Callaghan dari Partai Buruh menghadapi mosi tidak percaya menyusul kekalahan Referendum Devolusi Skotlandia. Seruan mosi tidak percaya digalang oleh pemimpin oposisi Margaret Thatcher. Callaghan terpaksa mengadakan pemilihan umum yang akhirnya dimenangkan oleh Thatcher dan partainya.
Namun, bukan berarti partai oposisi cenderung memenangkan mosi tidak percaya. Menurut Toye, “Partai-partai oposisi, sepanjang sejarah, sering menyerukan mosi tidak percaya. Tapi, umumnya mereka cenderung gagal karena anggota partai pendukung pemerintah jadi lebih solid saat dalam bahaya.”
Editor: Fadrik Aziz Firdausi