Menuju konten utama
8 Oktober 1992

Mortal Kombat dan Kejayaan Kapitalisme Amerika saat Peluncurannya

Kemunculan Mortal Kombat berkait erat dengan kejayaan kapitalisme AS era 1990-an. Disensor karena terlalu vulgar soal kekerasan.

Mortal Kombat dan Kejayaan Kapitalisme Amerika saat Peluncurannya
Ilustrasi Mozaik Mortal Kombat. tirto.id/Trinanda Prasetyo

tirto.id - Waralaba Mortal Kombat diluncurkan pada 8 Oktober 1992, tepat hari ini 29 tahun lalu. Sejak saat itu, ia melesap ke dalam beragam media: film, kartun, novel, album techno yang kurang enak didengar, tur keliling dunia, komik, serial web, dan tentu saja gim video.

Siapa yang menduga rip-off Bruce Lee x Van Damme—yang selain aksi bak bik buk juga menawarkan pengalaman virtual menendang kepala sampai copot—ini mampu menarik hati banyak orang. Mortal Kombat memiliki franchise yang kuat, melintasi hampir seluruh lini masa teknologi gim video, mulai sejak mesin dingdong menjadi alasan orang untuk kabur dari masalah keluarga, membentuk kultur toksik ‘no girls allowed’, melintasi zaman ketika gim konsol adalah alat perekat hubungan orang tua dan anak kelas menengah kulit putih yang kurang harmonis, hingga hari ini kala aksi menonton orang bermain gim video sudah pindah dari rental-rental ke twitch.tv.

Saya akan mengajak anda menelusuri perjalanan Mortal Kombat. Bagaimana ia bertahan dalam industri gim video selama hampir tiga dekade dengan hanya memanfaatkan lore tanpa ide cerita yang benar-benar unik.

1990-an adalah Dekade Terbaik

Ya, benar. Dekade itu adalah tahun-tahun terbaik jika kamu warga kelas menengah kulit putih Amerika Serikat.

Pada dekade ini, puncak ledakan ekonomi kapitalisme bergaya AS tampak menang dan menyebar ke berbagai sektor. Televisi menyebarkan budaya pop lewat MTV dan Hollywood sembari menentukan standar kecantikan yang membuat mereka dipandang seperti manusia setengah dewa. Di dalam negeri, orang-orang AS memiliki presiden yang, meski melakukan aksi terorisme dengan mengirim rudal ke pabrik obat dan terlibat skandal, tetap dinilai charming dengan approval rating tertinggi sejak Harry Truman. Di masa itu juga belum ada media sosial tempat orang-orang mengamplifikasi betapa ngehek kelakuan turis mereka di negara orang dan perang terhadap narkoba tahun 1980-an mulai mereda.

Mereka memiliki waktu dan akses terhadap perkembangan teknologi yang sedang meroket, yang kemudian mengubah lanskap dan cara pandang dunia terhadap teknologi. Dekade ini adalah era paling disruptif dalam hal teknologi, termasuk di teknologi dan industri gim video. Hal ini perlu digarisbawahi karena mungkin hanya ada dua hal yang paling menonjol dari Mortal Kombat saat ia pertama kali diluncurkan: lore dan kualitas grafik. Dan yang terakhir sangat erat kaitannya dengan teknologi yang tersedia saat itu.

Ada dua gim tarung yang secara umum dianggap pionir: Street Fighter 2 dan Mortal Kombat. Keduanya sama-sama mendefinisikan bagaimana semestinya gim tarung dibuat. Hal yang membedakan keduanya terletak pada penyajian. Sementara Street Fighter 2 konsisten dengan visual grafis bergaya kartun, Mortal Kombat menawarkan pengalaman lain. Ia menangkap video gerakan tarung dari seniman bela diri sungguhan yang direkam dengan latar bluescreen, lalu memisahkan objek dari latar biru secara manual frame demi frame sebelum melalui proses digitalisasi. Hasilnya, gim tarung bukan lagi tampil dengan sprites (bitmap dua dimensi yang terintegrasi ke dalam adegan dalam medium digital) kekanak-kanakan, melainkan karakter dua dimensi yang mirip manusia.

Presentasi visual yang lebih realistis ditambah amunisi kekerasan yang terisi penuh membuat Mortal Kombat memberi nuansa berbeda ketimbang Street Fighter 2. Itulah beberapa faktor yang membuat Mortal Kombat jadi lebih gampang diingat. Padahal, Mortal Kombat bukanlah gim pertama yang mencoba mengemulasi realisme ke dalam gim video. Sebelumnya, pada 1988, gim beraliran run-and-gun berjudul NARC sudah memulainya lebih dulu. Dua tahun setelahnya, High Impact Football mencoba pendekatan yang sama. Tetapi Mortal Kombat lebih mendapat tempat di pasar gim arkade.

Menariknya, NARC dan High Impact Football turut berpartisipasi dalam embrio rancangan Mortal Kombat.

Sempat Ditolak

Arsitek Mortal Kombat adalah John Tobias dan Ed Boon. Keduanya bekerja untuk Midway, perusahaan asal Chicago yang memegang lisensi Space Invaders dan Pac-Man dari Jepang. Boon langsung berkarier sebagai pengembang mesin arkade setelah lulus kuliah, sementara Tobias adalah seorang komikus. Tobias baru terjun ke dunia gim sebagai desainer grafis setelah mengerjakan komik The Real Ghostbuster.

Boon, yang saat itu masih berkutat dengan program mesin pinball, terpesona dengan proyek di divisi gim video. Setelah bekerja sama dengan Eugene Jarvis (pencipta NARC dan High Impact Football), ia semakin takjub dengan digitalisasi yang dilakukan Jarvis. Menurutnya, model grafis seperti itu sangat bisa dikembangkan ke dalam proyek gim video dengan gambar yang lebih besar. Ide itu hinggap di dalam kepalanya selama beberapa waktu hingga muncul gagasan untuk mengaplikasikannya ke dalam gim tarung.

Tak lama, dia datang kepada Tobias dan mereka mengajak Daniel dan Carlos Pesina, pekerja di Midway yang memang menguasai teknik-teknik dasar bela diri. Mereka berempat memfilmkan diri mereka sendiri melakukan gerakan seni bela diri, mendigitalkan footage mereka, memasukkannya ke dalam gim, dan menawarkan konsep gim tarung dengan teknik digitalisasi yang menggabungkan antara teknologi mutakhir desain visual dan gim video, tetapi Midway menolak.

Saat itu 1992 dan, seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan, AS menguasai budaya populer. Film adalah salah satu industri yang sangat besar saat itu. Dalam American Cinema of the 1990s (1998), Chris Holmlund menulis bahwa film-film blockbuster berbiaya produksi besar era 1990-an di AS adalah yang mendefinisikan dekade itu. Alih-alih gim tarung, Midway lebih memilih untuk mengejar proyek gim yang beresonansi dengan film blockbuster berjudul Universal Soldier.

Namun, ide itu tidak menghasilkan apa-apa. Tobias dan kawan-kawan nyaris menyerah hingga Richard Divizio (yang akan memerankan Kano di gim aslinya, dan Baraka di sekuelnya), akhirnya meyakinkan Tobias untuk mencoba mengajukan ide gim tarung sekali lagi. Kali ini, Midway tak punya pilihan lain.

Asal Ada Van Damme-nya

Kalau blockbuster adalah pertandingan gawang dalam pertandingan sepak bola, Jean-Claude Van Damme adalah striker yang bukan cuma berhasil menceploskan bola lewat sela kaki kiper. Dia menceploskan bola beserta dirinya sendiri melalui sela kaki kiper. Nyaris tak ada yang dapat menghentikan Van Damme, bahkan kalau kamu tanya bapak-bapak peronda siapa Van Damme, dia mungkin tahu dan bisa menceritakan aksi-aksi Van Damme dalam film. Midway, yang sangat ambisius, berusaha mencampurkan beberapa elemen sejuta dolar sekaligus: Enter the Dragon, Bruce Lee, dan ​​Van Damme ke dalam gim video bertema kompetisi bela diri.

Di atas kertas, ide Midway benar-benar bisa menghasilkan profit maksimal. Tetapi Sang Mega Bintang menolak ide itu dan malah menyarankan tim Midway untuk memikirkan ulang konsepnya. Sebuah ironi telak menghantam Midway karena kemudian Van Damme malah membintangi film Street Fighter 2.

Meski ditolak Van Damme, Midway tertarik untuk melanjutkan proyek. Boon bergabung dengan developer. Mereka menyempurnakan teknologi digitalisasi lebih hingga akhirnya Mortal Kombat siap diimplementasikan ke mesin arkade.

Untuk tahun 1992, teknologi Midway memang canggih. Y-Unit, arcade board milik Midway, ternyata memiliki spesifikasi yang mengesankan sehingga memungkinkan mesin arkade Midway menampilkan kualitas warna sprite lebih tinggi. Mesin ini juga sanggup menjalankan fitur paralaks untuk latar belakang gim yang pada saat itu termasuk kompleks. Maka meluncurlah Mortal Kombat dengan kombinasi fitur-fitur canggih yang sanggup melampaui kemampuan konsol rumah pada zamannya.

Infografik Mozaik Mortal Kombat

Infografik Mozaik Mortal Kombat. tirto.id/Trinanda Prasetyo

Dari Industri Gim ke dalam Rumahmu

Seperti kebanyakan orang AS, Boon dan Tobias juga menggandrungi ninja. Maka tak heran ninja muncul dalam konsep awal karakter mereka: Tundra dan Scorpion. Keduanya dimainkan oleh Daniel Pesina, ia juga kemudian mengisi gerakan untuk Liu Kang dan Raiden. Sonya Blade masuk agak belakangan, tepatnya setelah Midway menyadari potensi gim ini. Lalu nama-nama berganti, Tundra menjadi Sub-Zero. Rokuro menjadi Gongoro lalu menjadi Goro.

Bahkan judul gim pun mengalami perubahan. Beberapa ide awal termasuk Fatality, Kumite, Death Blow, dan Dragon Attack, hingga pada satu titik nama ‘combat’ muncul di papan tulis dan seseorang mengganti huruf ‘c’ dengan ‘k’. Kemudian Steve Ritchie dari divisi pengembang arkade mengusulkan nama ‘Mortal Kombat’ dan persoalan nama beres.

Boon dan Tobias sangat terinspirasi Karate Champ, sebuah gim tarung satu lawan satu keluaran 1984. Gim itu menjadi inspirasi utama keduanya dalam mengembangkan fase awal Mortal Kombat. Sementara elemen mistis di dalam Mortal Kombat diambil dari film laga Hongkong berjudul Zu: Warriors from the Magic Mountain.

Persoalan orientalisme yang tak malu-malu itu muncul bersama gegap gempita awal dekade 1990-an, bercampur dengan film Bloodsports, yang tentu saja dibintangi Van Damme. Hasilnya adalah sebuah gim tarung yang mencoba melibatkan seluruh kemungkinan bagi pemain untuk menginvestasikan dirinya ke dalam gim. Grafis yang realistis, banyak darah, dan jurus legendaris yang mengubah aturan usia pada gim: Fatality.

Fatality, yang sebelumnya masuk kandidat judul gim, datang seperti embusan setan. Tak ada yang menduga ia datang di akhir-akhir pengembangan gim. Mekanisme penghabisan ini menjadi perbincangan di ruang-ruang dingdong, di sekolah, di sekitar kompleks. Di dalam gim, bahkan saat itu, berhasil mendapat item spesial atau karakter baru setelah menamatkan beberapa level adalah hal biasa. Tapi, menghantam lawan dengan cara paling brutal untuk menutup partai adu jotos adalah barang baru. Ia tidak bisa tidak menjadi primadona. Bikin orang tua cemas bukan kepalang.

Ketika kemudian Mortal Kombat di-port ke konsol, Nintendo dan SEGA mensensor adegan Fatality. Bahkan di SNES, grafis darah diubah menjadi keringat.

Sebelum Mortal Kombat, tak ada aturan saklek mengenai batas usia dalam gim video. Gim video pertama yang mendapat rating dewasa adalah Dracula (1986) dalam mesin Commodore 64 dan Amstrad CPC. Selain itu, tidak ada lagi gim yang mendapat peringatan batas usia. Hal ini wajar karena gim konsol dianggap sebagai sarana mainan anak-anak supaya mereka betah di rumah. Tetapi hasil audiensi tahun 1993, yang berfokus pada kekerasan dan kengerian Mortal Kombat, memaksa AS mendirikan Entertainment Software Ratings Board (ESRB), menyusul kemudian Pan-European Game Information (PEGI) di Eropa.

Lalu, era gim video yang merepresentasikan kekerasan atau kengerian seperti DOOM dan Nigth Trap dimulai. Peta perkembangan gim berubah sejak aturan sensor dibuat. Dan saat ini, jika kita melihat lagi grafis kejam yang ditampilkan di Mortal Kombat 1992, kita mungkin akan ketawa geli alih-alih merasa ngeri.

Tetapi, ada satu easter egg yang saya simpan sejak tadi. Sengaja saya letakkan di akhir artikel. Hal yang semakin menambah ngeri orang tua pada Mortal Kombat di dekade 1990-an, selain grafis yang menampilkan kekerasan, juga fakta bahwa SEGA memutuskan untuk menampilkan utuh adegan Fatality. Tanpa sensor. Pemain hanya perlu memasukkan kode cheat A-B-A-C-A-B-B untuk membuka adegan itu. Orang tua jelas kalang kabut mengetahui hal ini.

Easter egg yang saya maksud adalah bukan soal itu, tapi soal betapa canggih SEGA menaruh kode. ABACAB adalah nama album dari Genesis, grup progresif rock asal Amerika Utara. Di Amerika Utara, produk SEGA Mega Drive bernama Genesis. Itu membuat kita bertanya-tanya, kira-kira, apa lagi yang mereka sembunyikan?

Baca juga artikel terkait MORTAL KOMBAT atau tulisan lainnya dari Sabda Armandio

tirto.id - Hobi
Penulis: Sabda Armandio
Editor: Ivan Aulia Ahsan