Menuju konten utama

Modus Sakit Para Koruptor yang Menghambat Proses Hukum

Berbagai jenis penyakit menjadi alasan tersangka hingga terdakwa kasus korupsi untuk hambat proses hukum. Lantas, bagaimana cara menanganinya?

Modus Sakit Para Koruptor yang Menghambat Proses Hukum
Foto Setya Novanto yang sedang dirawat di RS Medika Permata Hijau, Jakarta, Kamis (16/11/2017). FOTO/ANTARA NEWS

tirto.id - Mantan Walikota Depok, Nur Mahmudi Ismail dikabarkan menderita lupa ingatan. Informasi tersebut datang dari mantan staf pribadinya, Tafi.

Menurut Tafi, pada 18 Agustus 2018, presiden PKS pertama itu bertanding bola voli di Griya Tugu Asri, Kelapa Dua, Depok. Saat bermain, Nur Mahmudi terjatuh, bagian belakang kepalanya terbentur. Setidaknya sampai kemarin, (29/08/2018) Nur Mahmudi diduga masih menjalani masa pemulihan setelah dirawat di Rumah Sakit Hermina.

Kabar itu muncul usai Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono, pada Selasa 28 Agustus 2018, menegaskan bahwa, Nur Mahmudi telah ditetapkan sebagai tersangka. Nur Mahmudi diduga terlibat korupsi proyek pengadaan lahan untuk pelebaran Jalan Nangka, Tapos, Depok. Dia diduga merugikan negara sekitar Rp10,7 miliar.

Dalam penanganan kasus Nur Mahmudi, kata Argo, polisi bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI Jakarta. Lembaga ini bertugas menaksir uang negara yang hilang.

Proses pengungkapan kasus korupsi yang menggunakan dana APBD 2015 itu, telah dilakukan sejak April. Pada bulan yang sama Nur Mahmudi juga sempat diperiksa. Selain itu sejauh ini pihak kepolisian sudah memeriksa 30 saksi. Kasus itu ditangani Polresta Depok.

Setidaknya ada empat elite PKS enggan menanggapi kasus Nur Mahmudi.

Mereka yang Pakai Modus Sakit

Telepas benar atau tidaknya Nur Mahmudi lupa ingatan, berbagai macam jenis sakit kerap menjadi dalih bagi beberapa tersangka korupsi di Indonesia. Tujuannya untuk menghambat atau bahkan lari dari kasus yang menjeratnya.

Salat satu yang masih melekat di ingatan kita ialah drama kecelakaan mobil terpidana kasus KTP elektronik, Setya Novanto. Sehari setelah hilang ketika hendak dijemput paksa oleh KPK, Pengacara Setnov, Fredrich Yunadi mengumumkan mobil yang ditumpangi Novanto mengalami kecelakaan, mantan ketua umum Partai Golkar itu diklaim gegar otak.

Setelah didalami, KPK menyatakan mantan ketua DPR itu dengan sengaja menghindari pemeriksaan. KPK menegaskan salah satu dokter RS Permata Hijau, tempat Setnov dirawat, Bimanesh Sutarjo turut bekerja sama memperkuat modus sakit Novanto. Dia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta.

Begitu juga Fredrich, dia terbukti turut serta mencegah, merintangi, menggagalkan penyidikan KPK. Dia divonis penjara 7 tahun dan membayar denda Rp500 juta. Novanto sendiri divonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Presiden kedua Indonesia, Soeharto pun pernah memakai alasan serupa. Ketika hendak diperiksa oleh Kejaksaan Agung mengenai dugaan korupsi, Soeharto menggunakan alasan sakit hingga proses pemeriksaan terus tertunda.

Terakhir pada 23 September 2000 Presiden yang berkuasa selama 32 tahun ini masuk RS Pertamina dan hasil pemeriksaan dokter mengatakan Soeharto memiliki masalah syaraf dan mental serta sulit berkomunikasi.

Akhirnya pada 29 September 2000 majelis hakim PN Jakarta Selatan menetapkan sidang terhadap Suharto tak diteruskan dan harus dihentikan. Kemudian 11 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk Soeharto.

Selain mereka berdua, tercatat sejumlah tersangka korupsi juga pernah menggunakan modus sakit. Beberapa di antara mereka,mantan Ketua DPD RI 2014-2016, Irman Gusman. Saat ditetapkan sebagai tersangka kasus suap kuota gula impor pada 2016, Irman mengaku sakit jantung ketika dipanggil KPK untuk diperiksa.

Irman juga pernah menolak diperiksa KPK dengan alasan sedang mengajukan praperadilan. Irman divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Infografik Ci Penyakit Para Koruptor

Kemudian Anggota DPR RI 2014-2019, Miryam S. Haryani yang terjerat kasus KTP elektronik. Dia mengaku sakit saat dipanggil KPK dalam persidangan kasus korupsi e-KTP. Tim dokter yang menangani sakit politikus Partai Hanura itu di Rumah Sakit Pusat Angkat Darat (RSPAD) Gatot Subroto, merasa Miryam memberikan keterangan palsu dan berpura-pura sakit.

Miryam sempat masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri. Sebab dia menghindar dari pemeriksaan KPK dan tak terdeteksi keberadaannya. Miryam akhirnya divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.

Ketua Umum Partai Demokrat 2010-2013 Anas Urbaningrum pun sering mengaku sakit gigi saat menjalani pemeriksaan oleh KPK soal kasus proyek Hambalang pada tahun 2014 lalu. Dengan alasan ini, Anas kemudian jadi irit bicara kepada penyidik.

Nunun Nurbaeti adalah tersangka kasus suap saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI), Miranda Goeltom tahun 2004. Wanita kelahiran Sukabumi ini merupakan istri Komjen Pol (Purn) Adang Darajatun.

Istri dari mantan Wakapolri Adang Daradjatun, Nunun Nurbaeti pernah mengaku hilang ingatan. Saat itu dia menjadi tersangka kasus dugaan suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom. Dia juga sempat menjadi buronan sebelum akhirnya diketahui lari dari kejaran KPK ke Thailand dan Kamboja. Dia divonis penjara 2,6 tahun dan denda Rp150 juta.

Menangani Terduga Korupsi yang Sakit-Sakitan

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tak diatur secara eksplisit apakah terpidana yang sedang sakit tidak boleh diperiksa. Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengakui hal itu.

Menurutnya larangan memeriksa orang sakit lebih karena alasan kemanusiaan. "Masa orang sakit kita paksakan memberi keterangan? Kan aparat penegak hukum juga harus memberi hak-hak tersangka termasuk ketika sakit dia harus disembuhkan dulu," katanya kepada Tirto.

Selain itu, memaksakan pemeriksaan terhadap orang sakit pun berisiko menghambat proses persidangan. Sebab sang terdakwa bisa membantah isi Berita Acara Penyidikan (BAP) dengan alasan kalau dirinya sedang sakit.

“Pelaku kriminal kerah putih, salah satunya korupsi cenderung menghindari proses. Dari kecenderungan itu kita bisa menilai ada potensi pelaku tindak pidana korupsi mencoba memanipulasi keadaan, mengulur-ulur waktu dengan menyatakan dirinya sakit," Ujarnya

Namun Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang menerangkan di dalam hukum, terdapat doktrin yang mengatakan orang tidak boleh diadili jika dalam keadaan tidak sehat.

"Bahkan saat akan diperiksa saja seseorang harus menyatakan dirinya sehat terlebih dahulu," kata Saut kepada reporter Tirto, Kamis 30 Agustus 2018.

Namun Saut sendiri mengaku tak ambil pusing soal maraknya koruptor yang menggunakan dalih sakit untuk berkelit dari pemeriksaan. Menurutnya banyak cara yang bisa digunakan untuk memverifikasi klaim tersangka yang mengaku sakit. Salah satunya ialah meminta second opinion atau meminta pendapat dari pihak lain soal status kesehatan tersangka.

Cara semacam itu pernah dilakukan KPK di kasus Setya Novanto. Kala itu KPK meminta bantuan Ikatan Dokter Indonesia.

"Semua bisa di cross check dan double check. Kalau ngeyel pasti ada yang bisa dobel ngeyel untuk membandingkannya," kata Saut kepada Tirto lewat keterangan tertulis.

Saut pun menganjurkan untuk mencurigai tersangka korupsi yang mengaku sakit. Namun jika tersangka korupsi terbukti sakit, dia memaklumi tindakan mangkir.

“Kalau memang benar sakit mengapa kita harus melanggar hukum dalam menegakkan hukum,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait KORUPTOR atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dieqy Hasbi Widhana