tirto.id - Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri telah meningkatkan status penyalahgunaan dana hibah Kwartir Daerah (Kwarda) Gerakan Pramuka DKI Jakarta dari penyelidikan ke penyidikan. Peningkatan status ini mengkonfirmasi adanya unsur pidana meskipun penyidik belum menetapkan tersangka.
Dalam kasus ini, penyidik telah memeriksa sejumlah saksi, di antaranya Sylviana Murni yang pernah menjabat sebagai Kepala Kwarda Gerakan Pramuka DKI Jakarta. Ia mengatakan dana hibah tahun anggaran APBD 2014-2015 yang dikucurkan Pemprov DKI senilai Rp6,8 miliar. Biaya tersebut untuk operasional Kwarda Pramuka DKI Jakarta periode 2013-2018.
Namun, Sylviana menegaskan tidak ada praktik korupsi dalam pengelolaan dana hibah yang dianggarkan dalam APBD DKI tersebut. “Sudah ada auditor independen yang menyatakan semua kegiatan ini wajar. Audit laporan keuangan Kwartir Daerah Gerakan Pramuka 2014 telah diaudit pada 23 Juni 2015 dengan pendapat wajar,” ujarnya usai diperiksa sebagai saksi, seperti dikutip Antara.
Mantan Walikota Jakarta Pusat ini menambahkan, dari penggelontoran dana hibah sebesar Rp6,8 miliar, ada beberapa kegiatan kepramukaan yang tidak bisa terealisasi, sehingga dilakukan pengembalian dana yang tidak terpakai. Ia mengklaim, ada bukti pengembalian ke kas daerah sejumlah dana Rp801 juta.
Sementara itu, Bareskrim Polri meyakini ada penyalahgunaan terkait dana hibah tersebut, sehingga Polri bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana hibah pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang diberikan kepada Kwarda Gerakan Pramuka DKI Jakarta.
Motif Penyalahgunaan Beragam
Penyalahgunaan dana hibah seperti kasus di DKI Jakarta, juga terjadi di daerah lain. Bahkan, tidak sedikit pejabat daerah yang menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, maupun Kejaksaan karena kasus dana hibah tersebut.
Padahal, sejatinya dana hibah ditujukan untuk menunjang capaian program dan kegiatan pemerintah daerah. Sayangnya, pada praktiknya sering menjadi bahan incaran dengan beragam modus, seperti mark up anggaran, pembentukan lembaga fiktif, hingga untuk keperluan kampanye pilkada.
Tak heran jika Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo selalu mengingatkan pejabat daerah, terlebih kepala daerah agar mencermati perencanaan anggaran, khususnya terkait dana hibah yang rawan praktik korupsi. Menurutnya, dana hibah dan bansos ini harus dilakukan selektif dan bisa dipertanggungjawabkan.
“Dana bansos dan hibah itu boleh tapi selektif, selektif dan bisa dipertanggungjawabkan jangan 5 tahun berturut-turut yang terima dana bansos dan hibah yang itu-itu saja orangnya atau lembaganya,” ujarnya.
Kekhawatiran Tjahjo cukup beralasan. Banyak pejabat daerah yang menjadi tersangka korupsi karena penyalahgunaan dana hibah. Pengelolaan dana hibah di sejumlah daerah juga karut-marut, banyak yang tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 14 tahun 2016.
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pernah melakukan penelitian potensi penyelewengan dana hibah pada Provinsi Banten tahun APBD 2014-2015. Dalam penelitian tersebut terdapat 144 instansi/organisasi/lembaga masyarakat yang mendapatkan dana hibah tidak disertai proposal pengajuan dan proposal pencairan. Praktik ini dinilai sangat rawan menjadikan dana hibah sebagai bancakan dan berpotensi merugikan keuangan daerah, sehingga FITRA melaporkan temuan tersebut ke KPK agar ditindak lanjuti.
Selain proses penganggaran dana hibah tanpa melalui prosedur yang berlaku, lembaga titipan dari penguasa juga menjadi salah satu motif yang melatarbelakangi praktik ini. Hal ini terjadi dalam kasus korupsi dana hibah yang menjerat mantan Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho.
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Medan, pada 10 November lalu, Gatot dituntut delapan tahun penjara atas dugaan kasus korupsi dana hibah dan bansos tahun 2013 senilai Rp4,034 miliar. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan, Gatot melakukan korupsi dengan menerbitkan peraturan gubernur terkait proses penganggaran dana hibah melalui evaluasi pada SKPD di lingkungan Pemprov Sumut.
Gatot juga meminta SKPD untuk menampung permohonan sejumlah lembaga penerima bansos yang ditunjuknya. Dalam proses pencairan dana itu, tidak ada verifikasi terhadap 17 lembaga penerima hibah dan bansos yang jumlahnya Rp2,8 miliar.
Selain kasus di atas, Tirto pernah mengulas soal “Kusutnya Pengelolaan Dana Hibah” yang melibatkan pejabat daerah, mulai dari kepala daerah hingga anggota DPRD. Misalnya, kasus dugaan korupsi dana hibah yang bersumber dari APBD Pemprov Sumatera Selatan (Sumsel) tahun anggaran 2013.
Dalam kasus tersebut, penyidik menduga kasus korupsi sudah terjadi sejak perencanaan hingga pelaksanaannya sehingga memerlukan waktu bagi penegak hukum dalam penyelesaiannya. Dalam konteks ini, penyidik menduga ada keterlibatan eksekutif dan legislatif yang berkolaborasi mengatur dana hibah ini untuk kepentingan tertentu. Misalnya, dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya penerima fiktif terkait nama orang dan LSM.
Modus-modus tersebut hampir terjadi pada setiap daerah. Berdasarkan pengalamannya sebagai auditor BPK, Muzni Fauzi dalam buku “Membongkar Trik Penyimpangan Penggunaan Keuangan Negara” menulis beberapa modus yang biasa digunakan oleh pejabat daerah dalam menyalahgunakan anggaran negara.
Menurut dia, salah satunya adalah membuat proposal bantuan sosial atau hibah atau keuangan secara fiktif. Hal itu dilakukan dalam rangka mengumpulkan dana untuk tujuan kepentingan tertentu. Kemudian, unit kerja yang memiliki otoritas pada pengelolaan bantuan akan mendapat perintah oleh atasannya, biasanya tidak tertulis.
Ia bisa dilakukan melalui kepala unit kerjanya, sekretaris daerah, ataupun langsung perintah dari kepala daerah untuk membuat proposal fiktif dan rekeningnya sebagai dasar pencairan bantuan. Biasanya staf kepercayaan saja yang menjalankan misi khusus ini. Apabila telah dicairkan, maka dana bantuan tersebut dipergunakan sesuai maksud atau dikelola oleh staf kepercayaannya.
Momentum yang dimanfaatkan biasanya saat penyusunan APBD dan atau Perubahan APBD yang telah dirancang untuk menganggarkan bantuan yang dapat difiktifkan. Apabila telah ditetapkan, nantinya eksekusi dan pelaksanaannya biasanya diserahkan pada staf kepercayaan. Pekerjaan rumah terakhir adalah saat pelaporan kegiatan, di mana semua pertanggungjawaban telah direkayasa sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Menurut Muzni, terkadang memang cukup sulit memprediksi adanya praktik kecurangan tersebut. Namun, bagi mereka yang sudah berpengalaman di bidang audit tentunya akan mudah menemukannya. Salah satunya adalah mencermati dan bandingkan pagu anggaran dari sebelumnya.
Selain itu, pertanggungjawaban pengeluaran biasanya tidak didukung bukti yang lengkap dan waktu penyampaiannya pun berlarut-larut akibat pembuatan SPJ fiktif yang memakan waktu.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani