Menuju konten utama

Kusutnya Pengelolaan Dana Hibah

Dana hibah sejatinya ditujukan untuk menunjang capaian program dan kegiatan pemerintah daerah. Namun, dana ini sering menjadi bahan incaran dengan modus beragam, mulai dari pembentukan lembaga fiktif, hingga kampanye pilkada.

Kusutnya Pengelolaan Dana Hibah
Kepala Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Sumsel Richard Chahyadi (tengah) bersama stafnya menjalani pemeriksaan oleh tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) di Kantor Kejaksaan Tinggi Sumsel, Palembang, Sumatra Selatan, Kamis (1/12). Tim penyidik Kejagung kembali memeriksa sejumlah kepala dinas beserta staf, terkait dugaan adanya indikasi penyelewengan anggaran dari dana hibah pada APBD Sumsel 2013 lalu senilai Rp 2,1 triliun. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/pd/16

tirto.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan dua pejabat Pemprov Sumatera Selatan (Sumsel), Ichwanudin dan Laonma Tobing sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah yang bersumber dari APBD tahun anggaran 2013. Sayangnya, hingga kini kasus yang merugikan negara sebesar Rp2,1 triliun ini masih belum disidangkan.

Lambannya pengusutan kasus ini disinyalir karena praktik korupsi dana hibah ini dilakukan secara sistematis. Seperti dilansir Antara, kasus korupsi ini terjadi sejak perencanaan hingga pelaksanaannya. Penyidik menduga ada keterlibatan eksekutif dan legislatif yang berkolaborasi mengatur dana hibah ini untuk kepentingan tertentu. Artinya, masih ada kemungkinan tersangka lain dalam kasus ini.

Dalam kasus ini, Kejagung baru menetapkan dua tersangka. Penetapan ini dilakukan setelah Kejagung melakukan pemeriksaan terhadap 62 anggota DPRD Sumsel, 40 LSM, 10 notaris dan 15 pejabat eselon yang terdiri dari kepala biro dan kepala dinas. Kejagung juga telah menyita sejumlah dokumen, proposal hingga SPJ (surat pertanggungjawaban) dana hibah tersebut.

Dari pemeriksaan saksi dan bukti-bukti yang telah dikumpulkan, penyidik menemukan fakta bahwa dari total Rp2,1 trliun dana hibah diketahui sebanyak Rp350 miliar dihibahkan ke anggota DPRD Sumsel. Namun, Kejagung akan penetapan tersangka lain setelah melengkapi bukti-bukti, yakni dengan mencari fakta-fakta dan berita acara pemeriksaan (BAP) dari pemeriksaan para saksi.

“Tim melihat bahwa kasus ini, dari proses anggaran dan pelaksanaan terdapat keterlibatan dewan dan pihak ekskutif. Ini semua murni dana hibah tahun 2013, bukan Bansos,” kata Ketua Penyidik Kejagung, Haryono, seperti dikutip Antara.

Dari hasil pemeriksaan sementara, ditemukan adanya penerima fiktif terkait nama orang dan LSM. Dalam konteks ini, Kejagung sedang mengejar siapa saja yang turut menikmati dana fiktif yang berasal dari APBD tahun 2013 tersebut.

Selain motif penerima dana hibah fiktif, ada juga motif lain yang sering terjadi dalam kasus dana hibah dan bansos. Misalnya, proses penganggaran dana hibah tanpa melalui prosedur yang berlaku, atau lembaga titipan dari penguasa, seperti kasus korupsi dana hibah dan bansos yang menjerat mantan Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Medan, pada 10 November lalu, Gatot dituntut delapan tahun penjara atas dugaan kasus korupsi dana hibah dan bansos tahun 2013 senilai Rp4,034 miliar. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Viktor mengatakan, Gatot melakukan korupsi dengan menerbitkan peraturan gubernur terkait proses penganggaran dana hibah dan bansos melalui evaluasi pada SKPD di lingkungan Pemprov Sumut.

Gatot juga meminta SKPD untuk menampung permohonan sejumlah lembaga penerima bansos yang ditunjuknya. Dalam proses pencairan dana itu, tidak ada verifikasi terhadap 17 lembaga penerima hibah dan bansos yang jumlahnya Rp2,8 miliar.

Dua kasus di atas merupakan contoh konkret bagaimana kusutnya pengelolaan dana hibah sehingga sering disalahgunakan oleh pemerintah daerah. Modus penyimpangan dilakukan dengan berbagai cara seperti membuat lembaga fiktif, adanya titipan lembaga penerima dana hibah dari oknum yang berpengaruh, hingga penyalahgunaan dana hibah untuk kepentingan kampanye pilkada.

Infografik Dana Hibah untuk Siapa

Peringatan KPK

Sebagai bentuk pencegahan, tahun 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memberikan peringatan agar pengelolaan dana hibah dan bansos mengacu pada regulasi dan berpegang teguh pada asas keadilan, kepatuhan, rasionalitas, dan manfaat yang luas bagi masyarakat, sehingga jauh dari kepentingan pribadi serta kepentingan politik dari unsur kepala daerah.

Saat itu, KPK meminta kepada para kepala daerah agar pengelolaan dana hibah dan bansos mengacu pada Permendagri 32/2011 (sekarang direvisi menjadi Permendagri Nomor 14 Tahun 2016). Selain itu, KPK juga meminta agar aparat pengawasan internal pemerintah daerah dapat berperan secara optimal dalam mengawasi pengelolaan dan pemberian dana hibah dan bansos tersebut.

Imbauan tersebut berdasarkan kajian yang dilakukan KPK menjelang pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015. Dalam kajian itu, KPK menemukan adanya relasi dana bansos dan hibah APBD terkait pelaksanaan pilkada.

KPK juga menemukan kecenderungan dana hibah dan bansos mengalami kenaikan menjelang pelaksanaan pilkada yang terjadi pada kurun 2011-2013. Selain itu, didapati juga fakta banyaknya tindak pidana korupsi yang diakibatkan penyalahgunaan kedua anggaran tersebut.

Kajian KPK tersebut memang dilakukan sebelum pilkada 2015 lalu. Namun, poin-poin penting terkait pengelolaan dana hibah dan bansos tersebut penting untuk dijadikan bahan evaluasi oleh pemerintah daerah, sehingga potensi penyalahgunaan dana hibah dan bansos dapat dihindari.

Apalagi, pada pertengahan November lalu, Presiden Joko Widodo juga telah mengingatkan hal ini. Bahkan, Presiden Jokowi memprioritaskan upaya membangun transparansi dalam penyaluran dan penggunaan dana hibah dan bantuan sosial ini. Presiden Jokowi menyadari betul bahwa dua anggaran ini menjadi salah satu area yang rawan tindakan koruptif.

“Saya minta juga langkah langkah deregulasi, perbaikan mekanisme, penyederhanaan prosedur birokrasi, termasuk penyederhanaan rezim SPJ [Surat Pertanggungjawaban],” ujarnya dikutip Antara.

Keseriusan Presiden Jokowi dan peringatan KPK tidak akan berdampak signifikan, jika para kepala daerah tidak memiliki komitmen yang kuat terkait transparansi dana hibah ini. Pengelolaan dana hibah yang transparan menjadi salah satu solusi meminimalisir penyalahgunaan dana hibah ini, sehingga penyalurannya tepat sasaran dan terhindari dari lembaga fiktif.

Sudah saatnya pemerintah daerah berpikir strategis agar dana hibah benar-benar menjadi penunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah sesuai urgensi dan kepentingan daerahnya.

Baca juga artikel terkait DANA HIBAH atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti