Menuju konten utama

Mochtar Lutfie, Ulama Korban KNIL yang Dibunuh setelah Salat Subuh

Mochtar Lutfie adalah tokoh pergerakan yang terjebak dalam seragam NICA di Australia dan Makassar. Diam-diam simpatinya adalah untuk Indonesia.

Mochtar Lutfie, Ulama Korban KNIL yang Dibunuh setelah Salat Subuh
Mochtar Lutfie. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sepulang dari Kairo, Mochtar Lutfie bergabung dengan Persatuan Muslim Indonesia (Permi) di Sumatra Barat. Ketika berada di ibu kota Mesir itu, menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 4 (2004: 148), Mochtar Lutfie tidak tertarik dengan paham Pan Islam yang sedang jadi tren, namun ketika pulang ke Indonesia dia lebih tertarik jadi oposisi pemerintah kolonial. Permi di masanya bahkan berhubungan dengan kelompok PNI Baru.

Ketika orang-orang PNI Baru ditangkap pemerintah kolonial pada 1933, Mochtar Lutfie juga ikut kena garuk. Singa Minangkabau itu akhirnya dibuang ke Boven Digoel. Lutfie di sana hingga 1942. Bukan karena dibebaskan, tapi karena dipindahkan ke Australia. Sejak di Australia itu dia termasuk tawanan yang mau bekerja sama dengan pemerintah pengasingan Belanda. Ketika Indonesia diduduki bala tentara Jepang, pemerintah Hindia Belanda lari ke Australia.

Koran Murba nomor 44 (27/4/1948) mencatat, seperti dikutip Harry Poeze dalam PKI Sibar: Persekutuan Aneh antara Pemerintah Belanda dan Orang Komunis di Australia, 1943-1945 (2014: 114-115), Lutfie dan beberapa tokoh PKI seperti Murad dan Sardjono "diganjar pangkat letnan".

Meski dapat pangkat letnan, sejatinya Lutfie tetaplah ulama dan bisa berdakwah di depan orang-orang Islam. Lutfie adalah bagian organisasi yang direstui otoritas Belanda bernama Sinar Baroe (SIBAR). Setelah Jepang kalah, Lutfie dikirim ke Makassar. Di sana dia dikasih pangkat mayor. Dia dijadikan alat penerangan NICA Belanda di daerah yang kebanyakan penduduknya Islam itu. Ketika Negara Indonesia Timur berdiri, dia pun pernah duduk sebagai anggota parlemennya.

Sebenarnya Pro-Republik

Lutfie tentu pernah berhubungan dengan pejabat NICA, tak terkecuali Charles van der Plas. Di Hotel Makassar, Lutfie terlihat bersama van der Plas di masa-masa penyelenggaraan Konferensi Malino akhir 1946. “Mereka ngomong dalam bahasa Arab,” seingat Rosihan Anwar (hlm. 149). Meski begitu kecenderungan politiknya adalah kepada Indonesia, setidaknya kepada orang-orang Indonesia di Makassar.

Muchtar Lutfie dianggap salah satu pelopor pembangunan masjid raya Makassar. Diam-diam Mayor Haji Mochtar Lutfie mendekati orang-orang terkemuka di kota Makassar yang mendukung Republik. NICA Belanda, yang berusaha eksis lagi itu, berusaha meraih simpati rakyat Makassar dengan membangun masjid.

Seharusnya, sebagai pejabat NICA, Mochtar Lutfie mendukung pembangunan citra NICA Belanda lewat pembangunan masjid itu. Tapi dia sebenarnya mendukung Republik.

Mochtar Lutfie mengaku pada 1940-an itu dirinya menjadi alat kolonialis NICA Belanda. Dalam hati, seperti dicatat dalam Makassar Doeloe, Makassar Kini, Makassar Nanti (2000: 216), Lutfie mengaku “berpegang teguh pada perintah Allah SWT. Bahwa perjuangan bangsa dan tanah air Indonesia adalah sebagian dari iman.”

Kepada orang Indonesia yang ditemuinya, Lutfie berkata: “Saya sangat mengharapkan bantuan, Bung. Jangan sampai kita didahului oleh NICA merebut hati rakyat, utamanya ulama.”

Pada 1948, seperti dicatat buku Republik Indonesia: Sulawesi (1955: 610), berdiri Komite Pusat Pembangun Mesdjid Raja. Makin hari dia makin dekat dengan orang-orang Indonesia—yang di antaranya Republiken—di Makassar. Setelah Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, Mochtar Lutfie yang masih tinggal di Makassar bisa terang-terangan berseberangan dengan Belanda.

Terjebak dalam Pertempuran TNI vs KNIL

Meski Belanda angkat kaki, bekas serdadu KNIL Belanda justru gelisah dengan masa depan mereka. Hingga segerombolan KNIL ngotot ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur (NIT) di bawah pimpinan Andi Azis pada 5 April 1950. Serdadu-serdadu KNIL ini tidak mau ada pasukan TNI dari Jawa, yang masih mereka anggap musuh. Meski Andi Azis dan beberapa KNIL sebenarnya sudah bergabung dengan TNI.

Keadaan tetap tak terkendali meski Andi Azis sudah menyerahkan diri ke Jakarta. Pasukan-pasukan KNIL itu dikepung banyak TNI dari luar kota Makassar. Di masa-masa ini, Muchtar Lutfie tentu saja terjebak karena pertempuran yang memanas itu. Para serdadu KNIL yang jatuh moral karena kalah perang dan tanpa disiplin tentu dengan mudah memuntahkan peluru pada orang yang dianggap lawan mereka.

Kerusuhan diredakan dengan dibuatnya kesepakatan batas wilayah antara TNI dengan KNIL. Semua TNI atau KNIL yang sudah tahu perjanjian itu tentu berpikir ulang untuk melanggar batas. Namun tidak bagi yang baru tiba di Makassar.

Dua minggu lebih setelah lebaran di tahun 1950-an, sebuah insiden terjadi. Pada 1 Agustus 1950 Letnan Jan Ekel baru tiba di Makassar dari Nusa Tenggara. Jan Ekel tidak tahu garis demarkasi antara TNI-KNIL yang disepakati setelah April 1950. Hingga Jan Ekel pun jadi korban KNIL karena ketidaktahuannya.

Bukan hal aneh jika TNI marah. Makassar pun panas lagi. Tidak hanya TNI, tapi juga para pemuda pendukung Republik. Mochtar Lutfie tidak ketinggalan. Di hari Jumat tanggal 4 Agustus 1950, dalam khotbah jumatnya, seperti ditulis Lahadji Patang dalam Sulawesi dan Pahlawan-Pahlawannya (1975: 147), Mochtar Lutfie menganjurkan kepada rakyat untuk melawan kezaliman KNIL. Khotbah itu tersebar juga lewat radio. Tak lupa para pedagang di Makassar diajak untuk memboikot bahan kebutuhan agar tidak dibeli oleh KNIL-KNIL dan keluarganya.

Infografik Mochtar Lutfi

Infografik Mochtar Lutfi. tirto.id/Fuad

“Rupanya (siaran khotbah) dapat didengar oleh anggota KNIL, hal mana adalah menyebabkan mereka itu bertambah marah kepada Haji Mochtar Luthfie,” tulis Republik Indonesia: Sulawesi (hlm. 611). Mochtar yang pernah jadi aparat NICA tentu saja dianggap pengkhianat oleh serdadu-serdadu KNIL yang anti Republik di Makassar.

Para perwira tentara Belanda tentu berpikir panjang untuk menghambat pemboikotan yang bisa bikin mereka kelaparan di Makassar. Hingga pada 5 Agustus 1950, para perwira TNI pun diajak berunding. Perwira TNI juga berusaha agar pemboikotan itu tak diteruskan para pedagang Indonesia. Namun tiba-tiba pada pukul 17.15 hari itu juga, KNIL-KNIL berdarah panas berkeliaran dan beraksi. Gerakan KNIL itu membuat gerilyawan-gerilyawan dan TNI yang semula masuk hutan pun masuk kota Makassar dan bertempur melawan KNIL.

Pergerakan KNIL tentu membawa petaka bagi warga kota. Tak terkecuali untuk Mochtar Lutfie. Segerombolan serdadu KNIL menyatroninya di jam-jam salat subuh di rumahnya. Setelah salat, Mochtar Lutfie pun tinggal nama.

Nama Mochtar Luthfie kini diabadikan jadi nama jalan di kawasan niaga dekat pantai Losari, kota Makassar.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan