tirto.id - Pada 7 Maret 1975, Mochtar Lubis menulis di catatan hariannya, “I am 53 today, and yes I feel very young. My health is good… Hally, Iwan, Ade, Ike, Maya, and Tanya come. After all we had quite a nice celebration, with cake and candles, and one baby champagne bottle which I kept cool in the ice thermos since last Wednesday.”
Pesta kecil untuknya tak digelar di rumah mereka di Jl. Bonang, Jakarta Pusat. Perayaan berlangsung di penjara Nirbaya, di sebelah Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur. Mantan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya itu ditahan sejak 4 Februari 1975.
Sekitar 75 tahanan di kurung di sana. Beberapa di antaranya, termasuk Mochtar Lubis, ditempatkan di paviliun dengan kamar tidur, ruang makan, dan kamar mandi, luasnya sekitar 30 meter persegi. Para tahanan diperkenankan bercocok tanam, berolahraga, atau melakukan kegiatan lain. Tapi pintu kompleks tetap terkunci. Mereka dikucilkan dari dunia bebas.
Penghuni Nirbaya lainnya adalah sejumlah sosok yang dikaitkan dengan Peristiwa G30S, seperti Laksamana Udara Omar Dhani dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra.
”Paviliun saya di sebelah paviliun Omar Dhani, bekas instruktur terbang saya dulu di Aeroclub--waktu itu dia masih Letnan Udara,” tulis Mochtar Lubis di catatan hariannya.
Selain mereka, ada pula Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI yang dituding bertanggung jawab dalam Peristiwa Malari. Mereka yang langsung diringkus setelah Malari adalah Hariman, tokoh mahasiswa Sjahrir, politikus senior Subadio Sastrosatomo, pengacara dan aktivis Adnan Buyung Nasution, aktivis hak asasi manusia HJ Princen, akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan sejumlah tokoh lain. Hanya Hariman yang di Nirbaya. Lainnya disebar, termasuk di Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta.
Penahanan Mochtar Lubis juga terkait Malari. Persis pada 15 Januari 1974, ia hendak terbang ke Paris. “Ia (Mochtar Lubis) melewati Pasar Senen yang dilalap api dalam perjalanannya ke bandar udara Kemayoran,” ungkap David T Hill dalam Jurnalisme dan Politik Indonesia.
Ketika Indonesia Raya diberedel pada 20 Januari 1974 bersama sejumlah koran dan majalah lain, Mochtar Lubis masih di Prancis. Kendali redaksi di tangan Wakil Pemimpin Redaksi Enggak Bahau’ddin dan Redaktur Pelaksana Atmakusumah. Sekembali dari Paris pada awal Februari 1974, selama dua bulan Mochtar Lubis diperiksa seminggu sekali oleh aparat keamanan.
Setahun lebih setelah pemberedelan, baru pencokokan terjadi. Hill menulis, Mochtar Lubis percaya bahwa penundaan penangkapan dilakukan karena dibutuhkan waktu untuk merekayasa barang bukti. Ia, Enggak Bahau’ddin, dan sejumlah individu lain dituding menggelar rapat rahasia penggulingan Orde Baru.
Pada catatan hariannya, ia bercerita bahwa para interogator dari kejaksaan banyak bertanya soal hubungannya dengan cendekiawan Soedjatmoko dan ekonom Sumitro Djojohadikusomo.
Saat Malari meletus, Sumitro adalah Menteri Negara Riset. Dalam disertasinya, Rizal Mallarangeng menilai, meski bergabung dalam kabinet, Sumitro banyak berseberangan pandangan dengan kebijakan pro-pasar yang diterapkan Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan.
Sementara Soedjatmoko saat itu diyakini akan ditangkap juga. Sebelumnya, ipar Sutan Sjahrir itu aktif berdiskusi dan berhubungan dengan para cendekiawan lain serta mahasiswa tentang situasi tanah air. “Ia (Soedjatmoko) pun diinterogasi selama beberapa minggu, tetapi tidak dipenjara, namun dilarang ke luar negeri selama dua setengah tahun,” tulis sejarawan M Nursam dalam Pergumulan Seorang Intelektual.
Meluncur pula pertanyaan jaksa soal tulisan-tulisan di Indonesia Raya pada 1973 yang tak berhubungan dengan Malari. Misalnya, tajuk rencana tentang pengangkatan Gubernur Bali. Mochtar Lubis gusar dan mempertanyakan arah interogasi.
“Demi Allah bukan untuk mencari-cari kesalahan bapak tapi ini pertanyaan tambahan dari atasan kami untuk clearance bapak,” kata jaksa.
Nirbaya bukan penjara pertama buat Mochtar Lubis. Pada masa Orde Lama, suami Siti Halimah Kartawidjaja atau Hally, juga ditahan. Ia dituduh berkomplot dengan Kolonel Zulkifli Lubis dalam pemberontakan di Sumatra, sebagai buntut ketidakpuasan dan rivalitas di Angkatan Darat.
Indonesia Raya memang menyediakan ruang untuk surat-surat Zulkifli yang memuat alasan perwira itu menentang atasan dan pemerintah. Mochtar Lubis ditangkap Polisi Militer pada 21 Desember 1956.
Ia dipindahkan dari RTM Budi Utomo menjadi tahanan rumah pada 5 Januari 1957. Sebagai tahanan rumah, ia dilarang menerima tamu, diwawancarai, memakai telepon, dan menulis. Tapi lantaran akrab dengan penjaga, Mochtar Lubis tetap bisa menulis untuk Indonesia Raya.
Sampai dibebaskan pada 29 April 1961, tuduhan kepada jurnalis yang pernah menjadi guru HIS di Nias ini tak pernah dibuktikan di muka pengadilan.
Kurang dari tiga bulan kemudian, Mochtar Lubis kembali ditahan atas perintah Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). Ia dianggap menyerang Manipol USDEK (Manifesto Politik/UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sebelumnya, Mochtar Lubis menghadiri Kongres Institut Pers Internasional (IPI) di Tel Aviv dan menyampaikan pidato. Dalam pidato itulah konon serangan dilancarkan.
Mochtar Lubis lalu dipindahkan ke RTM Madiun, Jawa Timur. Selama tiga tahun, ia mendekam di sana bersama para politikus seperti Sutan Sjahrir, Yunan Nasution, Isa Anshary, dan Mohamad Roem.
Pada 15 Februari 1966, mereka semua dipindahkan ke rumah tahanan di Jakarta. Ketika Orde Lama runtuh, Mochtar Lubis kembali menjadi manusia bebas.
Di Nirbaya, lulusan Indonesisch Nederlandsche School (INS) Kayutanam ini merenung. Sejumlah temannya minta Mochtar Lubis melunakkan gaya menulis, berputar alias tidak langsung, dan menggunakan sindiran. Tapi ia menolak karena justru bakal mengukuhkan feodalisme kekuasaan.
“…siapa saja yang berani membantah, memajukan pikiran lain, dianggap saja sebagai pengacau, melawan, punya ambisi merebut kekuasaan, atau dalam istilah 'modern' sekarang, berbuat makar dan subversif,” tulisnya.
Salah satu pendiri majalah sastra Horison ini tak habis pikir mengapa tulisan-tulisannya harus berujung pada penjara. Ia merasa tulisan dan kritiknya sejalan dengan cita-cita Orde Baru yang kerap disampaikan Soeharto.
Penerima Ramon Magsaysay Award (1958) ini menggedor, “Apakah salah menunjukkan kelemahan-kelemahan yang terlihat, yang mungkin membawa masyarakat menjauh dari cita-cita dasar Orde Baru, dari cita-cita kemanusiaan dalam Pancasila, dari cita-cita keadilan dan kemakmuran yang merata, cita-cita penegakan hukum dan lingkungan hukum yang sama bagi setiap warga negara?”
Kasus paling fenomenal yang diinvestigasi Indonesia Raya pada masa Orde Baru adalah korupsi Pertamina. Selama sekitar empat tahun, koran ini menguliti penyelewengan keuangan di BUMN tersebut. Saat itu oplahnya sekitar 43 ribu eksemplar, nomor dua terbanyak setelah Kompas.
Buat sebagian kalangan, visi moral Mochtar Lubis sederhana belaka, tanpa dijejali kerumitan: yang benar dan baik wajib dibela, yang jahat dan salah kudu dilawan. Mohammad Roem menjulukinya “si kepala granit” lantaran sikapnya yang non-kompromi.
Dalam esai berjudul "Mochtar Lubis: Tidak Takut pada Rasa Takut", sosiolog Ignas Kleden menulis, ”Sikap menunda bertindak baginya adalah sesuatu yang tidak perlu, karena kekeliruan bertindak baginya lebih baik daripada kekeliruan yang terjadi karena tidak bertindak sama sekali.”
Dua bulan lebih sejak ditahan, anak keenam Mara Husein Lubis dan Siti Madinah Nasution ini dibebaskan dari Nirbaya. Berakhir sudah hari-hari hanya menikmati menu monoton: nasi + sepotong tempe/tahu + telur dadar, berujung sudah hari-hari di kompleks yang masih banyak menyimpan ular di semak-semaknya.
Pengarang novel Jalan Tak Ada Ujung ini tak pernah dihadapkan ke meja hijau. Jaksa Agung Ali Said mengundang Mochtar Lubis ke kantornya dan meminta maaf atas penahanan. Perkara selesai.
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi