tirto.id - Satu pagi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, sebuah sedan mewah melintasi jalan raya yang mulai padat kendaraan. Sedan dengan kelir true blue mica metallic tertulis jelas “Hybrid” di sisi kanan bokong mobil. Logo Toyota dan tulisan Camry juga menempel di atas jejeran lampu buritan merah menyala.
Mendapati Toyota Camry Hybrid mengaspal di jalan raya di Jakarta terbilang langka. Padahal, mobil “Hybrid” atau hibrida bukan barang baru di dunia otomotif Tanah Air. Keberadaannya tak terlepas dari Toyota Prius yang mulai resmi masuk Indonesia sejak 2009.
Sebelum Prius tiba, kendaraan roda empat hemat energi dan rendah emisi di Indonesia masih sebuah imaji. Sesuai namanya, mobil hibrida memiliki sumber energi dari bensin/solar/gas dan listrik dari baterai—yang bekerja secara bergantian. Sistem ini memungkinkan penghematan bahan bakar, karena saat macet atau jalanan menurun, energi dari baterai mobil yang berfungsi. Mobil hibrida kini sudah makin berkembang dengan hadirnya versi hibrida plug-in—sumber listriknya juga bisa di-charge dari rumah.
Toyota Prius misalnya, untuk generasi 4 diklaim mampu menekan konsumsi bahan bakar bensin hingga 40,8 km/liter. Dengan kelebihannya, mobil hibrida di Indonesia populasinya justru masih sangat minim. Pemainnya mayoritasnya adalah Toyota dengan Prius, Camry, dan Alphard. Selebihnya ada Honda CR-Z, Infiniti, Lexus, Nissan X-Trail Hybrid yang penjualannya masih terbatas.
Toyota sebagai perintias hibrida di Indonesia hingga awal Februari 2017 baru menjual 1.473 unit mobil hibrida. Jumlah ini tentu sangat kecil bila dibandingkan dengan penjualan mobil di Indonesia setiap tahun yang menembus 1 juta unit. Apalagi membandingkannya dengan populasi mobil nasional yang sedikitnya 11,4 juta unit (BPS 2013).
Harganya yang mahal dibandingkan mobil konvensional jadi penyebab utama tak berkembangnya mobil hibrida di Indonesia. Saat ini mobil hibrida masih sebagai kemewahan berkendara bagi si empunya kendaraan daripada sebagai simbol “mobil hijau”. Toyota Camry Hybrid misalnya dibanderol Rp774,1 juta per unit padahal versi konvensional terendahnya dijual hanya Rp500-an juta. Persoalan harga ini sering dikaitkan dengan insentif pemerintah terutama soal pajak.
Jalan Merayap Mobil Hibrida
Beberapa regulasi pemerintah telah lahir untuk menopang industri otomotif. Salah satu mobil yang mendapat karpet merah insentif pajak pemerintah adalah Low Cost and Green Car (LCGC). Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) atau “mobil murah” mendapatkan pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM). Hasilnya LCGC Agya, Ayla, Karimun Wagon, Satya berhasil meramaikan jalanan.
Insentif ini berkat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2013 tentang barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai PPn BM. Ironisnya, mobil-mobil berbahan bakar gas dan mobil hemat energi seperti hibrida pada PP ini masih dikenai pajak PPn BM sebesar 75 persen. Berselang setahun PP tersebut sempat direvisi dengan PP No 22 tahun 2014 tentang perubahan PP Nomor 41 Tahun 2013, daftar mobil hibrida tak masuk dalam ketentuan kendaraan yang mengalami perubahan. Ini menegaskan pemerintah memang masih menempatkan mobil hibrida sebagai barang mewah.
Saat ini, memang sudah ada wacana kebijakan program insentif bagi kendaraan rendah emisi atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) yang sedang dikaji kementerian perindustrian (Kemenperin). Rencana ini memang sudah sewajarnya, karena program pendahulu, LCGC dianggap sudah melenceng dari gagasan semula, karena harga mobil murah sudah tak lagi murah. Namun, yang jadi persoalan, LCGC mendapat insentif karena sudah diproduksi di dalam negeri, sedangkan mobil hibrida yang saat ini ada di Indonesia semuanya masih impor.
"Kami tengah mengkaji untuk kendaraan emisi yang lebih rendah. Produksi kendaraan bisa mengikuti perkembangan teknologi terbaru seperti hybrid,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dikutip dari Antara 10 April 2017.
Saat insentif untuk hibrida masih belum jelas, Presiden Jokowi belum lama ini mengeluarkan PP Nomor 22 tahun 2017 tentang rencana umum energi nasional. Mirisnya, rencana pengembangan mobil hibrida baru digariskan pada 2025 yang mengamanatkan pengembangan mobil listrik/hibrida sebanyak 2.200 unit dan 2,1 juta untuk motor. Padahal pengembangan mobil hibrida sudah dilakukan LIPI sejak 2010 lalu. Campur tangan pemerintah memang ditunggu, tak hanya mengandalkan dari kesiapan industri saja.
Studi terbaru dari KPMG berjudul Global Automotive Executice Survey 2017 yang mewawancarai hampir 1.000 senior eksekutif industri otomotif di 42 negara, menunjukkan bahwa proyeksi tren pengembangan mesin mobil hingga 2023, proporsi mesin mobil berbasis listrik akan meningkat dari 4 persen di 2016 menjadi 7 persen pada 2023—berdasarkan permintaan pasar. Sedangkan mesin mobil konvensional masih dominan. Yang menarik, bila ada campur tangan regulator maka bisa menambah proporsi produksi mesin mobil berbasis listrik hingga 30 persen pada 2023. Mobil berbasis listrik mencakup hibrida, hibrida plug-in, mobil listrik baterai, dan fuel cell.
“Saat ini tren global mengarah kepada kendaraan yang rendah tingkat emisinya,” kata Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) Kukuh Kumara dikutip dari laman Gaikindo.or.id.
Apa yang dikatakan Kukuh tidak meleset. Para pemain industri otomotif dunia sudah siap dengan berbagai produk mobil listrik termasuk kategori hibrida. Survei KPMG juga menunjukkan 53 persen eksekutif industri otomotif dunia berpendapat kendaraan hibrida plug-in jadi prioritas investasi mereka untuk lima tahun ke depan.
Sayangnya mobil dengan teknologi hemat bahan bakar dan rendah emisi, hibrida saat ini hanya jadi pajangan para produsen mobil di Indonesia—untuk mempromosikan teknologi terbaru mereka atau sekadar merangsang pasar. Mobil hibrida sudah lama ada, ia yang paling mungkin sebagai transisi menuju mobil berbasis listrik di masa depan. Saatnya memulai mobil hibrida agar lebih banyak berkeliaran di jalan-jalan raya.