tirto.id - Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) dengan konsep Omnibus Law yang disahkan DPR dan pemerintah pada 5 Oktober 2020 sudah mulai digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). MK mencatat setidaknya sudah dua pihak yang mengajukan permohonan uji undang-undang yang ditolak sejumlah elemen dari buruh hingga ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah.
“Kemarin ada 2 permohonan diajukan," kata Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (13/10/2020).
Dalam laman mkri.id yang diakses Tirto, Selasa (13/10/2020), setidaknya ada dua permohonan sengketa tentang UU Cipta Kerja. Pertama adalah Pengujian Materiil Undang-Undang Cipta Kerja terhadap UUD 1945. Permohonan ini tercatat dengan nomor APPP Nomor: 2034/PAN-PUU.MK/2020. Gugatan disampaikan oleh Dewa Putu Reza dan Ayu Putri dengan kuasa pemohon Zico Leonard.
Dalam dokumen permohonan yang diunggah di MK [PDF], Dewa dan Ayu memohon penghapusan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu sehingga hilangnya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pekerja; penghapusan ketentuan minimal dalam pemberian pesangon dan uang penghargaan; serta penghapusan ketentuan istirahat mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja dan jam lembur yang diperbanyak sehingga menambah beban kerja.
Oleh karena itu, pemohon meminta Pasal 59, Pasal 156 ayat (2), Pasal 156 ayat (3), Pasal 79 ayat 2 huruf b, dan Pasal 78 ayat 1 huruf b pada bagian kedua Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan mengikat.
Sementara itu, permohonan kedua disampaikan oleh Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja (FSP) Singaperbangsa yang diwakili oleh Deni Sunarya selaku Ketua Umum dan Muhammad Hafidz selaku Sekretaris Umum. Seperti Dewa dan Ayu, permohonan dengan nomor 2035/PAN-PUU.MK/2020 ini juga menggugat secara formil UU Cipta Kerja.
Dalam dokumen permohonan yang diunggah di laman MK [PDF], FSP Singaperbangsa menyoalkan sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja di klaster ketenagakerjaan seperti Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengatur ulang Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Kemudian Pasal 81 angka 19 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 65 UU Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Mereka juga menyoal Pasal 88D ayat 2 dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D ayat 2 UUD 1945. Lalu mereka juga menyoal Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.
Dalam petitum, FSP Singaperbangsa memohon agar Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 29 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemohon meminta frasa "atau" dalam Pasal 88D ayat 2 dalam Pasal 81 angka 25 bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon meminta frasa "paling banyak" dalam Pasal 156 ayat 2 dan ayat 3 dalam Pasal 81 angka 44 bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian Pasal 156 ayat 4 dalam pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz