Menuju konten utama
Soal Penculikan Aktivis 1998

Meski Sembunyikan Kejahatan Penculikan, Agum Belum Bisa Kena Pidana

Kejaksaan Agung dan Komnas HAM mesti proaktif memanggil Agum Gumelar untuk diminta keterangan dalam berita acara terkait kasus penculikan aktivis 1998.

Meski Sembunyikan Kejahatan Penculikan, Agum Belum Bisa Kena Pidana
Ketua Umum DPP Pepabri Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar menyampaikan keterangan kepada wartawan usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (25/7). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Klaim Agum Gumelar yang mengaku dirinya mengetahui nasib para aktivis 1998 yang disebut dihilangkan secara paksa oleh Tim Mawar Kopassus menuai polemik. Sebab, pernyataan Agum yang menyimpan informasi penting soal pelanggaran HAM masa lalu itu baru diungkap jelang Pilpres 2019.

Padahal, informasi tersebut sangat penting untuk menguak kasus penculikan aktivis yang setiap jelang pemilu selalu "digoreng". Karena itu, sejumlah aktivis HAM mendorong agar Agum melaporkannya ke Komnas HAM.

“Baiknya Agum Gumelar segera datang ke Komnas HAM sebagai penyelidik kasus ini. Agum dapat memberikan keterangan langsung ke Komnas HAM,” kata Koordinator KontraS Yati Andriyani saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (12/3/2019).

Sebab, jika Agum hanya melontarkan informasi itu ke media, maka hanya akan memunculkan bermacam spekulasi. Mantan Danjen Kopassus itu bahkan bisa disebut menyembunyikan kejahatan karena tidak melaporkannya ke institusi yang menangani kasus itu.

Apakah Agum Gumelar dapat didelik pidana karena menyembunyikan kejahatan?

Ahli hukum acara pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan potensi pelanggaran atau tidak seseorang menyimpan informasi merupakan kewenangan penegak hukum.

Akan tetapi, kata Hibnu, terkait klaim Agum itu, ia belum melihat adanya pelanggaran hukum akibat menyimpan informasi. Apalagi, kasus ini belum masuk penyidikan.

“Saya kira itu belum ke sana [pelanggaran hukum karena menyimpan informasi]. Itu baru informasi, artinya informasi-informasi itu dijadikan jalan pembuka kasus-kasus yang dulu. Itu saja dulu. Kita enggak usah sampai [masuk ke] bukti benar atau tidak benar,” kata Hibnu.

Di sisi lain, kata Hibnu, penetapan ada risiko delik pidana atau tidak juga perlu melihat apakah perkara tersebut masuk ranah hukum atau tidak. Mereka juga harus melihat apakah perkara penculikan dan kasus HAM masa lalu itu sudah masuk ranah pro-justitia atau belum.

Hibnu justru menilai pernyataan Agum seharusnya menjadi pemantik bagi aparat penegak hukum proaktif menyelesaikan kasus HAM masa lalu itu.

“Kalau sudah masuk proses [hukum] itu masalah, tapi kalau belum, ya belum. Makanya kita harus melihatnya arah proses mengungkap kasus-kasus masa lampau, segi positifnya di situ,” kata Hibnu.

Sementara itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengatakan penegak hukum semestinya menindaklanjuti informasi yang diungkap Agum.

Menurut dia, Kejaksaan Agung dan Komnas HAM mesti proaktif memanggil Agum untuk diminta keterangan dalam berita acara. Menurut Erasmus, Agum yang mengaku mengetahui masalah ini harus kooperatif.

Sebab, kata Erasmus, jika tidak kooperatif, maka Agum bisa dijerat pidana. “Kalau dipanggil, dia tahu, tapi enggak mau jujur bisa pidana,” kata Erasmus saat dihubungi reporter Tirto.

Erasmus menerangkan, Kejaksaan Agung atau Komnas HAM harus memanggil Agum terlebih dahulu. Jika tidak hadir, kata Erasmus, maka Agum bisa dijerat Pasal 165 KUHP, yakni ancaman pidana bagi orang yang tidak mau memberi tahu bagi mereka yang mau melakukan penculikan dan pembunuhan.

Menurut Erasmus, Agum bisa juga dijerat Pasal 221 KUHP bila tidak memenuhi panggilan. Agum pun, kata Erasmus, bisa dikenakan Pasal 242 KUHP bila memberikan keterangan tidak benar.

Namun, kata Erasmus, semua itu baru berlaku bila Kejaksaan Agung atau Komnas HAM memanggil Agum dan menuangkan dalam berita acara. “Yang harus dilakukan awal Komnas HAM dan Kejaksaan Agung manggil dulu,” kata Erasmus.

Hal senada diungkapkan Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, apabila Agum benar-benar mengetahui fakta tempat aktivis 98 dibunuh dan dibuang, maka dari sisi hukum ia bisa terkena delik menyembunyikan kejahatan.

“Seharusnya dengan kedudukannya di pihak penguasa saat ini bisa mengungkapkan peristiwa itu,” ujar Fickar.

Fickar menambahkan, persepsi Agum ini bisa menimbulkan atau meredam masalah politik sesuai kebutuhan. "Dasar pikirannya itu politis, hanya dijadikan faktor untuk menghambat orang lain,” kata dia.

Namun demikian, Fickar menegaskan, Agum bisa dijerat sesuai Pasal 221 KUHP. Pasal itu mengatur perihal hukuman pidana seseorang yang menyembunyikan pelaku kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan. Sayangnya, status kasus ini masih penyelidikan.

Respons Komnas HAM

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara berharap Agum tak hanya menjadikan kasus hilangnya aktivis untuk kepentingan politik semata. Beka menyarankan agar Agum melapor atau memberi keterangan kepada Kejaksaan Agung.

Hal ini, kata Beka, karena berkas penyelidikan Komnas HAM sudah diserahkan pada Kejaksaan Agung. Menurut dia, bila memang ada informasi baru, maka seharusnya langsung disampaikan daripada hanya membangun harapan kosong di media.

“Siapa pun yang punya informasi baru mengenai peristiwa itu silakan laporkan kepada Kejaksaan Agung," kata Beka saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Sebab, kata Beka, Indonesia adalah negara hukum. Artinya, jika memang Agum mengetahui dan berniat menyelesaikan masalah, maka seharusnya tidak perlu berkoar-koar di media menjelang Pilpres 2019.

“Supaya tidak melebar menjadi politisasi, maka langsung saja berikan keterangan resmi. Karena ini menyangkut keluarga dan korban itu sendiri,” kata Beka.

Baca juga artikel terkait PENCULIKAN AKTIVIS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher, Felix Nathaniel & Adi Briantika
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz