tirto.id - “Tuhan sudah memberikan saya pekerjaan, saatnya saya memberikan yang terbaik.”
Obrolan yang merayap di udara, kepulan asap rokok, dan riuh gelak tawa, atmosfer lumrah yang kita dapati di kedai-kedai kopi umum—yang kini tengah menjamur di Jakarta—tak terasa ketika saya menyambangi Sunyi House of Coffee and Hope. Seperti namanya, Sunyi, menjelma keriuhan yang hanya tertangkap mata, tanpa dirasakan telinga.
Sibty Hasan, 22 tahun, cekatan meracik Kopi Susu Sunyi yang baru saja saya pesan di meja kasir. Di sebelahnya, Siti, rekannya ikut membantu menyiapkan kopi dari pesanan-pesanan yang lain.
Malam itu, Sunyi sibuk sekali. Hampir tak ada tempat duduk yang tersisa untuk saya yang baru datang pukul delapan malam. Saya kemudian mengambil sebuah bangku di tengah kedai, menunggu pesanan sambil mengedarkan pandangan.
Ada sepasang kekasih sedang bersenda gurau di depan saya, mereka saling melempar senyum kasmaran, si perempuan memukul manja saat lelakinya berbincang lewat isyarat tangan. Mereka lalu mengambil gambar bersama tanpa aba-aba hitungan angka dan pulang bergandeng tangan. Intim tanpa suara.
Sekitar 15 menit, segelas kopi susu dingin siap tersaji di meja saya. Sibty, pembawa cangkir itu, mempersilakan saya menikmati kopi dengan isyarat membuka telapak tangan. Saya membalasnya dengan gerakan menempelkan tangan di dagu, yang berarti ucapan terima kasih dalam bahasa isyarat.
“Nama saya Sibty, tapi biasa dipanggil [kedua telunjuk memegang pipi] karena punya lesung pipi.”
Saya dan Sibty akhirnya sempat juga mengobrol setelah menunggu pesanan mereda di pukul sembilan malam. Jam operasional Sunyi memang akan berakhir satu jam lagi, karenanya saya buru-buru mengajak dia untuk bercerita soal pengalaman barunya bekerja sebagai peracik kopi.
Sebelum bekerja di Sunyi, Sibty pernah menjajal kerja sebagai admin di dua toko ritel berbeda. Dua tahun ia habiskan untuk mengurus inventaris barang, menghitung pemasukan, dan penjualan harian. Meski sudah lebih lama bekerja di sana, Sibty tak pernah kerasan. Banyak hal yang membuat ia merasa terkucil dan dimanfaatkan.
Dalam sehari, ia bisa bekerja hingga 12 jam. Tak ada yang membantu untuk beradaptasi, Sibty melakukan semua pekerjaannya secara otodidak. Tak ada teman mengobrol, karena semua rekannya berbicara, dan terlalu enggan untuk mencoba memahami bahasa isyarat. Di tempatnya bekerja dulu, Sibty merasakan sunyi yang sebenarnya.
“Saya pernah minta tolong bos, tapi dia tidak paham karena saya tuli. Akhirnya, saya dibiarkan sendirian,” matanya mulai berkaca-kaca. “Di luar sana, ruang kerja disabilitas sungguh memprihatinkan.”
Diskriminasi terhadap Pekerja Difabel
Atasan Sibty di tempat kerja lama pernah memintanya kembali bekerja di sana. Namun, pria kelahiran Pandeglang itu menolak. Tiga bulan lalu, ia baru saja mendapat tawaran pekerjaan dari lamaran yang ia unggah di aplikasi pencari kerja disabilitas. Sibty tak pernah tahu bedanya robusta atau arabika, ia juga cuma bisa menyeduh kopi dengan air termos, sampai kemudian diterima di Sunyi.
“Saya memang cari karyawan yang punya kemauan dan semangat keras. Enggak perlu punya pengalaman,” Mario Gultom, penggagas sekaligus salah satu pemilik Sunyi ikut nimbrung dalam obrolan kami.
Konsep Sunyi sudah ada dalam impian Mario sejak 2016. Namun, angan membangun bisnis yang mengusung kesetaraan itu harus tertunda tiga tahun lamanya, karena dapat banyak penolakan dari calon investor. Kebanyakan dari mereka memilih bisnis yang aman dan umum, tanpa harus repot mempekerjakan difabel. Namun, nyatanya, saat diberi pelatihan, yang seharusnya berjalan enam bulan, para pekerja Sunyi hanya butuh waktu selama 1-2 bulan untuk bisa menjadi mahir.
“Saat istirahat, mereka tetap di dapur. Katanya tanggung, masih ada yang kurang dan harus dipelajari. Talenta mereka luar biasa.”
Di dunia kerja, difabel memang kerap mendapat diskriminasi, bahkan sebelum mereka mendapatkan pekerjaan. Pelamar kerja difabel seringkali tersingkir dan kalah peluang dengan pelamar umum. Jika diterima dalam bidang pekerjaan umum pun, mereka jamak dikucilkan atau dipandang rendah, seperti yang pernah dialami Sibty.
Studi mengenai diskriminasi difabel di wilayah kerja pernah diterbitkan oleh Jurnal Disability & Society (2015). Sebagai gambaran, di Australia, wilayah yang termasuk negara maju dan masyarakatnya lebih berpikiran terbuka, ternyata difabelnya pun masih mendapat diskriminasi. Mereka yang paling sering mendapat perlakuan buruk adalah individu dengan gangguan daksa, yakni sebesar 39,22 persen.
Disusul kemudian individu dengan gangguan kejiwaan 10,16 persen, netra 14,78 persen, tuli 8,88 persen, gangguan kognitif atau autisme 6,57 persen, gangguan pernapasan 2,46 persen, HIV/Hepatitis C 2,05 persen, dan lain-lain 15,91 persen. Alasan para pemberi kerja enggan memfasilitasi mereka diutarakan dalam studi lain oleh H. Stephen Kaye, dkk (2011).
“Kurang pemahaman soal isu disabilitas, khawatir biaya lebih untuk memodifikasi alat-alat kerja, fasilitas, dan takut terhadap tanggung jawab hukum khusus,” tulis peneliti.
Impian Mario membangun Sunyi baru terwujud pada 3 April 2019 kemarin saat bertemu Almas Nizar. Ia adalah teman kuliah Mario, seorang pecinta kopi dengan hati dan visi yang sama: membangun jembatan kesetaraan bagi difabel. Singkatnya, Sunyi sukses membuktikan bahwa pekerja difabel memiliki potensi setara, bahkan melampaui pekerja umum lainnya.
“Mulanya memang khawatir karena konsep kita sensitif dan tidak umum. Tapi respons masyarakat sungguh luar biasa, sekarang dalam sehari ada sekitar 200-300 orang yang datang berkunjung,” ungkap Mario.
Setiap hari, Sunyi menyediakan konsumsi untuk para pekerjanya. Jam kerja mereka dibagi menjadi dua sesi setiap delapan jam. Fasilitasnya pun ramah bagi difabel, dengan kursi dan meja yang bisa diangkat, tenji blocks, dan jalan tanpa undakan. Meja dan kursi di sini juga sengaja didesain bulat untuk memudahkan teman tuli ngobrol berhadapan.
Mario percaya bahwa pekerja adalah sumber daya dan investasi berharga yang harus ia rawat. Yang jelas, Sunyi berhasil hadir dengan mengusung napas kesetaraan tanpa eksploitasi bagi difabel di dunia kerja. Kemewahan kecil yang teramat jarang mereka nikmati, hingga Sibty menyebut Sunyi sebagai keluarga, rumah kedua yang ia banggakan.
“Di Sunyi, banyak teman difabel, pengunjung juga hormat sama kita dan mau pakai bahasa isyarat. Enak banget kerja bareng mereka, menyenangkan.”
Editor: Maulida Sri Handayani