Menuju konten utama

Merunut Aksi Massa Geruduk Festival Kuliner Nonhalal di Solo

Perbedaan yang ada di Indonesia seharusnya tidak perlu menjadi hal yang patut dipermasalahkan.

Merunut Aksi Massa Geruduk Festival Kuliner Nonhalal di Solo
Ormas Islam datangi Mal Solo Paragon di Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (12/2/2025). ANTARA/Aris Wasita

tirto.id - Organisasi masyarakat (ormas) Aliansi Umat Islam Solo (AUIS) mendatangi gelaran festival kuliner Cap Go Meh di Solo Paragon Mall, Rabu (12/2/25). Festival kuliner yang diselenggarakan pada 12-16 Februari 2025 ini menghadirkan makanan halal dan non halal dari berbagai daerah di Indonesia.

Massa yang didampingi oleh Kapolresta Solo, Kombes Pol Catur Cahyono Wibowo; Dandim 0735 Solo, Letkol Inf Eko Hardianto; serta Walikota Solo, Teguh Prakosa tersebut kemudian mengelilingi atrium Solo Paragon Mall yang menjadi lokasi festival kuliner untuk mengecek apakah pihak penyelenggara menampilkan kuliner halal dan non halal dalam satu area.

Setelah melakukan pengecekan, koordinator massa, Soleh, menyampaikan kepada anggotanya bahwa tidak ada makanan non halal di dalam atrium Solo Paragon Mall. Meskipun demikian, ia menyebut pihaknya akan terus memantau jalannya festival kuliner tersebut.

“Kami sampaikan di dalam steril. Tadi saya sempat tanya kepada salah satu perwira kepolisian bahwa ini sudah sesuai dengan kesepakatan yang dipimpin oleh Kemenag dan MUI,” kata Soleh, Rabu (12/2/25) seperti dikutip dari Antara.

“Kami tetap pantau karena tadi ada penjelasan yang (kuliner) non halal digelar di area parkir atau di luar. Kami umat Islam tidak akan tinggal diam, sebagai makhluk sosial yang sangat mencintai Solo, kami ingin situasi tetap kondusif,” sambungnya.

Sebelumnya, Ketua Satpol PP Kota Solo Didik Anggono mengonfirmasi telah menerima audiensi dengan ormas tersebut terkait penolakan festival kuliner cap go meh tersebut.

“Mereka (ormas) meminta agar event tersebut digelar di tempat sendiri, tidak di fasilitas umum,” kata Didik, Rabu (12/2/25).

Terkait hal ini, Public Relations Solo Paragon Mall, Veronica Lahji, mengatakan 19 dari 45 booth kuliner akan digelar di area parkir mall. Kemudian, pada hari kedua festival kuliner, yakni Kamis (13/2/25), pihak penyelenggara festival telah memisahkan stan atau lokasi kuliner halal dan non halal.

Untuk kuliner halal, penyelenggara menggelar di atrium Solo Paragon, sedangkan untuk kuliner non halal digelar di parkiran lobi Solo Paragon, lengkap dengan tenda tertutup dan pengawasan security.

“Yang dipermasalahkan karena mungkin dalam satu area, walaupun sebenarnya kami sudah memberikan koridor-koridor yang dilaksanakan berkaca dari tahun kemarin,” terang Veronica, Rabu (12/2/25).

“Kami mengacu penuh pada perizinan, kalau diizinkan kami berjalan. Kalau memang tidak diizinkan, kami juga tidak akan berjalan,” imbuhnya.

Kejadian ini bukan kali pertama terjadi. Pada 3-7 Juli 2024 lalu, Solo Paragon Mall juga menggelar festival kuliner non halal yang diikuti 34 peserta dari berbagai daerah di Indonesia.

Saat itu, festival kuliner tersebut terpaksa ditutup sementara di hari pertama setelah ormas Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) melayangkan protes atas festival tersebut. Dewan Syariah Kota Surakarta ketika itu menyebut bahwa publikasi acara festival terlalu masif dan vulgar. Festival hanya ditutup sehari dan diperbolehkan untuk buka kembali pada Kamis (4/7/24).

Sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta, Drajat Tri Kartono, menjelaskan Indonesia sebagai bangsa baru yang memiliki keberagaman namun dapat disatukan dengan ideologi Pancasila. Karenanya, perbedaan yang ada di Indonesia seharusnya tidak perlu menjadi hal yang patut dipermasalahkan, terutama jika tidak ada unsur paksaan di dalamnya.

“Indonesia dan karakternya berada di dalam ideologi Pancasila. Mestinya karakter, sifat keanekaragaman, pluralisme itu menjadi nilai pola hidup yang dipertahankan di situ. Kalau ada perbedaan, selama itu tidak ada paksaan itu seharusnya tidak jadi permasalahan,” kata Drajat saat dihubungi Tirto, Jumat (14/2/25).

“Karena kita mengakui perbedaan. Kan makanan nggak halal bagi islam, tapi halal bagi non islam. Selama tidak dipaksakan untuk makan, ya, itu kan pilihan. Itu semestinya tidak apa-apa,” imbuhnya.

Tindakan ormas yang mendatangi dan meninjau festival kuliner tersebut, menurut Drajat didasarkan pada dua hal. Pertama, ormas tersebut hanya untuk melihat setting dan bagaimana penawaran yang dilakukan, apakah ada unsur ajakan atau paksaan di sana.

“Mungkin mereka datang untuk melihat setting-nya memaksakan atau tidak. Kalau jauh lebih dari itu hingga merusak, membongkar, mengancam itu yang harus diperhatikan aparat penegak hukum,” ujar Drajat.

Faktor kedua adalah karena adanya pemikiran bahwa makanan yang harus ditawarkan adalah halal food karena tak dapat dipungkiri bahwa nilai Islam menjadi nilai yang dominan di Indonesia.

“Islam sebagai nilai dominan, jadi mereka merasa bahwa ini harus dijaga diperhatikan supaya tidak memengaruhi,” jelasnya.

Yang menjadi permasalahan hingga dapat memicu konflik adalah jika ormas-ormas tersebut memaksakan untuk tidak boleh menampilkan makanan non halal. Menurut Drajat, ini tidak sesuai dengan ideologi Indonesia yang menjunjung kebhinekaan.

“Harus kembali pada sifat ideologi bangsa Indonesia yang memang kita mengakui kita bangsa yang berbeda harus kembali ke situ,” kata Drajat.

Drajat lantas menambahkan, untuk menghindari konflik horizontal, perlu adanya penegakan hukum dan kontrol masyarakat, terutama antar agama perlu membangun komunikasi mengenai isu-isu seperti makanan, pakaian, hingga pergaulan sehari-hari.

“Kenyataan yang terpola bahwa kita masyarakat yang majemuk yang harus ditanggapi dengan majemuk,” pungkas Drajat.

Baca juga artikel terkait CAP GO MEH atau tulisan lainnya dari Adisti Daniella Maheswari

tirto.id - News
Kontributor: Adisti Daniella Maheswari
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Anggun P Situmorang