tirto.id - Demi menyemarakkan perayaan tahun baru imlek, masyarakat keturunan Tionghoa di Jalan H. Bona, Kelurahan Limo, Depok, Jawa Barat menghias gapura permukiman mereka. Di dinding gapura bertengger dua buah gambar naga dan lampion.
Warna merah, kuning, dan emas khas Tionghoa mendominasi struktur bangunan gapura. Atap gapura berwarna beda, kombinasi hijau dan kuning—warna yang identik dengan kebudayaan Betawi.
Sejurus dengan akses masuk, lampion-lampion merah bergantungan secara rapi. Tembok-tembok berhiaskan mural dengan tema imlek. Semua hasil kerja kreatif remaja di sana. Dengan uang hasil urunan warga.
“Suasananya jadi ceria,” ujar Thio Engkai (70 tahun), salah seorang sesepuh lokal kepada saya di rumahnya, Senin (31/1/2022).
Apalagi jika dibandingkan dengan perayaan imlek ketika ia muda. Masyarakat Tionghoa merayakan imlek secara senyap, imbas dari terbitnya Inpres Nomor 14/1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina oleh Presiden Soeharto.
Pelarangan tersebut mulai batal melalui Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang diterbitkan Presiden Habibie. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi juru selamat kelompok Tionghoa dengan menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2000. Dan Presiden Megawati Soekarnoputri menjadikan imlek sebagai hari libur nasional melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
Bahkan Engkai terpaksa memiliki nama Indonesia, Herman. Imbas dari program asimilasi paksa rezim Orde Baru melalui Keputusan Presiden Nomor 240 tahun 1967 tentang Kebidjakansanaan Pokok Jang Menjangkut Warga Keturunan Asing.
Meski merayakan imlek dalam senyap, menurut Engkai, perayaan imlek ketika itu tak sepenuhnya berisi lara.
Selain sembahyang, imlek di masa muda Engkai berisi kegiatan makan-makan besar, ngetok atau judi, tari Jaipongan dan Cokek, dan iringan gambang keromong.
“Hura-hura. Namanya setahun sekali,” ujarnya.
Namun semua itu, khususnya judi, sudah lama ditinggalkan. Warga Tionghoa Limo juga tidak lagi membuat dodol cina atau kue keranjang. Mereka membelinya dari penjual yang tersebar di Parung, Tangerang, dan Jakarta.
Engkai masih bisa membuat dodol. Tapi ia tak punya lagi waktu dan energi melakukannya. Tak mudah membuat dodol. Butuh orang banyak dengan durasi produksi berhari-hari. Kata Engkai, minimal bisa 3 hari 3 malam. Maksimal seminggu.
Terakhir ia membikin dodol, ketika orangtuanya masih hidup. Entah itu berlangsung kapan, Engkai lupa.
“Bikin dodol mesti ditungguin, apinya kagak boleh mati. Tuh kue kan tebel, kalau apinya mati, kagak mateng dalemnya. Ngaduknya aja butuh 3 orang, sendiri mana bisa,” ujar kakek 9 cucu itu.
Perayaan imlek kali ini lebih sederhana: sembahyang dan bertukar makanan dengan famili. Engkai dan warga lainnya di RW 005 baru saja melakukan ritual membakar hio dan kertas. Untuk menghormati arwah para orangtua yang telah meninggalkan dunia.
Dari Pondok Cina
Engkai tidak tahu detail, sebab terdapat keluarga Tionghoa di Kelurahan Limo. Sejauh ia tahu, semua ini telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Ayah dan kakek Engkai juga lahir dan besar di Kampung Limo.
Ia hanya mengingat, semua ini berasal dari masyarakat Tionghoa yang bermukim di wilayah Pondok Cina, Depok.
“Kakek [leluhur] kita nih ada di Pondok Cina. Terus kenal dan dapet orang sini, kawin, kembang biak di sini. Terus merintis,” kata Engkai.
Nama Pondok Cina sudah ada dalam peta abad ke-17. Dikenal sebagai wilayah dagang dan permukiman para saudagar dari Tionghoa. Seorang saudagar VOC, Cornelis Chastelein bahkan pernah membeli sebidang tanah di Depok dari tuan tanah Tionghoa bernama Tio Tiong Ko.
“Asalnya kakek saya orang dari Cina. Cuma kita bener cina, tapi kita kagak bisa bahasa Cina,” ujarnya.
Saat ini, menurut Engkai, jumlah masyarakat Tionghoa di Kelurahan Limo berkisar 49 kepala keluarga. Seiring berjalannya waktu, banyak dari mereka yang menetap di luar Limo. Rerata berada ke daerah yang tak terlalu jauh dari bijana: Pulo Mangga, Cinere, Kukusan, Mampang, dan Pondok Cina.
Engkai dan anak-cucunya masih bertahan di Limo.
“Enak udah tinggal di sini. Kalau pindah, setahun belum tentu namanya enak,” ujarnya.
Kober Keluarga
Berjarak 200 meter dari rumah Engkai, terdapat kober. Di atas gapura kober tertulis, Makam Keluarga Tionghoa. Thio Ayong (75 tahun) menjadi penasihat bagi para pengurus kober. Ketua pengurusnya, Engkai.
Kober berada di atas lahan berbukit dengan luas kurang lebih 3000 meter persegi. Banyak bonpai atau nisan megah dan mewah di sana. Banyak bonpai yang terkesan berusia bulanan hingga tahunan.
Tidak sembarang orang boleh bersemayam di sana. Hanya warga Tionghoa Limo dan keturunannya yang boleh.
“Seandainya ada anak yang kagak lagi tinggal di sini [Limo] tapi orangtuanya orang sini. Kalau dia meninggal, boleh dimakamin di sini,” kata Ayong atau Mukri kepada saya di rumahnya, Senin (31/1/2022).
Hal tersebut sudah menjadi ketentuan tak tertulis yang berlaku bagi warga Tionghoa di Limo. Sebab dulu, pada masa yang Ayong lupa detailnya, masyarakat Tionghoa tak punya banyak lahan. Ketika salah satu dari mereka meninggal dunia, mereka dikubur di kebun-kebun.
Seorang tokoh terhormat bernama Mpe Kincu dan bersama belasan warga lainnya, termasuk ayah dari Ayong, mencari-cari lahan kosong untuk kober. Mereka pergi ke Pondok Cina menemui seorang tuan tanah bernama Liem Swi Liong. Tuan tanah itu memberikan lahan miliknya untuk dijadikan kober.
“Makam-makam yang tersebar di mana-mana, yang di Krukut, yang di kebun, di angkat karena kita udah dapet tanah,” kata Ayong.
Hingga kini kober tersebut menjadi khusus keluarga Tionghoa dari beragam marga yang ada di Limo.
Engkai mengepalai lima anak buah. Dua anak buah menjadi pelaksana lapangan. Siapapun yang hendak menguburkan jasad keluarga akan mendatangi Engkai. Bukan saja untuk urusan administratif dan teknis pengebumian. Engkai yang menentukan waktu baik.
Waktu yang baik, semisal, 3 bulan usai perayaan imlek. Menjelang Cheng Beng atau ziarah kubur dalam ajaran Khong Hu Cu. Atau usai Cap Go Meh.
Engkai tidak paham musabab terbentuknya aturan seperti itu.
“Kita cuma penerus, cuma ikut-ikutan. Kalau kakek-kakek kita tahu. Cuma kita ikutin aja, jangan sampe kesalahan,” tuturnya.
Keyakinan Majemuk
Meski mereka berasal dari keluarga Tionghoa dan mayoritas memeluk agama Khonghucu. Dalam perkembangannya, tak sedikit dari mereka beralih ke agama lain. Ayong menjadi penganut Kristen.
Lima tahun dari pernikahannya, Ayong memutuskan memeluk Kristen dari Khonghucu. Keinginan tersebut bersumber dari kehendak pribadi. Ayong merasa beruntung karena pihak keluarga besarnya tak mempermasalahkan keputusannya. Bahkan 2 dari 5 anak Ayong, memeluk Islam.
“Terserah saja, yang penting jalanin sesuai aturan agamanya,” ujar Ayong. “Agama itu kan, mengajak boleh. Tapi tidak boleh memaksa.”
Dalam keluarga Engkai pun demikian. Engkai dan istri masih memeluk Khonghucu. Namun mereka memiliki anak-anak yang telah beragama Islam dan Kristen. Semua itu tak pernah menjadi persoalan.
Baik Ayong dan Engkai, menyadari agama adalah hal yang sangat personal. Sebagai makhluk sosial, perangai menjadi hal yang utama dalam kehidupan bermasyarakat.
“Yang penting saling menghargai,” kata Engkai.
“Kalau elu masih mau ketemu gua. Hiduplah berwarga,” timpal Engkai.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz