Menuju konten utama
6 Mei 2003

Merajai Komedi Layar Perak, Ateng Memang Ditakdirkan Lucu

Maestro lawak.
Legenda layar perak
bertubuh kocak.

Merajai Komedi Layar Perak, Ateng Memang Ditakdirkan Lucu
Ilustrasi Andreas Leo Ateng Suripto (1942-2003). tirto/Sabit.

tirto.id - Kho Tjeng Lie lahir di Semplak, Bogor, pada 8 Agustus 1942. Ia anak kedua dari sembilan bersaudara. Sejak SD sampai SMA bersekolah di Taman Siswa. Tahun 1950-an, lembaga pendidikan itu mempunyai pamong atau guru legendaris, yaitu Mohammad Said Reksohadiprojo, yang biasa dipanggil Pak Said: guru para seniman belia yang menjadikan Taman Siswa Jakarta sebagai tempat istimewa bagi murid-muridnya.

Jika di sekolah ada perayaan, bersama Benyamin Sueb, Kho Tjeng Lie yang bertubuh boncel dan murah senyum itu tampil menghibur rekan-rekannya. Sekali waktu, ia diperkenalkan Pak Said kepada Pak Kasur, tokoh pendidik yang selalu berhasil memikat hati anak-anak.

Tak lama setelah perkenalan itu, tepatnya tahun 1958, Kho Tjeng Lie pun masuk Sanggar Pak Kasur dan ikut siaran Panggung Gembira di Studio V Radio Republik Indonesia (RRI). Tiga tahun kemudian, ia ikut bermain dalam film Kuntilanak (1961) garapan sutradara Kurnaen Suhardiman.

Kho Tjeng Lie pandai membuat orang tertawa. Dalam dirinya, ada sosok pelawak yang tengah tumbuh. Tokoh ini lebih dikenal dengan nama Ateng, atau lengkapnya Andreas Leo Ateng Suripto.

Di RRI, Ateng berkenalan dengan pelawak Dori, Alwi, dan Bing Slamet. Mereka kemudian membentuk kelompok lawak bernama Tos Kejeblos yang aktif dari 1961 sampai 1963. Setelah itu, Ateng bergabung dengan S. Bagyo dan Iskak. Ketiga orang ini membentuk grup bernama Ateng-Bagyo-Iskak yang bertahan sampai 1967.

Meski pandai melawak, Ateng sempat bercita-cita menjadi seorang diplomat. Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) menerangkan bahwa mula-mula Ateng mencoba masuk Akademi Hukum Militer yang beralamat di Lapangan Banteng, tapi ditolak karena tubuhnya terlampau pendek. Akhinya ia memilih masuk ke Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik di Universitas Nasional dan mengikuti kuliah sampai tingkat III.

Dorongan untuk menjadi pelawak rupanya lebih besar ketimbang menjadi diplomat. Setahun setelah grup Ateng-Bagyo-Iskak bubar, ia bersama Bing Slamet, Eddy Sud, dan Iskak, mendirikan kelompok lawak Kwartet Kita. Atas usul Ali Sadikin, Gubernur Jakarta saat itu, Kwartet Kita berganti nama menjadi Kwartet Jayakarta yang kemudian disingkat menjadi Kwartet Jaya.

Popularitas Kwatet Jaya seminau sehingga menarik minat para pembuat film untuk mengangkat mereka ke layar perak. Meski mereka bermain bersama, tapi para produser lebih menjagokan Bing Slamet untuk dijadikan sebagai judul film. Maklum seniman itu serba bisa. Asriat Ginting dan kawan-kawan dalam Musisiku (2007) menyebut Bing Slamet sebagai “Sosok seniman komplet. Terampil bermain gitar, berbekal suara emas. Piawai menyusun komposisi musik dan ligat dalam seni peran, termasuk melawak.”

Maka sejumlah film yang dibintangi Kwartet Jaya pun selalu diawali dengan nama Bing Slamet. Di antaranya Bing Slamet Setan Djalanan (1972), Bing Slamet Dukun Palsu (1973), Bing Slamet Sibuk (1973), dan Bing Slamet Koboi Cengeng (1974).

Bing Slamet Hilang, Kwartet Jaya Bimbang

17 Desember 1974, hayat Bing Slamet berakhir. Kepergiannya membuat Kwartet Jaya bimbang: diteruskan tanpa Bing Slamet atau membubarkan diri. Ateng dan Iskak rupanya memilih yang kedua. Mereka membentuk grup baru.

Saat Eddy Sud sedang di Tokyo untuk urusan film, kabar mundurnya Ateng dan Iskak sampai kepadanya. Setelah kembali ke tanah air, ia segera menemui kedua sahabatnya itu untuk mengkonfirmasi kabar yang kadung beredar.

“Mikir-mikir dulu deh,” ujar Eddy Sud saat ia diminta menandatangani pernyataan bersama yang disodorkan Ateng dan Iskak. Ia menginginkan Kwartet Jaya tetap jalan meski tanpa Bing Slamet. Namun rupanya keputusan kedua kawannya sudah bulat. Maka tanpa dihadiri Eddy Sud, Ateng dan Iskak membuat maklumat di Press Club Jakarta yang menyatakan bahwa mereka telah berpisah dengan grup lawak tersebut.

“Saya dan Iskak tetap sahabat Eddy, eh, Mas Eddy,” ujar Ateng.

Penyebab perpecahan itu tak diketahui pasti. Namun Ateng sempat berkata bahwa di dunia lawak perpecahan biasanya karena uang dan wanita. Selain itu, sesaat setelah Ateng dan Iskak menyatakan mengundurkan diri, mereka berujar, “Kami ingin punya usaha sendiri.”

Jelang pengujung 1975, Kwartet Jaya pun bubar.

Layar Ateng Terkembang

Bing Slamet memang sosok kunci Kwartet Jaya. “Pelawak tiada tara untuk Republik ini,” ujar Atmonadi, pelawak kelahiran Yogyakarta 1918. Namun saat Bing Slamet terbaring sakit, Kwartet Jaya tetap mencoba menampilkan yang terbaik bagi penonton, termasuk Ateng yang namanya terus menanjak.

Sepeninggal Bing Slamet yang kerap dijagokan para pembuat film sebagai judul, kini giliran Ateng yang tampil. Dari 1974 sampai 1977, nama Ateng menghiasi sejumlah judul film komedi yang berhasil menyedot minat penonton, di antaranya: Ateng Minta Kawin (1974), Ateng Raja Penyamun (1974), Ateng Mata Keranjang (1975), Ateng Sok Tahu (1976), Ateng Bikin Pusing (1977), Ateng Sok Aksi (1977), dan lain-lain.

Akting dan tampilan fisik Ateng dianggap jenaka. Pelawak mungil berdahi jembar itu mengecap masa jaya film Indonesia. Keberhasilan Ateng dalam sejumlah film juga tak bisa dilepaskan dari para sutradara jempolan seperti Asrul Sani dan Nya Abbas Akup. Nama yang kedua dikenal sebagai Bapak Film Komedi Indonesia yang menghasilkan tak kurang dari 15 film komedi.

“Ia tak hanya menampilkan humor semata, namun juga bentuk representasi keadaan sosial masyarakat pada zamannya. Ia menerapkan salah satu fungsi film, yaitu sebagai arsip sosial yang dapat menangkap jiwa zaman atau zeitgeist masyarakat saat itu atau dengan kata lain film hadir sebagai manifestasi yang jujur dari apa yang tengah bergejala di masyarakat,” tulis Wanti Hidayah (PDF) tentang Nya Abbas Akup dalam skripsinya di Prodi Ilmu Sejarah FIB UI.

Ateng mendapat penghargaan Antemas pada Festival Film Indonesia lewat film Ateng Mata Keranjang (1975). Sampai akhir 1970-an, selain bermain di film yang berjudul namanya, Ateng juga membintangi sejumlah film lain seperti Dang Ding Dong (1978), Kisah Cinderela (1978), Si Boneka Kayu (1979), dan Ira Maya dan Kakak Ateng (1979). Kehadiran Ateng membuat layar perak Indonesia benar-benar menjadi panggung jenaka dan gelak tawa.

Memasuki awal 1980-an, karir film Ateng mulai meredup, ia hanya tampil di dua film: Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota (1981) dan Musang Berjanggut (1983). Meski sudah jarang tampil di film, tapi kiprah Ateng belum habis. Sampai 1990-an, ia muncul seminggu sekali di TVRI dalam program Ria Jenaka.

Infografik Mozaik Ateng

Risiko Pelawak

“Dia tidak kan mungkin melakukan pemerasan mental atau teror terhadap juniornya, seperti yang biasa secara tega dilakukan oleh senior terhadap juniornya di berbagai bidang pengabdian seni. Kalau terganggu oleh sesuatu, dia akan berbicara dengan ramah dan sangat hati-hati supaya tidak melukai perasaan lawan bicaranya,” tulis Ilham Bintang mengenai kesannya terhadap sosok Ateng dalam Mengamati Daun-daun Kecil Kehidupan (2007).

Karena sikap seperti itu, tambah Bintang, Ateng sering menjadi tempat bertanya bukan hanya bagi para pelawak baru, tapi juga seniman seangkatannya.

Ateng semula menganggap lawak hanya sebagai selingan, tapi perjalanannya membuktikan bahwa dunia itulah yang kemudian membesarkan, mengharumkan, dan menghidupinya. Bongkar pasang dan perpecahan tentu tak bisa dihindari, termasuk di dunia lawak. Itulah risiko yang mesti ditempuh.

Selain itu, dalam keseharian, pekerjaan mengundang tawa ini pun kemudian kerap melekat pada diri Ateng. Kejadian-kejadin kocak mengiringi hidupnya yang ditakdirkan jenaka.

Sekali waktu dalam sebuah syuting film, Ateng terserang malaria, tapi tak seorang pun menolongnya. Meski sudah memelas, ia tetap dikira tengah pura-pura sakit. Ada pula kisahnya yang lain, yaitu saat ia mabuk laut di kapal. Orang-orang menganggap Ateng sedang melawak dan mereka menertawakannya.

“Pelawak memang pekerjaan yang menanggung banyak risiko,” ujarnya.

Pada 6 Mei 2003, tepat hari ini 15 tahun lalu, Ateng meninggal di Rumah Sakit Mitra Internasional, Jakarta Timur. Jenazahnya dikremasi di Krematorium Nirwana, Cilincing, Jakarta Utara. Selanjutnya, abu jenazah ditaburkan di perairan sekitar Tanjungpriok.

Baca juga artikel terkait PELAWAK atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan