Menuju konten utama

Menyelisik Peran Miryam Haryani di Kasus e-KTP

Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Miryam disebut tidak hanya ikut menerima suap, melainkan juga berperan menjadi perantara suap untuk koleganya di DPR. Akankah Miryam meniru langkah Nazaruddin yang mengajukan status justice collaborator?

Menyelisik Peran Miryam Haryani di Kasus e-KTP
Tersangka kasus dugaan memberi keterangan palsu dalam persidangan KTP-Elektronik Miryam S Haryani menggunakan rompi tahanan KPK dikawal petugas ketika keluar dari Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Senin (1/5) malam. ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan mantan anggota Komisi II dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka karena memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek e-KTP.

Sebelumnya, KPK telah memanggil Miryam untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun, perempuan kelahiran Indramayu, 1 Desember 1973 itu mangkir hingga tiga kali, sehingga komisi antirasuah memasukkannya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mengirimkan surat kepada Polri pada 27 April lalu untuk membantu menangkap Miryam.

Berkat kerja sama tersebut, akhirnya pada Senin (1/5/2017) dini hari, polisi berhasil menangkap Miryam di salah satu hotel, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Setelah menjalani pemeriksaan intensif, KPK akhirnya memutuskan untuk menahan Miryam selama 20 hari.

“Tersangka Miryam S. Haryani dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan di Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di Jakarta, Senin (1/5/2017) seperti dikutip Antara.

Miryam sendiri tidak berkomentar banyak setelah selesai diperiksa KPK. Ia hanya membantah ada pihak yang menyuruhnya kabur sehingga KPK mengirim surat ke Polri untuk memasukkan namanya dalam DPO.

“Enggak, saya liburan sama anak-anak,” kata Miryam yang sudah mengenakan rompi tahanan KPK berwarna oranye saat keluar dari gedung komisi antirasuah.

Peran Miryam di Kasus e-KTP

Miryam mulai menjadi sorotan sejak ia memberikan kesaksian pada sidang ketiga kasus korupsi e-KTP, di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 23 Maret 2017 dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.

Kesaksiannya berbuntut panjang setelah ia mengaku mendapatkan intimidasi dari penyidik KPK saat diminta keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus korupsi e-KTP. Ia pun mencabut semua kesaksiannya di BAP yang telah ditandatangani tersebut. [Baca laporan Tirto: Buntut Panjang Kesaksian Miryam di Kasus e-KTP.]

KPK akhirnya menetapkan Miryam sebagai tersangka dalam kasus dugaan memberikan keterangan palsu terkait korupsi e-KTP, pada 5 April 2017. Atas perbuatannya itu, KPK menjerat Miryam dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah menjadi UU No.20 tahun 2001 tentang UU Tindak Pidana Korupsi. Ia terancam hukuman paling singkat 3 tahun penjara dan maksimal 12 tahun penjara.

“Tersangka MSH diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar di persidangan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah.

Miryam merupakan tersangka keempat yang sudah ditetapkan KPK dalam kasus korupsi e-KTP ini. Tersangka sebelumnya adalah Andi Agustinus alias Andi Narogong dari swasta, dan dua orang sebelumnya yang sudah diproses dalam persidangan sebagai terdakwa, yaitu Irman dan Sugiharto.

Bagaimana peran Miryam dalam kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun ini?

Dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pada persidangan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 9 Maret 2017 lalu disebutkan bahwa Miryam disebut mendapat suap sejumlah 23 ribu dolar AS. Selain itu, ia juga disebut berperan menjadi perantara pemberian uang suap kepada koleganya di DPR RI.

Misalnya, sekitar bulan Mei 2011 setelah Rapat Dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR dengan Kementerian Dalam Negeri, Miryam disebut pernah meminta uang sebesar 100 ribu dolar AS kepada mantan Dirjen Kependudukan Sipil Kemendagri Irman untuk Chairuman Harahap yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR.

Dalam rangka memenuhi permintaan tersebut, Irman memerintahkan Sugiharto untuk menyiapkan uang sebagaimana yang diminta Miryam Haryani. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Sugiharto meminta uang sejumlah 100 ribu dolar AS kepada Achmad Fauzi selaku Direktur PT Quadra Solution yang merupakan anggota konsorsium PNRI.

Permintaan tersebut dipenuhi oleh Achmad Fauzi dengan memberikan uang sejumlah 100 ribu dolar AS kepada Sugiharto melalui Yosep Sumartono, di SPBU Pancoran Jakarta Selatan. Uang tersebut kemudian oleh Sugiharto diberikan kepada Miryam.

Peran Miryam tidak hanya berhenti pada pemberian uang sejumlah 100 ribu dolar AS untuk Chairuman Harahap. Pada kesempatan kedua atau antara bulan Agustus-September 2011, Irman kembali memerintahkan Sugiharto untuk menyediakan uang sejumlah Rp1 miliar.

Sugiharto lalu meminta uang kepada Anang S Sudiharjo, Direktur Utama PT Quadra Solution. Kemudian, Anang memberikan uang tersebut kepada Yosep Sumartono untuk diserahkan kepada Miryam S. Haryani.

Pada kesempatan ketiga, sekitar Agustus 2012, Miryam kembali meminta uang sejumlah Rp5 miliar untuk kepentingan operasional Komisi II DPR. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Irman memerintahkan Sugiharto agar menyiapkan uang sejumlah yang diminta dan langsung diberikan kepada Miryam.

Menindaklanjuti perintah Irman, Sugiharto kemudian meminta uang sejumlah Rp5 miliar kepada Anang S Sudiharjo dan mengarahkan untuk langsung diberikan kepada Miryam. Perintah Sugiharto tersebut kemudian dilaksanakan oleh Anang dengan langsung memberikan uang sejumlah Rp5 miliar kepada Miryam. Sebagian uang yang diberikan kepada Miryam tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada pimpinan dan anggota Komisi II DPR RI secara bertahap.

Sayangnya, semua dakwaan yang dibacakan JPU disangkal oleh Miryam saat menjadi saksi dalam persidangan dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Miryam pun menjawab semua jawaban yang dibacakan dalam dakwaan Irman dan Sugiharto adalah kebohongan semata. Ia bahkan mengaku mendapatkan intimidasi penyidik KPK untuk memenuhi keterangan di BAP saat diperiksa sebagai saksi untuk kasus korupsi e-KTP tersebut.

“Saya diintimidasi Pak Ketua Hakim. Saya mendapat penekanan langsung dari penyidik KPK, yang mulia. Saya ditekan-tekan terus sampai saya takut, Pak Ketua,” kata Miryam, di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 23 Maret 2017 lalu.

Peluang Menjadi Justice Collaborator

KPK telah menahan Miryam sebagai tersangka dalam kasus dugaan memberikan keterangan palsu terkait korupsi e-KTP. Namun, bukan berarti KPK melepas begitu saja keterlibatan dan peran Miryam dalam kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun itu.

Dalam konteks ini, komisi antirasuah tetap akan mengusut tuntas keterlibatannya dalam kasus korupsi e-KTP tersebut. Menurut Febri, proses penyidikan harus terus berjalan karena KPK sudah memeriksa sejumlah saksi dan melakukan pemanggilan terhadap tersangka sebelumnya, namun tidak kunjung datang.

“KPK akan periksa saksi-saksi, termasuk kebutuhan pengembangan perkara, tetapi penyidik fokus terlebih dahulu pada tersangka yang sudah ditetapkan,” ujarnya pada Senin (1/5/2017) seperti dikutip Antara.

Artinya, bisa saja KPK tidak hanya menjerat Miryam dengan pemberian keterangan palsu, melainkan juga keterlibatannya dalam suap korupsi e-KTP seperti yang tercantum dalam surat dakwaan terdakwa Irman dan Sugiharto.

Dalam kasus ini, Miryam bisa saja meniru langkah mantan Bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin yang mengajukan status justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.Apalagi juru bicara KPK, Febri Diansyah pernah mengatakan bahwa komisi antirasuah terbuka kemungkinan bagi Miryam S Haryani untuk mengajukan "justice collaborator".

“Ketika sudah menjadi tersangka tidak menutup kemungkinan bagi yang bersangkutan untuk mengajukan diri sebagai 'justice collaborator' karena itu akan lebih menguntungkan baik bagi tersangka dan bagi penegak hukum sendiri,” kata Febri, seperti dikutip Antara, pada 10 April 2017.

Febri juga mengingatkan, pengajuan diri sebagai justice collaborator tidak dibatasi oleh waktu, sehingga KPK mempersilakan yang bersangkutan untuk mengajukannya. “Saya kira silakan saja karena mengingat ancaman pidana dalam kasus keterangan palsu itu cukup tinggi, belum lagi ada indikasi lain,” kata Febri.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti