Menuju konten utama

Menutupi Luka Bumiputera

Jika melihat Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera hanya pada laporan keuangan yang setiap tahun dipublikasikannya di media massa, ia akan tampak baik-baik saja, kelihatan sehat walafiat. Tetapi jika dilihat lebih dalam, Bumiputera ternyata "sakit-sakitan".

Menutupi Luka Bumiputera
Formulir polis asuransi jiwa bersama (AJB) Bumiputera. [tirto/andrey gromico]

tirto.id - Dua tahun lalu, selepas halal bi halal di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Firdaus Djaelani diam beberapa detik, menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan sembari menggembungkan pipinya. “Ya, paling enggak, kita butuh dua tahunan lah,” katanya. Ada jeda sekitar 20 detik sejak pertanyaan diajukan hingga jawaban itu keluar.

Di OJK, Firdaus menjabat Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank. Industri asuransi masuk dalam pengawasannya. Dua tahun lalu, dia sedang mencoba menjawab pertanyaan tentang waktu yang dibutuhkan lembaga itu untuk membenahi Bumiputera.

Disebutkan oleh Firdaus, ada dua hal penting yang harus dibenahi dari Bumiputera, yakni manajemen dan permodalan. Dia juga mengungkapkan keinginan otoritas untuk memasukkan beberapa orang luar dalam susunan direksi perusahaan asuransi tertua itu. Tak cukup sampai di situ, tim yang dibentuk OJK bersama dengan Badan Perwakilan Anggota (BPA) Bumiputera juga akan mencari rumusan terkait penguatan permodalan.

Semua itu dilakukan demi mengembalikan kejayaan Bumiputera, agar perusahaan asuransi tertua itu mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan joint venture lainnya.

“Kami ingin menjaga lah, Bumiputera harus tetap survive [bertahan] di bumi pertiwi tercinta ini,” tutupnya dengan penekanan pada frasa “bumi pertiwi tercinta ini”.

Dua tahun kemudian, dalam sebuah momen buka puasa bersama, Firdaus belum bisa mengatakan kalau kondisi Bumiputera sudah benar-benar sehat. “Saya belum bisa jelaskan sekarang, nanti kita adakan konferensi pers khusus membahas ini,” katanya.

Tidak sehatnya kondisi keuangan Bumiputera mulai tercium sejak OJK menggelar konferensi pers khusus membahas Bumiputera pada Oktober 2013. Ini bukan hal biasa bagi OJK. Lembaga itu biasanya menggelar konferensi pers untuk membahas perkembangan industri keuangan non bank, terkadang asuransi, industri pembiayaan, lembaga keuangan mikro, dan perihal lain terkait industri. Tidak pernah lembaga itu menggelar konferensi pers hanya untuk membahas satu perusahaan asuransi.

Dalam konferensi pers tersebut, Ngalim Sawega yang saat itu masih menjabat sebagai Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank mengatakan Bumiputera dikenai sanksi peringatan oleh OJK. Peringatan diberikan karena rasio pencapaian solvabilitas asuransi jiwa itu kurang dari 120 persen.

Ngalim tampak seperti orang keceplosan, seperti orang yang mengungkapkan apa-apa yang seharusnya tidak dia utarakan. Setelah pernyataan itu keluar dari mulutnya, dia kemudian enggan menjawab lebih jauh pertanyaan para wartawan tentang mengapa dan bagaimana sanksi peringatan itu.

Laporan Keuangan Tampak Sehat

Pernyataan Ngalim dalam konferensi pers itu jelas bertentangan dengan laporan keuangan yang dipublikasikan Bumiputera. Dari laporan keuangan Bumiputera yang telah diaudit, rasio pencapaian solvabilitas tampak baik-baik saja di angka 232,16 persen pada 2012. Tahun sebelumnya, rasionya juga sehat di angka 395,6 persen. Mengapa Ngalim bilang rasionya di bawah 120 persen?

Seorang mantan petinggi Bumiputera yang meminta namanya dirahasiakan menyerahkan sejumlah dokumen berisi kondisi rill perusahaan mutual itu kepada tirto.id. Dokumen itu adalah dokumen internal yang disampaikan dalam Sidang Tahunan I BPA AJB Bumiputera pada 21 Desember 2012 di Jakarta.

Di dalamnya, dengan sangat jelas disebutkan bahwa rasio pencapaian tingkat solvabilitas berada ribuan poin di bawah nol, yakni -1.304,56 persen pada Oktober 2012. Sejak Januari tahun itu, rasionya tampak sudah minus seribu. Sampai Oktober, angkanya terus merosot.

Laporan itu juga memuat total aset dan kewajiban Bumiputera yang berbeda dengan laporan keuangan di media massa. Di media massa, total aset sampai Desember 2012 mencapai 24,2 triliun. Padahal, kenyataannya nilai aset akhir Oktober 2012 hanya separuhnya, yakni Rp12,1 triliun.

Sementara utang perusahaan mencapai Rp22,77 triliun. Jelas sekali bahwa nilai seluruh aset tidak cukup untuk membayar seluruh utangnya. Lalu, bagaimana bisa Bumiputera melaporkan kondisi keuangan yang berbeda dari kenyataannya?

Untuk mengetahui jawabannya, kita tak perlu ke ujung langit dan membawa seorang anak. AJB Bumiputera menggunakan satu skema yang disebut reasuransi finansial. Istilah reasuransi dalam industri asuransi sebenarnya sudah sangat umum.

Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan asuransi biasanya mengasuransikan kembali risiko dari para pemegang polis kepada perusahaan reasuransi. Upaya 'membagi risiko' ini penting agar perusahaan asuransi tidak menanggung seluruh beban risiko dan terhindar dari kebangkrutan jika ada sangat banyak klaim dalam waktu bersamaan.

Reasuransi Finansial berbeda dengan prinsip reasuransi pada umumnya. Dalam skema ini, risiko yang dialihkan bukan hanya risiko terkait kewajiban kepada pemegang polis, tetapi juga risiko apabila izin perusahaan dicabut. Apabila itu terjadi, perusahaan reasuransi harus membayarkan manfaat klaim kepada nasabah dalam jumlah yang telah disepakati.

Skema ini tidak bisa menghapus liabilitas yang ditanggung oleh perusahaan asuransi. Akan tetapi, reasuransi finansial bisa mempercantik tampilan laporan keuangan. Mengapa harus dipercantik? Agar para pemegang polis dan masyarakat tidak khawatir dan menghentikan polisnya atau enggan membeli polis baru di Bumiputera.

Apa yang dilakukan Bumiputera ini diketahui dengan jelas oleh regulator waktu itu. Sebelum melakukan reasuransi finansial, Bumiputera telah terlebih dahulu meminta persetujuan Badan Pengawas Pasar Modal dan lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Ini adalah badan yang mengawasi industri asuransi sebelum OJK.

Permohonan itu disetujui melalui surat bernomor S.4984/BL/2012. Bapepam-LK memberi lampu hijau reasuransi finansial senilai Rp12,5 triliun terhitung sejak 31 Desember 2011 hingga 30 Juni 2012. Skema reasuransi finansial membuat rasio solvabilitas bisa berubah menjadi 237,35 persen pada Oktober tahun itu.

Apa yang dilakukan manajemen Bumiputera ini memang diketahui dewan komisaris, BPA, dan OJK, tetapi tidak diketahui seluruh pemiliknya. Para pemegang polis yang juga pemegang saham Bumiputera, tidak diberitahu apa-apa tentang kondisi keuangan Bumiputera yang sebenarnya. Padahal jika terjadi apa-apa dengan perusahaan ini, sebagai pemegang saham, mereka juga yang menanggung risiko kerugian.

Baca juga artikel terkait BUMIPUTERA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti