tirto.id - Komedian Britania Raya yang menyenangi humor gelap gampang memperolok kesepian sebagai tragedi yang secara alamiah melekat dalam nasib manusia. Namun, pemerintahnya berbeda sikap: kesepian adalah perkara serius. Saking seriusnya, Perdana Menteri Theresa May sampai merasa perlu menunjuk seorang pejabat negara setara menteri untuk menanggulangi fenomena itu.
Sebagaimana dilaporkan pada pertengahan Januari lalu oleh New York Times, May menunjuk Tracey Crouch, pejabat bidang olahraga dan masyarakat sipil di Kementerian Kebudayaan. Dalam pernyataan resminya May menjelaskan bahwa untuk banyak orang kesepian adalah kenyataan yang menyedihkan dalam kehidupan modern.
“Saya ingin menghadapi tantangan untuk masyarakat kita dan bagi kita semua untuk mengambil langkah nyata demi mengatasi persoalan kesepian yang dialami orang-orang jompo, para perawatnya, juga mereka yang kehilangan orang-orang terkasih. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki siapapun untuk diajak bicara, berbagi pemikiran dan pengalaman.”
May mendasarkan kebijakannya pada laporan Palang Merah yang bekerja sama dengan The Co-op selaku rantai supermarket koperasi. Laporan itu terbit pada Desember 2018. The Co-op sendiri didirikan oleh Joe Cox, politisi Partai Buruh yang dibunuh oleh ekstremis sayap kanan Inggris pada Juni 2016 ketika sedang naik daun.
Mark Robinson, kepala badan perawatan orang jompo terbesar di Inggris, Age UK, menyitir satu penelitian yang mengungkapkan bahwa kesepian bagi orang jompo buruk untuk kesehatan. Dampaknya setara dengan merokok 15 batang per hari. Menurutnya efek buruk itu tak perlu terjadi pada mereka melalui penanganan yang tepat.
Riset pemerintah lainnya menunjukkan bahwa 200.000 orang jompo di Britania Raya tak melakukan percakapan dengan teman atau keluarganya lebih dari satu bulan. Namun, mengutip Jo Cox sebelum ia meninggal, korban dari persoalan kesepian ini tidak memandang usia. Ia dialami oleh para orang tua, anak-anak, orang-orang cacat, pengungsi, dan orang-orang dari beragam latar belakang lainnya.
Pendapat Cox selaras dengan kesimpulan banyak ahli sosial yang menyatakan bahwa kesepian adalah penyakit umum manusia modern.
Kesepian adalah perasaan kompleks dan kerap menyiksa sebagai akibat dari isolasi seseorang dari kontak dan komunikasi dengan dunia luar—terutama manusia lain. Meski demikian ada perbedaan mendasar antara kesepian dan terisolasi/menyendiri.
Kesepian merujuk pada ketidakmampuan untuk melakukan kontak dan komunikasi dengan orang lain sehingga muncul perasaan tidak enak. Kesepian cenderung dirasakan sebagai kondisi yang mesti dihindari. Sementara itu menyendiri kerap disengaja seseorang yang sedang tak ingin melakukan kontak maupun komunikasi dengan orang lain. Ia menikmatinya sebagai bagian dari, misalnya, relaksasi diri.
Kesepian adalah pengalaman subjektif yang tak tergantung pada keramaian di sekitar. Orang jelas kesepian saat sendiri, tapi juga bisa saat berada di tengah keramaian, yakni ketika ia tak mampu menjalin komunikasi yang berkualitas dengan orang di sekitarnya.
Orang tersebut, menurut para sosiolog, mengalami alienasi atau keterasingan dalam bentuk isolasi sosial. Alienasi merujuk pada kondisi di dalam sebuah hubungan sosial yang tercermin dari rendahnya tingkat integrasi dan kesamaan nilai, sementara ada jarak atau isolasi antar-individu, atau antara individu dan sekelompok orang di sebuah lingkungan hidup.
Para ahli menyatakan bahwa menyendiri bisa berdampak positif, contohnya membangun suasana hati dan melatih konsentrasi. Apalagi bagi masyarakat modern yang menghamba pada individualisme, menyendiri kerap dipandang sebagai bagian dari privasi. Namun di sisi lain, menyendiri juga jadi bibit kesepian yang teramat mendalam.
Penelitian Massachussett Institute of Technology dua tahun lalu mengungkapkan bahwa bagian otak yang membangkitkan rasa sepi, “dorsal raphe nucleus”, juga bertanggung jawab untuk rasa depresi. Sementara riset lain mengungkapkan individu dengan koneksi sosial lemah rawan kena gangguan pola tidur, perubahan sistem kekebalan tubuh, peradangan, dan peningkatan kadar hormon stres.
Para peneliti University of York pada tiga tahun lalu meneliti tema yang sama dan menemukan bahwa isolasi sosial meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 29 persen dan stroke 32 persen. Sementara riset Brigham and Women's Hospital and Harvard Medical School pada 2015 menyimpulkan bahwa kesepian mempercepat penurunan kognitif pada orang dewasa.
Risiko paling parah adalah meninggal dunia. Mengutip penelitian Brigham Young University, disebutkan bila individu yang terisolasi secara sosial kemungkinan dua kali lipat lebih cepat meninggal secara prematur dibanding yang punya interaksi sosial lebih kuat. Anak-anak yang terisolasi secara sosial juga tercatat memiliki kesehatan yang jauh lebih buruk di usia 20-an tahun.
Di negara-negara maju (Barat, seperti Britania Raya, negara-negara Eropa, termasuk Amerika Serikat), kesepian dialami oleh orang-orang jompo, yang “dirumahkan” anak-anaknya di panti, dan orang-orang yang tinggal di tempat dengan kepadatan rendah. Kondisinya serupa di negara-negara berkembang, lebih tepatnya penduduk di kawasan perkotaan.
Perkembangan riset peneliti sosial kemudian mengonfirmasi universalitas fenomena kesepian, sebagaimana yang disebut Cox, dengan mengacu pada salah satu faktor utama penyebab kesepian itu muncul: media sosial.
Generasi milenial, yang merentang di usia awal 20-an hingga akhir 30-an, dan generasi di bawahnya menjadi rombongan pengguna medsos terbesar. Efek yang ditimbulkan macam-macam. Salah satunya, merujuk pada riset Elizabeth Miller dari University of Pittsburg, adalah rasa kesepian yang makin meningkat.
Miller meneliti 1.787 orang dewasa berusia antara 19 dan 32 tahun tentang penggunaan 11 situs media sosial paling populer - Facebook, YouTube, Twitter, Google Plus, Instagram, Snapchat, Reddit, Tumblr, Pinterest, Vine dan LinkedIn pada 2014.
Ia menemukan bahwa orang yang mengunjungi jejaring sosial lebih dari 58 kali seminggu cenderung tiga kali lebih mungkin merasa kesepian ketimbang mereka yang menggunakan situs di bawah sembilan kali.
Melalui beragam medsos dan akses internet yang makin terjangkau, manusia modern kini ada di era yang paling terhubung dengan manusia-manusia lainnya. Namun, mengapa justru yang dekat terasa jauh dan sebaliknya?
Sebagaimana dilaporkan Independent, Miller menyatakan bahwa studinya menunjukkan bahwa semakin lama seseorang menghabiskan waktu di media sosial, semakin sedikit waktu yang mereka miliki untuk interaksi sosial dalam kehidupan nyata. Ini satu teori, dan ia belum memberikan jawaban yang pasti terkait faktor penyebab dari fenomena yang anomali itu.
"Kami belum tahu mana yang datang duluan: penggunaan media sosial atau perasaan isolasi sosial," katanya.
Mungkin orang dewasa berusia muda yang awalnya merasa terisolasi secara sosial beralih ke media sosial. Miller menambahkan, bisa pula terjadi bahwa peningkatan penggunaan media sosial yang akhirnya menyebabkan perasaan terisolasi dari dunia nyata.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf