tirto.id - Suatu hari di awal 1962, Menteri Agama Kiai Haji Wahib Wahab kena kasus. Putra dari K.H. Wahab Hasbullah ini harus diadili karena dianggap melanggar peraturan devisa dan harus dihukum 10 tahun serta denda Rp15 Juta. Menurut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2012), kasus tersebut membuat Wahib Wahab harus ditahan dan kehilangan jabatannya (hlm. 245).
Berdasarkan penuturan salah seorang sahabatnya, Haji Shohih Ubaid, seperti dicatat Abdul Azis dalam "H Muhammad Wahib Wahab: Kementerian Pada Masa Demokrasi Terpimpin" yang dimuat di buku Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (1998), kasus yang menimpa Wahib Wahab adalah ulah Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini memang tidak disukai Wahib Wahab dan dianggap mencari celah untuk menjatuhkannya (hlm. 198-199).
Pada Jumat, 17 Februari 1962, Kiai Haji Saifuddin Zuhri dipanggil Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Kala itu Sukarno bilang bahwa Saifuddin akan diangkat menjadi Menteri Agama. Saifuddin terkejut. Dia merasa masih ada Haji Muhammad Iljas yang lebih senior dan berpengalaman. Butuh waktu bagi Saifuddin untuk mengiyakan permintaan Sukarno itu.
Banyak tokoh Nahdlatul Ulama (NU) mendukung Saifuddin, termasuk Kiai Haji Wahab Hasbullah—yang kala itu Rais Aam NU—dan putra Wahab sendiri yang sedang kena kasus, Wahib Wahab. Muhaimin Abdul Gofar dalam "KH Saifuddin Zuhri: Eksistensi Agama dalam Nation Building" yang dimuat di buku Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik mencatat pada 1 Maret 1962 Idham Chalid bercerita bahwa di acara buka puasa bersama presiden ia disuruh mengiyakan penunjukan Saifuddin (hlm. 217).
Selain itu, Wahib Wahab pun berpesan pada Saifuddin agar jangan menolak jabatan karena Muhammadiyah sudah siap dengan calon-calonnya jika Saifuddin menolak. Masih seperti pesan Wahib Wahab, jika Saefuddin menolak maka itu tandanya ikatan antara pemerintah dengan ulama dan warga NU tidak ada lagi. Saifuddin pun menerimanya.
Dan pada 2 Maret 1962 dia akhirnya dilantik menjadi Menteri Agama ke-9.
Menolak Bubarkan HMI
Di masa Saifuddin menjabat Menteri Agama, menurut Muhaimin Abdul Gofur, Departemen Agama pernah terbebas dari kerumitan dalam penyelenggaraan haji. Ketika itu sistem kuota diberikan kepada daerah berdasarkan proporsi jumlah pendaftar. Ongkos Naik Haji (ONH), meski inflasi sedang kuat-kuatnya, juga diperjuangkan agar terjangkau rakyat.
Sebelum Saifuddin Zuhri jadi menteri, sejak zaman Wahib Wahab, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Ciputat sudah dijadikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Di zaman Saifuddin, IAIN makin diperbesar dengan mendirikan kampus di beberapa kota (hlm. 224).
“Aku bertekad untuk meratakan pembentukan IAIN di setiap provinsi, dan menjadikannya terdiri dari 4 fakultas (Syariah, Ushuludin, Tarbiyah dan Adab) dalam satu unit otonom dalam kesatuan IAIN,” tutur Saifuddin dalam memoranya, Berangkat Dari Pesantren (2013: 642).
Kini IAIN bertebaran di seluruh Indonesia. Belakangan IAIN banyak yang berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Saifuddin Zuhri, di masa Orde Lama itu, mengaku bahwa dirinya tidak membebek pada kemauan Sukarno. Ketika Sukarno hendak membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi kemahasiswaan bentukan Masyumi, Saifuddin malah berusaha meyakinkan agar HMI tidak dibubarkan. Di tahun-tahun terakhir sebagai presiden, Sukarno memang alergi setengah mati pada unsur-unsur Masyumi—yang dianggapnya terlibat pemberontakan PRRI/Permesta dan dibubarkan pada 1960.
“Mereka kan anak-anak Masyumi. Tentu seperti bapaknya, tetap saja reaksioner,” kata Sukarno seperti dicatat dalam Berangkat Dari Pesantren (hlm. 672-672).
Saifuddin pun berkilah, “Pak, ketika masih jaya-jayanya Masyumi mereka masih anak-anak SMA dan SMP. Mereka tidak tahu persis apa itu Masyumi. Kita jangan mengikuti falsafah yang mengatakan karena Bapak salah, anak-anaknya pun berdosa semuanya.”
Sukarno pun kehabisan kata-kata. “Bukan berlebihan. Tetapi saya berbuat menurut gewetan saya, perasaan hati saya.”
Saifuddin pun mengancam, “kalau Bapak tetap hendak membubarkan, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gewetan Bapak. Maka tugasku sebagai pembantu Presiden hanya sampai di sini.”
Lengser Bersama Sukarno
Jabatan Menteri Agama hanya dipegang Saifuddin Zuhri sampai 1967 ketika Sukarno dilengserkan dari kursi presidennya. Pengganti Saifuddin adalah Moh. Dahlan yang menjabat hingga 1971. Para Menteri Agama era Sukarno—yang kebanyakan berasal dari NU—berbeda dengan di masa Soeharto.
Moh. Dahlan dari NU, tapi ada juga orang Golongan Karya. Dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang satu-satunya partai berbasis massa Islam pun tak dapat jatah jabatan itu. Uniknya dua orang jenderal, Alamsjah Ratoe Perwiranegara (AD) dan Tarmizi Taher (AL), pernah jadi Menteri Agama.
Berpuluh tahun setelah setelah Saifuddin lengser dari kursi menterinya, Lukman Hakim Saifuddin, putra bungsunya, diangkat menjadi Menteri Agama di Kabinet Kerja Joko Widodo.
Di akhir periode Lukman Hakim menjabat, Kementerian Agama mendapat kabar buruk dengan tertangkapnya M. Romahurmuziy, Ketua Umum DPP PPP, terkait kasus suap jual-beli jabatan di lingkungan kementerian itu. Kantor Lukman pun diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan uang yang ada di ruang kerjanya disita KPK.
Seperti di tahun 1962, di tahun 2019 ini keturunan Menteri Agama zaman Orde Lama jadi bahan berita lagi. Romahurmuziy masih terhitung cucu dari tokoh NU dan Menteri Agama sebelum Saifuddin, Wahib Wahab.
Editor: Ivan Aulia Ahsan