tirto.id - Idrus Marham resmi masuk daftar kabinet sebagai menteri sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa. Idrus Marham menambah daftar pengurus DPP Partai Golkar yang rangkap jabatan di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di struktur pengurus DPP, Idrus menjabat sebagai koordinator bidang hubungan eEksekutif-legislatif. Sebelum Idrus ada nama Airlangga Hartato yang menjabat sebagai menteri perindustrian sekaligus ketua umum Partai Golkar.
Rangkap jabatan menteri dari Golkar ini telah mengingkari janji politik Jokowi. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda keduanya bakal diganti sebagai menteri.
Jokowi sempat beralasan dalam konteks posisi Airlangga, pergantian kabinet dengan orang baru malah akan membuat kabinet tak efektif, karena masa pemerintahan sudah tersisa setahun ke depan. Anggota kabinet baru tentu masih perlu belajar 6 bulan sampai setahun untuk jabatannya. Namun, ada juga yang menganggap keputusan yang tak konsisten ini terkait upaya mengamankan Pilpres 2019.
“Nampaknya Jokowi nyaman dengan Golkar. Wajar kalau dia menganakemaskan Golkar,” kata Peneliti Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia Hendri Satrio saat dihubungi Tirto, Selasa (23/1).
Setelah bergabung menjadi partai pemerintah, Golkar menunjukkan loyalitas penuh terhadap kebijakan Jokowi. Mereka medeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden 2019. Mereka juga tidak segan meminta Jokowi memberi sambutan dalam kegiatan Golkar. Hal-hal ini lah yang menurut Hendri membuat Jokowi nyaman dengan Golkar.
Sikap Jokowi membiarkan rangkap jabatan Airlangga dan Idrus tidak lepas dari kepentingan politik di Pemilu Presiden 2019.
Hendri mengatakan secara elektoral perolehan suara Golkar pada dua pemilu terakhir relatif konsisten. Di Pemilu 2009 Golkar meraih 14,45 persen suara. Selanjutnya di Pemilu 2014 Golkar meraih 14,75 persen suara. Apabila dukungan Golkar ditambah dengan dukungan Nasdem, PPP, dan Hanura maka angkanya sudah cukup memenuhi syarat presidential threshold 2019.
“Jokowi sudah sangat bergantung dengan Golkar,” kata Hendri.
Ketergantungan Jokowi terhadap Golkar menurut Hendri tidak lepas dari sikap politik yang ditunjukkan PDI Perjuangan selama ini. Sebagai partai pendukung pemerintah dengan perolehan suara pemilu terbesar, PDI Perjuangan hingga saat ini belum menunjukkan posisi yang jelas soal dukungan terhadap Jokowi di Pemilu Presiden 2019.
Di sisi lain Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarno Putri juga kerap menyebut Jokowi sebagai petugas partai yang secara politis bertendensi mereduksi posisi seorang presiden. “Jokowi bersiap tidak bergantung lagi kepada PDIP. Karena menggandeng Golkar dia sudah aman,” ujar Hendri.
Meski begitu sikap Jokowi yang menganakemaskan Golkar dalam urusan rangkap jabatan bukan berarti tanpa risiko. Hendri mengatakan inkonsistensi Jokowi terhadap janji politik yang ia ucapkan akan menjadi amunisi tambahan bagi lawan-lawan politiknya di Pemilu Presiden 2019 mendatang.
“Isu rangkap jabatan ini akan menjadi amunisi tambahan untuk mencari kekurangan Jokowi di 2019. Selain pelanggaran janjinya untuk tidak bagi-bagi jabatan, membuat kabinet ramping, dan impor beras,” kata Hendri.
Kecemburuan Anggota Koalisi Lain
Wakil Sekretaris Jendral DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daniel Johan menilai perlakuan Jokowi terhadap Golkar mengindikasikan dihapusnya larangan menteri menjadi pengurus partai. "Kalau begitu kami anggap peraturan tidak ada rangkap jabatan sudah tidak ada," ujar Daniel.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar termasuk orang yang pernah terkena imbas larangan menteri rangkap jabatan sebagai pengurus partai. Ia melepaskan peluang menjadi menteri karena lebih memilih menjadi ketua umum. Daniel berharap apa yang dilakukan Jokowi terhadap Golkar juga berlaku bagi PKB
"Kalau Pak Hanif (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi), misalnya, diberi jabatan lagi di DPP [PKB] oleh ketum tidak ada larangan," kata Daniel.
Pernyataan senada disampaikan Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno. Ia menyatakan keputusan Jokowi membiarkan Airlangga dan Idrus merangkap jabatan sebagai lampu hijau bagi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani kembali aktif di partai.
"Ya bisa kenapa, Puan boleh aktif. Tidak harus, tapi boleh aktif karena presiden sudah memberi kelonggaran ya," kata Hendrawan.
Sebelum menjadi menteri Puan menjabat sebagai Ketua DPP Bidang Pemenangan Pemilu. Namun, dalam Kongres PDIP di Bali, Puan dinonaktifkan sebagai pengurus partai oleh Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri karena Jokowi melarang menterinya menjadi pengurus partai. Namun Hendrawan mengatakan partainya tidak akan mengumumkan secara resmi pengaktifan kembali Puan di DPP.
"Mengalir sajalah," kata Hendrawan.
Hendrawan juga yakin rangkap jabatan tidak akan menggangu kinerja menteri di kabinet Jokowi. Ia mengutip pernyataan Jokowi sisa satu tahun kepemimpinan tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kabinet. "Kalau menurut presiden begitu, kami ikut sajalah," kata Hendrawan.
Langgar Komitmen dan Kinerja Tak Optimal
Wakil Sekretaris Jendral DPP PAN Yandri Susanto bersikap lebih keras. Yandri menilai rangkap jabatan Idrus dan Airlangga merupakan pengingkaran janji politik yang pernah diucapkan Jokowi.
“Menurut kami Pak Jokowi telah melanggar komitmennya sendiri. Artinya janji tinggal janji, komitmen tinggal komitmen,” kata Yandri.
Yandri menolak kritiknya dianggap sebagai bentuk iri terhadap Golkar. Ia mengatakan selama ini menteri-menteri Jokowi konsisten mematuhi aturan, tapi mengapa justru Jokowi yang melanggarnya sendiri. “Puan harus nonaktif, Pak Wiranto harus buat Munaslub [untuk mundur sebagai ketua umum Hanura],” kata Yandri.
“Pertanyaannya apakah Pak Jokowi berkomitmen? Enggak. Dia melanggar sendiri komitmen itu.”
Ketua DPP PKS Nasir Djamil mengatakan perombakan kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Namun, ia menilai rangkap jabatan yang dilakukan sejumlah menteri akan membuat kinerja kabinet tidak optimal. "Para menteri di kabinetnya akan berkosentrasi meloloskan partainya melampui parlemen threshold. Sebab ini penting untuk pencalonan capres ke depan," ujar Nasir.
Nasir menyatakan rangkap jabatan kader Golkar di kabinet akan menciptakan persepsi negatif terhadap Jokowi. Publik akan menilai Jokowi sebagai presiden yang suka melanggar komitmen dan janji. "Kalau Presiden Jokowi membiarkan ada menterinya merangkap jabatan ketua umum parpol, itu artinya nawacita akan menjadi nawaitu"
Ketua DPP Gerindra, Edy Prabowo mengatakan keputusan Jokowi sah-sah saja. Ia pun menganggap keputusan itu tidak melanggar undang-undang manapun karena tidak ada undang-undang yang mengatur secara khusus perihal rangkap jabatan menteri. "Lagi pula saya tidak memilih presiden ini," kata Edy.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar