tirto.id - “Kami pasti punya target,” tegas Johnny G. Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dalam tanya-jawab dengan wartawan di hari serah-terima jabatannya sebagai menteri, Rabu (23/10) lalu. “(Target kita adalah) ingin memiliki startup yang lebih cepat. Kalau perlu ada hectocorn,” tutupnya.
Hari ini, Gojek adalah startup—perusahaan rintisan—paling bernilai asal Indonesia dengan valuasi mencapai $10 miliar atau istilahnya: decacorn. Maka konteks omongan Johnny adalah: ingin di masa kepemimpinannya ada startup yang besarnya 10 kali lipat dibandingkan Gojek.
Semenjak Google dan Facebook lahir, dunia memasuki masa “The Age of the Serious Startup”. Inilah masa di mana banyak pelaku bisnis mencoba peruntungan dengan membentuk perusahaan rintisan guna mengikuti jejak Facebook dan Google. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan lahirnya berbagai startup besar macam Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, hingga Ovo.
Harapan Johnny sejatinya sudah segendang-sepenarian dengan program pemerintah yang dinamakan "Gerakan Nasional 1000 Startup Digital". Program itu sempat disebut Joko Widodo dalam Debat Kedua Calon Presiden 2019 pada 17 Februari 2019.
"Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital" mulai diinisiasi pada pertengahan 2016 dengan dipelopori oleh Kominfo bersama PT Kibar Kreasi Indonesia (Kibar). Kala itu, Rudiantara selaku Menkominfo, mengatakan jika ekosistem startup yang dibangun tersebut sukses, maka "Indonesia bisa menjadi world’s biggest digital power".
Tentu saja yang menjadi role model penciptaan startup tak lain adalah Nadiem Makarim, pemuda yang sukses mengubah ojek menjadi bisnis multi-layanan. Selain menjadikan perusahaan ini menjadi salah satu perusahaan paling bernilai di Indonesia, Nadiem kemudian juga terpilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, rekan Johnny di Kabinet Indonesia Maju.
Tapi, bisakah pemuda-pemudi Indonesia selanjutnya meniru atau bahkan melampaui Nadiem dengan melahirkan startup level hectocorn seperti yang diharapkan Johnny?
Jika melihat kondisinya sekarang, jawabannya ada dua: sulit dan mustahil.
Latar Belakang Para Pendiri Startup Sukses
Tatkala mengikuti Pemilu 1955, Partai Sosialis Indonesia (PSI) memiliki banyak tokoh pergerakan Indonesia: Sutan Sjahrir (1909-1966), Sumitro Djojohadikusumo (1917-2001), hingga Hamid Algadri (1910-1998).
Di lingkup politik, Hamid Algadri merupakan perintis kemerdekaan yang ikut dalam perundingan Linggarjati, perundingan Renville, hingga Konferensi Meja Bundar. Sementara di lingkup keluarga, ia memiliki seorang puteri bernama Atika Aldagri.
Atika kemudian dipinang Nono Anwar Makarim, putra Arab-Minangkabau kelahiran Pekalongan 1939. Nono termasuk pemuda gemilang, lulusan Hogere Burger School (HBS) Carpentier Alting Stichting, Jakarta, dan pernah belajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Tentu, di zaman itu, yang dapat merasakan sekolah di HBS dan UI bukanlah anak kalangan biasa. Nono sendiri, dalam “Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1984:446),” adalah putra Anwar Makarim adalah seorang notaris yang kesohor.
Selain Nono, Anwar Makarim juga masih punya dua putra lain: Chaidir dan Zacky. Chaidar besar menjadi seorang pengusaha, sementara Zacky, yang masuk Akademi Angkatan Bersenjata (Akabri) pada 1967, akhirnya memiliki karier sebagai Mayor Jenderal TNI, berteman dengan Kivlan Zein dan juniornya, Prabowo Subianto.
Tapi mari fokus ke Nono, sebab dialah ayah Nadiem Makarim, sang pendiri Gojek.
Nadiem dapat dikatakan bukanlah pemuda biasa. Ia lahir dari keluarga terpandang yang sudah barang tentu memiliki banyak koneksi, selain ke para pebisnis moncer, juga ke lingkaran penguasa di negeri ini. Akan tetapi, jika melihat latar belakang pendiri startup sukses lainnya, juga tak jauh-jauh seperti Nadiem.
Anthony Tan, pendiri Grab misalnya, adalah putera Tan Heng Chew, orang terkaya nomor 28 di Malaysia menurut data Forbes. Heng Chew adalah pemilik Tan Chong Motor Holdings, konglomerasi yang memegang merek Nissan dan Renault di Malaysia. Selain itu, melalui Tan Chong International, bisnis penjualan mobil di Vietnam, Laos, Thailand, hingga Myanmar juga dikendalikan ayahanda pendiri Grab ini.
Di Amerika Serikat pun serupa. Startup sukses, yang kemudian menjadi perusahaan terbuka paling bernilai, didirikan oleh orang-orang dari kalangan terpandang.
Bill Gates, si pendiri Microsoft, adalah anak dari William Henry Gates II, pengacara yang mendirikan firma Preston Gates & Ellis LLP serta anggota dewan University of Washington. Sementara itu, dalam dokumenter berjudul "Inside Bill's Brain: Decoding Bill Gates" yang tayang di Netflix, ibunda Gates, Mary Maxwell Gates, juga tokoh terpandang di kota Seattle.
Steve Jobs, pendiri Apple, juga demikian. Meski ayah angkatnya, Paul Jobs, merupakan seorang mekanik, tapi ayah kandungnya, Abdulfattah Jandali adalah direktur kilang minyak di Homs, Suriah, yang ketika perang pecah di negeri itu kemudian beralih menjadi asisten profesor pada Nevada University.
Aimee Groth, jurnalis Quartz, dalam salah satu tulisannya menyebut salah satu titik krusial melahirkan pengusaha yang sukses adalah akses pada modal. Dengan mengutip penelitian yang dilakukan Ross Levine dan Rona Rubenstein dari University of California, Groth juga menyatakan bahwa pengusaha sukses di AS punya tiga kesamaan: kulit putih, laki-laki, dan berpendidikan tinggi. Selain itu, tentu saja, mereka berasal dari keluarga terpandang, bukan warga biasa.
Mengapa latar belakang dari keluarga terpandang penting? Menurut Groth, “jika kebutuhan dasar terpenuhi, mudah saja menjadi kreatif dan mengambil resiko yang besar." Jelas, lahir dari keluarga terpandang artinya sudah tidak perlu berurusan dengan kebutuhan dasar. Maka ditambah dengan koneksi keluarga, “mudah” pula melahirkan startup yang mumpuni.
Mimpi Kelewat Ambisius
Jelas belaka bahwa startup yang sukses bukanlah semata-mata soal valuasi. Di seluruh dunia, hingga hari ini, belum ada startup yang bernilai $100 miliar. Merujuk data yang dipublikasikan CB Insight, Bytedance, startup di balik TikTok adalah yang paling bernilai tinggi dengan valuasi sebesar $75 miliar.
Dulu dunia pernah memiliki Uber, yang tatkala berstatus startup memiliki valuasi hingga $80 miliar. Sial, mereka kemudian rontok selepas melakukan penawaran saham perdana (IPO), dan kini valuasinya berada di bawah $50 miliar. Hal tersebut juga dialami mayoritas startup bervaluasi besar seperti Lyft, AirBnb, hingga WeWork: rontok tatkala menginjak lantai bursa.
Mimpi melahirkan 1.000 startup, di mana salah satunya diharapkan mencapai level hectocorn dan bernilai $100 miliar, terasa kelewat ambisius--untuk tidak menyebutnya mirip omong kosong. Akan tetapi, Menkominfo Johnny tampaknya optimistis dapat mewujudkan hal itu. Dia bilang: “Jangan takut. (Indonesia) harus punya gagasan besar karena kita punya potensi.”
Well, silakan dibuktikan, Pak.
Editor: Eddward S Kennedy