Menuju konten utama

Menjelang Berakhirnya Legenda Rindu Alam

Restoran legendaris yang didirikan Letjen. Ibrahim Adjie terancam rata dengan tanah.

Menjelang Berakhirnya Legenda Rindu Alam
Restoran Rindu Alam. FOTO/Tripadvisor

tirto.id - Seorang wanita muda berbaju hijau toska mengambil nota pesanan dari rak kayu yang disusun berjajar sesuai nomor duduk pelanggan. Sementara ia menghitung total belanjaan dengan kalkulator, saya memandangi potret yang terpampang di dinding belakang meja kasir. Tiga belas pria berjajar di depan meja yang bentuknya masih sama dari dulu hingga sekarang. Klasik. Hanya bagian depan meja yang diberi pajangan tambahan berupa foto sang pendiri rumah makan, Letjen. H. Ibrahim Adjie.

“Memang bangunan ini dari awal berdiri di tahun 80-an belum pernah diubah. Masih asli,” tiba-tiba suara di belakang saya menjelaskan.

Pria paruh baya itu memperkenalkan diri sebagai Kapten Waiters di Rumah Makan Rindu Alam. Juanda namanya. Ia salah satu karyawan yang sudah bekerja sejak awal-awal kejayaan rumah makan ini di dekade 80-an. Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, Juanda sudah bekerja paruh waktu di rumah makan legendaris itu.

Ia bercerita, ketika itu Rindu Alam tengah berada di puncak kejayaan, tempat itu menjadi satu-satunya tempat makan yang menyuguhkan keindahan panorama alam. Konsumen yang datang di hari biasa bisa mencapai 200 orang dan meningkat menjadi 400-500 orang pada hari libur.

“Waktu itu memang masih asri sekali. Masih banyak babi hutan. Pak Ibrahim dulu hobi berburu itu.”

Baca juga: Ibrahim Adjie, Jenderal Kesayangan Sukarno

Rindu Alam memang telah mengambil tempat tersendiri di hati pelanggannya. Selain pemandangan, ragam menu yang disajikan pun tak kalah ciamik. Yang jadi andalan adalah pepes ayam kampung bumbu bakar dan campursari ayam, udang, dendeng, telor, teri, cabe ijo. Tapi, menu-menu lain seperti kambing guling, sate ayam, sup, atau sate kambing pun tak kalah menggugah selera.

Muhamad Azmi Bin Razak (70), misalnya, setiap berkunjung ke Jakarta selalu menyempatkan diri berkunjung ke Rindu Alam. Pria asal Kualalumpur ini selalu menambah makanan ketika menyantap menu kambing guling dan sate kambing.

“Di sini menunya sedap, suhu, dan tempatnya nampak pas dan indah,” ceritanya sambil menyeka sisa makanan di mulutnya.

Baca juga: Benarkah Makan Daging Kambing Bikin Darah Tinggi?

Azmi sudah menjadi pelanggan di Rindu Alam di awal-awal restoran ini berdiri. Mulanya, ia hanya sekadar mampir di sela kunjungan bisnis di Jakarta. Berawal dari iseng, Azmi pun jatuh cinta dan menempatkan Rindu Alam dalam daftar agendanya setiap kembali ke Jakarta. Karena itulah ia cukup kaget ketika tahu rumah makan favoritnya berencana diratakan dengan tanah.

“Besarkan jalan bagus, supaya tidak banyak berlaku kemalangan. Tapi jangan resto ini, sayang karena tempatnya enak dan indah,” ujarnya menitip pesan pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Asa serupa juga dirapalkan Juanda. Sang kapten meminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat mempertimbangkan kembali rencana penggusuran Rindu Alam sebagai bagian pelebaran jalan menuju Punjak. Sebabnya nasib 100 lebih karyawan Rindu Alam bergantung dari keputusan tersebut.

“Saya sendiri punya dua anak yang masih sekolah. Coba saja beban dua anak dan satu istri dikalikan 100, ada 400 orang bergantung hidup di sini.”

Baca juga:

Infografik Rindu Alam Yang Dirindukan

Izin Sewa Rindu Alam hingga 2020

Berita akan tutupnya Rindu Alam menyebar melalui pesan-pesan terusan di grup media sosial. Rencananya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan melakukan pelebaran jalan menuju Puncak. Warung-warung makan dan oleh-oleh yang biasa ditemui di kanan-kiri jalan menjadi target utama. Rindu Alam pun tak luput dari sasaran.

“Grup Whatsapp saya semua ramai menanyakan itu. Media juga ramai memberitakan, malah ada yang tulis kontrak sewa kita sudah habis,” kata Julius Adam, perwakilan manajemen Rindu Alam membuka percakapan bersama Tirto.

Padahal, cucu kedua dari mendiang Letjen. Ibrahim Adjie ini mengatakan kontrak sewa Rindu Alam baru akan berakhir pada 2020 nanti. Selama ini, rumah makan itu berdiri di tanah negara yang disewa dari Kementerian Pekerjaan Umum. Namun, saat kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum beralih ke otonomi daerah, perjanjian sewa tersebut dipertanyakan Pemprov Jawa Barat.

Baca juga: Pemerintah Moratorium Pembentukan Daerah Otonomi Baru

“Ini, kan, aneh. Seharusnya PU koordinasi dong ke Pemda, kan mereka itu satu rumah. Tapi ini malah angkat tangan,” keluhnya.

Pada 2016, rencana penggusuran Rindu Alam sampai juga kepada mereka setelah menerima surat yang dikirimkan Kepala Satpol PP Jawa Barat. Pihak manajemen kemudian menunjukkan izin-izin yang dimiliki. Namun, apa daya, Satpol PP tetap akan melaksanakan perintah apa pun yang ditugaskan Pemprov Jabar.

Sejatinya, bukan kali ini saja rencana penggusuran melanda Rindu Alam. Rencana penggusuran serupa pernah juga datang di tahun 2013, tetapi Rindu Alam masih bisa bertahan dengan izin sewa yang sama.

Karena merasa masih memiliki hak atas tanah tersebut, saat ini manajemen dan karyawan Rindu Alam sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Bandung. Pada 2016, mereka mengajukan gugatan, tetapi perjalanan negosiasi berlangsung alot. Pemerintah Provinsi Jawa Barat tak pernah sekali pun menampakkan batang hidungnya dalam persidangan.

Baca juga: Makan Saja Gelas Plastikmu

Padahal, Adam dan seluruh karyawan Rindu Alam hanya berharap Pemprov Jawa Barat dapat melunak barang satu-dua tahun. Lagi-lagi karena mempertimbangkan hajat hidup 100 lebih karyawan di sana. Perlu waktu bagi mereka mencari pekerjaan baru atau memilih pindah sebelum Rindu Alam di Puncak benar-benar mata rata dengan tanah. Syukur-syukur Pemprov dapat melihat keunikan Rindu Alam sebagai ikon khas Puncak dan menjadikannya sebagai salah satu daya tarik wisata..

“Sudah jadi legenda banget, lho. Bahkan ada pengunjung yang dari masa pacaran sampai punya cucu selalu balik ke Rindu Alam,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PUNCAK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS