Menuju konten utama

Benarkah Makan Daging Kambing Bikin Darah Tinggi?

Jangan ragu menyantap daging kambing karena takut tekanan darah naik. Tapi, tentu jangan berlebihan.

Benarkah Makan Daging Kambing Bikin Darah Tinggi?
Ilustrasi daging kambing. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Hari raya Idul Adha tiba. Beragam panganan berbahan dasar daging kambing siap disantap. Ada gule, tongseng, semur, sop dan yang paling sering dibuat, sate kambing. Pak Edi (60), sebagai penggemar daging kambing, tentu tak mau ketinggalan pesta daging. Ia bahkan sengaja menyiapkan obat sebagai penawar, kalau-kalau darah tingginya kambuh.

Selama ini Pak Edi percaya hobi makan daging kambing menjadi penyebab tekanan darah tinggi (hipertensi) yang dideritanya. Maka, ketika didiagnosis dokter, ia langsung melakukan berbagai upaya untuk mengontrol tekanan darah. Antara lain membatasi pengaturan konsumsi jenis makanan yang diduga meningkatkan tekanan darah, termasuk makanan favoritnya: daging kambing.

Namun, benarkah daging kambing menjadi penyebab hipertensi?

Baca juga: Tips Berpuasa Bagi Penderita Diabetes dan Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013 menyebutkan prevalensi penderita hipertensi di Indonesia mencapai 25,8 persen. Jumlah tersebut didapat melalui pengukuran pada umur lebih dari 18 tahun. Jumlah penderita tertinggi berada di Bangka Belitung (30,9 persen), diikuti Kalimantan Selatan (30,8 persen), Kalimantan Timur (29,6 persen) dan Jawa Barat (29,4 persen).

Baca juga: Kardiovaskuler Penyebab Utama Kematian di Indonesia

Peneliti dari Universitas Rukyus di Jepang pada tahun 2014 berusaha membuktikan hal ini. Anggapan bahwa daging kambing bisa menaikkan tensi darah ternyata tidak hanya dipercaya di Indonesia, tapi juga di Jepang. Mereka melakukan dua eksperimen menggunakan tikus.

Eksperimen pertama dilakukan terhadap 4 kelompok tikus yang terdiri dari kelompok kontrol yang diberi makan 20 persen ayam dan 0,3 persen garam (K), kelompok pemakan danging kambing 20 persen dengan kandungan garam rendah 0,3 persen (GR), kelompok pemakan daging 20 persen dengan garam tinggi 3-4 persen (GT), dan kelompok pemakan daging 20 persen, garam 4 persen dan rempah mugwort 5 persen (GTR).

Baca juga: Daging Kambing Tak Sebabkan Tekanan Darah Tinggi

Pengamatan dilakukan selama 14 minggu. Hasilnya, kelompok pemakan daging dengan garam tinggi (GT) dan kelompok pemakan daging, garam, dan rempah mugwort (GTR), mengkonsumsi lebih banyak air dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok pemakan daging kambing dengan garam rendah (GR). Lalu, kelompok pemakan daging kambing dengan garam rendah (GR) menunjukkan hasil pengukuran tekanan darah yang mirip dengan tekanan darah kelompok kontrol.

Namun, peneliti curiga bahwa peningkatan tekanan darah setelah mengkonsumsi daging kambing disebabkan oleh faktor lain. Lalu mereka pun melakukan eksperimen kedua, yakni mengurangi kadar garam kelompok GT dan GTR dari 4 persen menjadi 0,3 persen. Hasilnya, tekanan darah hewan kembali normal.

Dari penelitian itu, mereka menyimpulkan, sama halnya seperti ayam, konsumsi daging kambing berkepanjangan tidak menyebabkan peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah lebih disebabkan oleh jumlah garam yang digunakan sebagai bumbu.

Baca juga: Madura Berharga bagi Belanda karena Garam

Penelitian dengan mengukur tekanan darah setelah konsumsi daging kambing juga dilakukan di Indonesia. Afid M.D dan Nurmasitoh di tahun 2016 mengukur tekanan darah 42 orang laki-laki dari Dukuh Belang Wetan, Klaten Utara sebelum dan 60 menit sesudah memakan sate kambing sebanyak 10 tusuk (100 gram). Hasilnya, rata-rata tekanan darah sebelum dan sesudah mengonsumsi sate kambing memang mengalami peningkatan.

Tekanan darah sistolik sebelum konsumsi 105,48±10,41 menjadi 113,76±7,6 mmHg setelah makan sate. Sedangkan rata-rata tekanan darah diastolik sebelum 67,62±7,9 menjadi 75±5,52 mmHg. Peneliti menyimpulkan, walau terdapat perbedaan rata-rata tekanan darah sebelum dan sesudah konsumsi sate kambing, tapi kenaikannya masih dalam batas wajar.

Penyebab hipertensi dijelaskan secara lebih rinci oleh dr Siska Surindanda Danny, Sp. JP (K), spesialis jantung dan pembuluh darah. Ia membantu menjelaskan jenis hipertensi, yakni hipertensi esensial serta hipertensi sekunder.

Hipertensi esensial merupakan jenis yang tidak diketahui penyebabnya, biasanya merupakan kombinasi berbagai faktor genetik dan lingkungan. Sementara hipertensi sekunder dipicu oleh penyakit tertentu/gangguan organ lain di dalam tubuh, biasanya ginjal.

“Sebagian besar hipertensi adalah hipertensi esensial, yang penyebabnya adalah gaya hidup tidak sehat,” katanya kepada Tirto.

Infografik daging kambing

Menyoal daging kambing yang diduga menaikkan tekanan darah, dokter Siska mengatakan semua jenis daging merah memiliki kandungan lemak lebih tinggi dibanding daging putih. Oleh karena itu, ia lebih menyarankan mengkonsumsi daging ayam dan ikan dibandingkan sapi dan kambing.

Namun, pemicu hipertensi yang sudah jelas adalah makanan tinggi garam, merokok, serta jarang olahraga. Sayangnya, meski sudah meminimalisir penggunaan garam dalam masakan, kita sering lupa bahwa garam bersembunyi di banyak produk makanan sebagai pengawet atau penyedap rasa.

“Makanan beku, makanan kaleng, makanan instan, dll. hampir semuanya mengandung garam tinggi yang memicu hipertensi,” pungkasnya.

Bagi Anda pecinta daging kambing, tak perlu terlalu kuatir dengan tekanan darah. Asalkan garam diminimalisir. Dan, kata-kata bijak ini sebaiknya jadi pengingat dalam banyak hal terkait pola makan dan gaya hidup: sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Baca juga artikel terkait HEWAN KURBAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani