tirto.id - Jhon Wesley Hyatt boleh saja berbangga diri karena terhitung mulai 24 Juli 1868 hingga kini produk ciptaannya, plastik, masih secara masif digunakan oleh seluruh orang di dunia. Namun, jika masih hidup, bisa jadi Hyatt berpikir ulang tentang penemuannya karena ternyata plastik telah menjadi salah satu ancaman kelestarian lingkungan hidup.
Kenyataannya, plastik sudah menjadi bagian terpenting dalam peradaban modern. Coba saja lihat sekeliling Anda, mulai dari bungkus gorengan pinggir jalan, hingga telepon genggam, semuanya pasti mengandung unsur plastik. Setiap tahun, kota-kota di dunia dapat menghasilkan sampah plastik hingga 1,3 miliar ton. Menurut perkiraan Bank Dunia jumlah ini akan bertambah hingga 2,2 miliar ton pada tahun 2025.
Ketergantungan manusia yang teramat sangat terhadap plastik membuat limbahnya meningkat tajam setiap waktu. Plastik telah mencemari tanah-tanah daratan, laut di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, persoalan menumpuknya limbah plastik cukup memprihatinkan. Berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut. Total limbah plastik tahunan yang mengalir ke laut mencapai 187,2 juta ton.
Data tersebut diperoleh lewat pemodelan dengan memasukkan faktor skala pembangunan ekonomi negara, jumlah rata-rata sampah yang diproduksi, cara pengolahan sampah, serta jumlah populasi yang bermukim di radius 50 km dari garis pantai.
Di peringkat pertama, ada Cina yang membuang 262,9 juta ton limbah plastiknya ke laut. Disusul Filipina pada urutan ketiga dengan jumlah sampah mencapai 83,4 juta ton. Vietnam berada di urutan keempat mencapai 55,9 juta ton, dan Sri Lanka di urutan kelima dengan 14,6 juta ton limbah plastik ke laut per tahun.
Versi pemerintah soal jumlah limbah plastik juga mengungkapkan hal yang memprihatinkan, data dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) saja menyebutkan ada 10,95 juta lembar kantong plastik per tahun berasal hanya dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO). Jika dijejerkan, jumlah tersebut setara dengan luasan 65,7 hektar kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola.
Sementara itu, dikutip dari Antara, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Tuti Hendrawati Mintarsih menyebut total jumlah sampah Indonesia pada 2019 nanti akan mencapai 68 juta ton. Dari jumlah tersebut, sampah plastik diperkirakan akan mencapai 9,52 juta ton atau 14 persen dari total sampah yang ada.
Setiap tahun produksi plastik menghasilkan sekitar delapan persen hasil produksi minyak dunia atau sekitar 12 juta barel minyak jumlah ini setara 14 juta pohon. Lebih dari satu juta kantong plastik digunakan setiap menitnya, dan 50 persen dari kantong plastik tersebut dipakai hanya sekali lalu langsung dibuang. Dari angka tersebut, menurut Tuti, hanya lima persen yang benar-benar di daur ulang.
Menggunungnya sampah plastik tentu saja mengkhawatirkan. Ini karena komponen plastik sangat sulit terurai, butuh waktu hingga 50-100 tahun untuk penguraian. Sayangnya, tak semua orang paham dampak buruk sampah plastik yang mereka hasilkan karena tak berdampak langsung pada manusia. Sehingga perlu langkah nyata termasuk penggunaan teknologi.
Makan Plastikmu
Banyaknya sampah plastik ini mendapatkan perhatian dari sejumlah kalangan. Muncul temuan-temuan baru terkait plastik ini, salah satunya adalah edible plastic atau plastik yang mudah terurai bahkan bisa dimakan. Contohnya saja plastik-plastik pembungkus makanan yang terbuat dari lemak hewan atau saripati umbi-umbian.
Tak hanya India, Indonesia pun memiliki konsep edible plastic semacam ini. Adalah David Christian, pencetus gelas Evoware, gelas yang dapat dimakan karena terbuat dari ganggang laut.
Kepada Tirto.id, David menceritakan awal mula ide tercetusnya bisnis ramah lingkungan ini. Evoware sendiri baru berdiri secara resmi pada April 2016 lalu, tapi sudah mampu merebut pangsa pasar foodtech khususnya di Jakarta.
Per bulannya, David harus menyediakan sekitar 700-800 buah gelas Evoware untuk memenuhi pesanan konsumennya. Bahkan di Desember ini produksinya sudah menembus angka 1.000 buah.
"Evoware hadir murni karena kegelisahan hati saya melihat Indonesia yang penuh sampah, utamanya plastik. Jauh berbeda dengan negara lain," tutur David.
David tercetus membuat produk yang eco friendly, dan dipilihlah gelas. Gelas warna-warni berbahan jelly yang lucu ini dipilih bukan tanpa pertimbangan.
Menurutnya, karena kesadaran lingkungan masyarakat Indonesia yang masih rendah, maka harus dibuat produk yang fungsional sebagai awal perkenalan. Baru kemudian setelah tahu dan membeli, edukasi mengenai eco friendly dilakukannya.
"Kalau saya langsung sasar 'Ini produk ramah lingkungan, bla-bla' akan sedikit yang beli. Tapi dengan mengenalkan gelas yang menarik dan fungsional maka orang yang tak peduli lingkungan juga mau beli," katanya.
Memasuki Januari 2016, ketika David mulai melakukan pengembangan produk dibantu oleh tim risetnya yang saat itu baru terdiri dari satu orang saja. "Tapi teman saya ini memang sudah berpengalaman di bidang foodtech, sekarang sudah dibantu juga, jadi berdua."
Saat pertama kali diluncurkan, Evoware hanya mampu menjual produk sebanyak 400 buah, itupun hanya dalam skala bazar saja. Bukan tak ada yang memesan, namun kemampuan produksi tim Evoware David belumlah mencukupi. Hal itu berlangsung hingga Mei 2016. Selanjutnya, kapasitas Evoware berkembang dan kini sudah bekerja sama dengan beberapa kafe seperti Samurai Coffee.
Produk yang sering disebutnya sebagai produk mikan, alias bisa diminum dan dimakan ini dibuat dari rumput laut berbentuk bubuk. Setelah diberi formulasi khusus maka bentuknya akan mengeras dan dijamin tak akan bocor meskipun digunakan untuk wadah air panas. Hanya saja, mungkin rasa airnya akan berubah karena tercampur oleh jelly.
Semua bahan yang digunakan pada gelas Evoware ini alami dan tak menggunakan gelatin atau pelapis hewani sehingga menurut David bisa dijamin kehalalan dan keamanannya.
Bagi Anda yang sedang diet, mungkin cocok juga memesan gelas ini, karena Evoware kaya akan serat. Jangan khawatir jika konsumsi gelas tak habis, Anda cukup meletakkannya pada pot-pot tanaman di rumah dan gelas ini akan terurai menjadi pupuk.
Sayangnya, gelas Evoware baru bisa dipesan untuk warga Jakarta saja, sebab komponennya yang sama sekali tak memakai pengawet tidak memungkinkan pengiriman ke luar kota.
"Harus berada di temperatur dingin, itu yang masih kita kembangkan juga," kata David.
Evoware bisa tahan selama tujuh hari di dalam lemari pendingin, dan hanya tiga hari jika diletakkan di luar ruangan. Untuk mendapatkannya, Anda perlu merogoh kocek Rp100 ribu untuk mendapatkan lima gelas.
David masih terus melakukan pengembangan-pengembangan produk. Seperti membuat harganya lebih efisien, dan bentuk yang semakin beragam untuk menarik konsumen anak-anak. Rencananya, Evoware juga akan hadir dalam bentuk selain gelas.
Terobosan seperti David ini mungkin menjadi salah satu solusi untuk mengatasi penggunaan plastik. Meski belum masif dan skalanya masih terbatas, tetapi temuan ini penting sebagai langkah awal untuk meredam bertambahnya gunungan sampah plastik.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti