tirto.id - “Semua sudah sawit, dulu ini rawa,” kata Akirin, Kamis (18/7/2024), seraya berjalan menyusuri perkebunan kelapa sawit yang berbatasan langsung dengan areal persawahan di desanya.
Akirin adalah petani sawah di Desa Darat Sawah Ulu, Kecamatan Seginim, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Ia berjalan di perkebunan sawit seluas lebih kurang dua hektar itu dengan mengenakan hoodie, celana panjang, dan sepasang sepatu boots. Di punggung laki-laki paruh baya itu terlihat ransel yang berisi botol air minum dan sejumlah alat pertanian. Terselip pula sebuah pisau bersarung di pinggangnya, peranti serba guna untuk membantu Akirin saat menggarap sawah.
Di tengah perkebunan sawit, Akirin menghentikan langkahnya. Ia lalu menghentakkan sepatu ke tanah perkebunan kelapa sawit itu. “Dulu, kalau dihentakkan tanah di sini, tanah di sana akan bergoyang, tapi sekarang sudah tidak lagi, tanah sudah keras, padahal dulu ini daerah rawa,” ujar Akirin.
Akirin mengarahkan telunjuknya ke sebuah parit kecil yang membelah area perkebunan kelapa sawit, langsung menuju sawah di sebelahnya. Aliran mata air di dalam parit itu sangat surut, bahkan lebih mirip genangan. Ia menjelaskan bahwa aliran air itu bersumber dari Ulu Tulung Pama Mighah.
Ulu tulung adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Serawai, suku asli Kabupaten Bengkulu Selatan, untuk menyebut sumber mata air. Secara garis besar, penduduk Serawai mengenal dua jenis ulu tulung yaitu Ulu Tulung Telagau di Ghimbau (Ulu Tulung Telaga di Rimba) dan Ulu Tulung Beghaik (Ulu Tulung Air Mengalir).
Sejak dahulu kala, ulu tulung sangat penting penting karena merupakan sumber aliran air yang digunakan masyarakat Serawai untuk bertani dan keperluan rumah tangga. Namun, saat ini, sejumlah ulu tulung di Bengkulu Selatan mulai mengering. Keberadaan sumber mata air dari alam semakin hari semakin berkurang.
Kepala Akirin mendongak sedikit ke atas, seperti mencari ingatan yang tertinggal di benak. Ia lantas bercerita, sekira 25 tahun lalu, aliran Ulu Tulung Pama Mighah itu dialiri air yang cukup deras dan dijadikan sumber pengairan utama untuk sekira 10 hektar sawah, termasuk sawah yang saat ini sudah menjadi perkebunan sawit. Tetapi, 15 tahun lalu, aliran air dari Ulu Tulung Pama Mighah sudah tidak mampu menjadi sumber pengairan utama.
Sumber mata air tersebut mulai mengering, upaya pelestarian juga tidak dilakukan. Alih-alih menjaga atau memutar otak supaya sumber mata air tersebut kembali asri, banyak warga yang justru mengalihkan fungsi lahan: berhenti menanam padi dan menggantinya dengan kelapa sawit.
Sembari mengisap rokok kretek dan mengepulkan asapnya ke udara, Akirin yang duduk berjongkok menjelaskan bahwa sumber mata air itu kini hampir kehilangan fungsinya. “Paling cuma satu hektar lagi yang masih menggunakan Ulu Tulung Pama Mighah untuk sumber mata air utama,” ucap bapak dua anak ini.
Akirin melanjutkan, beruntung pengairan persawahan di samping perkebunan sawit dibantu dari Ulu Tulung Danau Kuranding yang berjarak 7 kilometer dari desanya. Bantuan pengairan ini membuat pertanian di sebagian besar wilayah sawah Desa Darat Sawah Ulu, termasuk sawah miliknya, masih berjalan cukup normal. Meskipun hasilnya tidak tentu, kaum petani seperti Akirin masih bisa panen dua kali dalam setahun.
Bukan hanya Ulu Tulung Pama Mighah saja yang hampir kehilangan fungsinya. Masih banyak lagi sumber mata air di negeri ini yang mengalami nasib serupa. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018 menunjukkan, Indonesia memiliki 10.321 mata air. Namun, dalam kurun waktu 10 tahun atau sejak 2008 hingga 2018, tingkat mata air yang hilang dan mengering mencapai 20-40 persen.
Ahli Ilmu Tanah sekaligus Dosen Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu (Unib), Prof. Dr. Ir. Priyono Prawito, M.Sc, meyakini bahwa hilangnya sumber mata air seperti Ulu Tulung Pama Mighah dipengaruhi oleh tutupan lahan di sekitarnya yang mulai tergerus.
Priyono menjelaskan, sumber mata air dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan asalnya, yaitu air tanah dangkal dan air tanah dalam. Mata air yang berasal dari tanah dangkal secara umum lebih mudah terpengaruh terhadap perubahan lingkungan, sedangkan mata air dari tanah dalam cenderung tidak mudah terpengaruh terhadap perubahan lingkungan ataupun musim.
“Misalnya yang di Manna (Ulu Tulung Pama Mighah) yang sudah kering, saya yakin itu sumbernya adalah sumber air tanah dangkal,” sebut Priyono, Senin (29/7/2024).
Priyono meyakini, jika dilihat dengan lebih teliti lagi, sumber air tanah masih bisa ditelusuri, termasuk yang sudah berubah menjadi lahan pertanian.
Faktor yang langsung berpengaruh terhadap sumber air tanah dangkal yang telah kering itu adalah penutupan hutan seperti land cover. “Land cover ini 'kan bisa hutan primer, hutan sekunder, bisa lahan pertanian, bisa permukiman,” jelas Priyono.
Manfaat Ulu Tulung Danau Kuranding bagi Petani Sawah di Seginim
Ulu Tulung Danau Kuranding terletak di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Air Nipis, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Mata air ini berjarak 25 km dari Kota Manna, ibu kota Kabupaten Bengkulu Selatan. Mata air di Danau Kuranding memiliki luas sekitar 18 hektar, sedangkan wilayah perairannya berkisar 10 hektar. Lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Bukit Riki.
Ulu Tulung Danau Kuranding adalah sumber air yang sangat penting untuk sekitar 3 ribu hektar sawah di Kecamatan Air Nipis dan Seginim. Dua kecamatan itu memang terkenal sebagai daerah penghasil beras di Kabupaten Bengkulu Selatan. Selain itu, Ulu Tulung Danau Kuranding juga merupakan salah satu tempat favorit masyarakat mencari ikan.
Di terik sore hari pada Kamis (18/7/2024), seorang petani dari Desa Jeranglah Tinggi, Kecamatan Manna, berjongkok di pinggir Ulu Tulung Danau Kuranding, ia sedang memancing. Sekira 30 menit sebelumnya, pria yang enggan disebut namanya ini terlebih dulu menggarap sawahnya yang berlokasi di Desa Muara Pulutan, Kecamatan Seginim, berjarak 11,8 km dari mata air Danau Kuranding.
“Kegunaan (mata air Danau Kuranding) memang besar, besar fungsinya bagi kami petani di daerah wilayah hilir,” kata si petani dengan suara seraknya. Ia mengungkapkan, berkat Ulu Tulung Danau Kuranding, para petani masih bisa mengandalkan hasil sawah mereka.
“Kalau Ulu Tulung Danau Kuranding mengering, akibatnya bisa berbahaya, sawah tidak akan ada airnya, inilah sumbernya,” ucap lelaki paruh baya ini.
Para petani sawah di Kecamatan Air Nipis dan Seginim merayakan musim panen sebanyak 2 kali dalam setahun. Rata-rata hasil panen padi mereka mencapai 35 karung per hektar sawah, dengan rincian 60 kilogram per karungnya. Jika dikalkulasikan, estimasi hasil sawah di Kecamatan Air Nipis dan Seginim yang menggunakan pengairan Ulu Tulung Danau Kuranding dapat mencapai lebih kurang 12.6 ribu ton per tahun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bengkulu Selatan, rata-rata produksi padi di wilayah tersebut selama periode 2019-2023 mencapai 55.1 ribu ton per tahun. Dengan kata lain, sekira 22.8 persen dari total keseluruhan produksi padi di Kabupaten Bengkulu Selatan merupakan hasil dari lahan sawah yang menggantungkan pengairannya kepada Ulu Tulung Danau Kuranding.
Dengan demikian, tentu bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila Ulu Tulung Danau Kuranding kehilangan fungsinya. Produksi padi di Bengkulu Selatan sudah pasti akan menurun. Petani sawah perlahan akan kehilangan mata pencahariannya dan sejumlah masalah sosial ekonomi lain pun akan muncul sebagai efek domino.
Ulu Tulung Danau Kuranding hingga saat ini masih menjadi tumpuan utama suplai air persawahan di Kecamatan Air Nipis dan Seginim. Tetapi, sumber mata air ini tak luput dari ancaman kerusakan lingkungan. Bukan tidak mungkin nantinya Ulu Tulung Danau Kuranding bernasib sama dengan Ulu Tulung Pama Mighah.
Kemungkinan menyurutnya sumber mata air Danau Kuranding di masa depan membuat para petani khawatir. Mereka menyadari apabila tidak segera dilakukan tindakan nyata untuk menjaga kelestarian Ulu Tulung Danau Kuranding, sumber mata air tersebut bisa saja mengering. Penyurutan air di Ulu Tulung Danau Kuranding, meski belum terlalu signifikan, sudah mulai terlihat.
Si petani yang tengah memancing itu mengarahkan telunjuknya ke bibir Ulu Tulung Danau Kuranding. “Kalau terus seperti ini, lambat laun habis, danau ini habis, kamu bisa lihat sendiri. Ini kan perlahan sebenarnya terus surut airnya, makin lama makin habis,” ucapnya.
Upaya Menjaga Kelestarian Sumber Air Danau Kuranding
Perlunya pelestarian sumber mata air alias ulu tulung sebenarnya sudah menjadi nasihat turun temurun dan pengetahuan umum untuk para petani, tak terkecuali bagi Elmi Niarti, petani dari Desa Sindang Bulan, Kecamatan Seginim.
“Kata orang dulu, jangan menanam sawit (di sekitar sumber mata air), jangan pula buka lahan atau menebang pohon di sekitarnya, jangan pernah menggunduli lahan di pangkal danau,” tandas Elmi, Sabtu (20/7/2024).
Meski belum maksimal, upaya untuk menjaga Ulu Tulung Danau Kuranding telah dilakukan oleh masyarakat Desa Tanjung Beringin, yaitu dengan cara melakukan penanaman pohon jenis mahoni di pinggir danau.
Kepala Desa Tanjung Beringin, Sabirin, menjelaskan langkah tersebut dilakukan untuk menahan air di pinggir danau supaya tidak terjadi erosi. Kegiatan penanaman itu dilakukan pada 2022 lalu, didukung oleh Balai Wilayah Sungai Sumatera VII Bengkulu.
“Kalau kemarin, ada langkah untuk menahan air di danau itu, ada penghijauan. Tapi nampaknya tidak begitu maksimal, karena bibitnya banyak yang mati yang hidup hanya separuh saja, itu didukung oleh Balai Sungai. Kami masyarakat ikut menanam, sekitar sekeliling danau, itu tanaman kayu,” kata Sabirin, Senin (22/7/2024).
Namun, lanjut Sabirin, gerakan kolektif yang dilakukan oleh masyarakat untuk menjaga keberadaan Ulu Tulung Danau Kuranding memang belum muncul. Masyarakat cenderung akan bergerak apabila diinisiasi oleh lembaga atau jika ada dananya.
“Untuk partisipasi masyarakat itu memang ada tumbuh dari masyarakat itu, cuma kadang-kadang harus diikuti dengan dana sebagai stimulan bagi mereka untuk berkegiatan bersama,” ucap Sabirin.
Sabirin menambahkan, masyarakat sebenarnya memahami dan peduli tentang kelestarian Ulu Tulung Danau Kuranding. Tetapi, kegiatan itu perlu didukung pendanaan yang memadai agar masyarakat dengan senang hati berpartisipasi. Itulah mengapa, menurut Sabirin, merawat danau memerlukan dana yang tidak sedikit.
Beberapa tahun lalu, pihak Desa Tanjung Beringin melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) telah membuat program pariwisata di Ulu Tulung Danau Kuranding. Sayangnya, usaha tersebut tidak berjalan dengan baik karena sepi pengunjung.
Padahal, Danau Kuranding sebenarnya diproyeksikan sebagai destinasi wisata dan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian desa. Selain itu, adanya pariwisata diharapkan akan dapat lebih meningkatkan rasa peduli masyarakat untuk menjaga lingkungan Ulu Tulung Danau Kuranding.
Solusi Pelestarian Sumber Mata Air Danau Kuranding
Kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap Ulu Tulung Danau Kuranding seharusnya bisa menjadi modal utama untuk memaksimalkan upaya menjaga sumber mata air tersebut. Gerakan kolektif masyarakat dan dukungan dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, Non Governmental Organization (NGO), serta para pegiat lingkungan sangat diperlukan.
Kasi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Kesatuan Pengelolaaan Hutan Lindung (KPHL) Unit V Bengkulu Selatan, Franki Chandra, merekomendasikan empat upaya untuk menjaga sumber mata air tersebut.
Ruang lingkup tugas Franki Chandra, yakni di kawasan Hutan Lindung Bukit Riki, memang berbatasan langsung dengan Ulu Tulung Danau Kuranding. Empat upaya yang diusulkan Franki Chandra tersebut yaitu penanaman pohon pengganti, pengembangan objek wisata, kearifan lokal, dan memupuk rasa peduli masyarakat.
Pertama, masyarakat diberdayakan untuk menanam pohon pengganti di sekitar Ulu Tulung Danau Kuranding. Maksudnya, warga diberi keleluasaan menanam jenis pohon tertentu yang mereka inginkan. Peluang keberhasilan menanam pohon pengganti cenderung lebih tinggi ketimbang program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang sudah menyediakan jenis tanaman tertentu untuk ditanam masyarakat.
Menurut Franki, penanaman jenis pohon yang diinginkan masyarakat sebaiknya diakomodir. "Kalau kita bicara RHL itu 'kan hanya konseptual. Nah, metode yang bagus menurut saya adalah penanaman pohon pengganti, jenisnya diserahkan kepada masyarakat sendiri, mereka inginnya menanam apa,” ujar Franki, Sabtu (18/7/2024).
Kendati begitu, masyarakat perlu dibekali pengetahuan mengenai jenis tanaman yang memiliki fungsi menjaga struktur tanah dan sumber mata air. Dalam hal ini, kata Franki warga mungkin akan tertarik memilih tanaman sahabat mata air yang bernilai ekonomis seperti alpukat, durian, sukun, jambu, dan lainnya.
Apa yang disampaikan Franki senada dengan pendapat Priyono Prawito, seorang akademisi asal Salatiga, Jawa Tengah. Ia menekankan agar masyarakat mulai mengusahakan supaya tutupan lahan di sekitar Ulu Tulung Danau Kuranding tetap terjaga.
Caranya, imbuh Priyono, adalah dengan menanam tanaman yang bisa menahan dan menerima air di dalam tanah, salah satunya agroforestri. "Agroforestri bisa juga, kayak kebun karet, kebun kopi, pasti lebih ramah, karena airnya disimpan di situ,” ujarnya.
Kedua, pembukaan objek wisata Ulu Tulung Danau Kuranding yang dirintis oleh Desa Tanjung Beringin perlu dikembangkan dan dikelola lebih baik lagi. Masyarakat pun diharapkan dapat menjaga keasrian objek wisata tersebut.
“Nah, objek wisata itu ya salah satunya biar tidak terjadi pencemaran air dan tanahnya. Masyarakat diharapkan untuk tidak membuang sampah sembarangan,” ucap Franki.
Ketiga, penggunaan kearifan lokal. Mitos-mitos tertentu terkait Ulu Tulung Danau Kuranding bisa berbuah efek positif untuk menjaga kelestarian sumber air tersebut. Bagi sebagian masyarakat Bengkulu Selatan, ulu tulung atau sumber mata air memang masih sering dikaitkan dengan hal-hal magis atau mistis.
“Ini menarik, kearifan lokalnya masih ada. oleh karena itu Danau Kuranding itu tidak cepat mengalami perubahan yang signifikan di area itu dibandingkan yang lain-lain,” sebut Franki.
Mitos mistis di Ulu Tulung Danau Kuranding memang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat setempat. Datuk Gintan Ali yang merupakan salah satu tetua Desa Tanjung Beringin mengatakan, orang harus menjaga sikap dan tidak melakukan hal yang tidak patut di kawasan Ulu Tulung Danau Kuranding.
“Kalau orang berkata sombong atau melakukan hal yang tidak sesuai norma, bisa saja dia akan kehilangan barang berharga yang dia bawa ke Ulu Tulung Danau Kuranding, misalnya jam tangan dan cincin,” kata Datuk Gintan Ali, Kamis (18/7/2024).
Keempat, memupuk rasa kepedulian masyarakat terhadap pentingnya Ulu Tulung Danau Kuranding. Selama warga masih peduli, selama itu pula asa untuk menjaga dan melestarikan Ulu Tulung Danau Kuranding akan tetap terjaga.
Franki menyebutkan, harus ada kepedulian dari masyarakat untuk menjaga kelestarian sumber mata air Danau Kuranding, dengan dukungan berbagai pihak. "Ya harus ada kerja sama antara pemerintah, NGO, dan kawan-kawan pegiat lingkungan untuk bisa menumbuhkan rasa peduli mereka (masyarakat),” tegasnya.
------------
* Artikel ini merupakan hasil fellowship program “Let’s Talk About Climate: Training Program for Journalist” kerja sama AJI Indonesia dan DW Akademie dengan dukungan Kementerian Luar Negeri Jerman. Isi seluruh artikel merupakan tanggung jawab penulis.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Iswara N Raditya