tirto.id - Gubernur Jambi non-aktif, Zumi Zola didakwa menerima gratifikasi sekitar Rp40 miliar dan satu unit Toyota Alphard. Dia juga didakwa menerima uang senilai USD177.300, dan SGD100.000. Diduga dana hasil rasuah yang dia lakukan dialirkan juga ke Partai Amanat Nasional (PAN).
Dana yang masuk ke partai kerap susah dilacak. Salah satu sebabnya, nyaris setiap korupsi diklaim sebagai tindakan personal kader Partai politik (Parpol). Di saat itu juga terjadi hal yang membingungkan karena sebagian besar partai justru memberikan bantuan hukum. Tak heran tindak pidana korupsi terjadi secara berulang.
Lantas bisakah mencari alternatif hukuman yang menimbulkan efek jera terberat? Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz mengatakan tindakan tegas untuk Parpol yang menerima dana korupsi bisa dieksekusi. Jalurnya melalui jeratan UU Tipikor.
"Jika menggunakan penafsiran korporasi dalam UU Tipikor, maka partai bisa dikategorikan sebagai unit korporasi," kata Donal kepada Tirto, Sabtu 25 Agustus 2018. Donal merujuk Peraturan MA (Perma) No 13 tahun 2016 tentang Kejahatan Korporasi.
"Selama ini memang penegak hukum belum menjerat aliran-aliran uang yang diduga masuk ke partai. Padahal sejumlah kasus menunjukkan indikasi aliran dana ke partai. Perma itu bisa dijadikan acuan untuk mempidanakan korporasi dan partai," imbuhnya.
Hal serupa juga diungkapkan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar. Menurutnya selain mensejajarkan dengan korporasi, Parpol bisa dibubarkan karena ideologinya dianggap menyimpang.
Namun menurutnya jika membubarkan Parpol lewat UU Parpol, kita akan bertemu dengan hambatan yang besar. Sebab pembuat undang-undang adalah orang-orang Parpol.
"Konstruksi aturan partai lewat UU Parpol tak pernah ke arah sana (pembubaran). Karena partai politik sendiri yang menyusunnya. Mereka tahu itu. Ada unsur kesengajaan? Wallahualam," katanya saya dihubungi Tirto, Sabtu (25/8/18) siang.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengakui Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang tegas, untuk menindak Parpol yang menerima dana korupsi. Sejauh ini kasus tindak pidana korupsi hanya akan menyasar ke oknum.
"Contoh dalam UU Pemilu, penindakan parpol yang menggunakan dana dari hasil korupsi untuk kampanye, hanya berlaku pada masa Pemilu. Di luar itu, regulasi tersebut tidak menjangkau ke arah sana. Sangat terbatas," kata Titi sangat dihubungi Tirto, Sabtu (25/8/18) siang.
Merujuk UU Parpol pun, kata Titi, sanksi pembubaran parpol oleh MK hanya sebatas kasus ideologis dan kesesuaian UUD 1945. UU tersebut tidak menjangkau pada ranah pengawasan keuangan parpol yang sangat lemah.
"Pengelolaan anggaran partai tidak akuntabel dan diaudit oleh KAP yang hanya ditunjuk oleh parpol. Audit pun hanya sebatas audit kepatuhan, seperti dari mana dana pemasukan, apa dari asing atau tidak. Namun tidak jelas ada aturan apakah dana tersebut dari korupsi atau tidak," jelas Titi.
Titi menyarankan, negara bisa memberikan sanksi agar Parpol yang terima dana korupsi tak bisa diikutkan dalam Pemilu. Hal itu terjadi jika dana rasuah mengalir pada struktural partai di tingkat kota atau provinsi.
"Namun jika aliran dana masuk secara struktural dari atas hingga paling bawah jajaran partai, baru bisa ada alasan kuat pembubaran partai," kata Titi.
Parpol Menolak Dibubarkan
Beberapa partai besar yang para kadernya pernah tersandung kasus korupsi, unjuk komentar. Mereka merespons wacana pembubaran Parpol jika terbukti menerima dana hasil korupsi.
Sekretaris Badan, Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari Eva mengaku tak setuju atas efek jera bagi Parpol itu. “Karena asas penegakan hukum dari kejahatan kriminal korupsi, bukan organisasi. Enggak fair jika bubarkan Parpol. Lah, wong karena oknum kok bisa saya ikut bubar," kata Eva saat dihubungi oleh Tirto, Sabtu 25 Agustus 2018.
Dia mengakui bahwa dana Parpol diambil dari berbagai arah. Tapi dia memastikan bukan dari tindak pidana korupsi.
"Dana kita dari potong gaji anggota DPR dan DPRD untuk biaya operasional. Ada juga buka rekening gotong royong dari sumbangan publik, tapi sesuai aturan," tuturnya.
Begitu juga dengan Wasekjen DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade. Pihaknya telah jauh hari berkomitmen tak gunakan dana hasil korupsi untuk menghidupi Parpol.
"Ada sanksi dari partai ke kader jika korupsi, langsung pecat," kata Andre kepada Tirto, Sabtu 25 Agustus 2018.
Jika menimbang perlunya pembubaran parpol yang menerima dana pemasukan dari korupsi, Andre bimbang. Dia mengatakan hal tersebut perlu didiskusikan terlebih dahulu.
"Ada kasusnya yang menyumbang ke partai, tapi kita tidak tahu ternyata itu uang dari korupsi. Kita harus objektif," kata Andre.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana