Menuju konten utama

Bisakah Mata Rantai Budaya Korupsi Partai Golkar Diputus?

Satu-persatu kader Partai Golkar terendam dalam praktik korupsi di antara keruhnya konflik internal.

Bisakah Mata Rantai Budaya Korupsi Partai Golkar Diputus?
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah), Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita (kanan), dan Sekjen Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus (kiri) memberikan konferensi pers terkait mundurnya Idrus Marham sebagai Menteri Sosial dan kader Partai Golkar, di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Kamis (24/8). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/18.

tirto.id - Dinamika internal Partai Golkar tergolong berlangsung cepat. Drama perpecahan internal membuat partai tersebut rajin merombak struktur kepengurusan. Meski pimpinan partai berganti, mata rantai kader yang terjerat korupsi tak mampu dipatahkan.

Ketua Pemenangan Pemilu Wilayah NTB DPP Golkar, Sirajuddin Abdul Wahab menegaskan partainya kerap memperisai diri dengan berbagai program anti korupsi. Salah satunya ialah program “Golkar Bersih” yang digelorakan di Mukernas Golkar pada tahun 2017.

"[Langkah konkret] dari Golkar sosialisasikan hasil Munaslub, di mana salah satunya adalah pemberantasan korupsi. Itu jadi tagline utama partai, bagian dari visi Golkar menghadapi tantangan ke depan,” kata Sirajuddin di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (25/8/2018).

Meski program itu diinisiasi dan digalakkan oleh Setya Novanto, ternyata dia sendiri yang menyalahinya. Mantan ketua umum Partai Golkar itu divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dia dianggap merugikan negara dengan memperkaya diri sendiri sebanyak 7,3 juta dolar AS.

Jauh sebelumnya, pada periode kepemimpinan Aburizal Bakrie, salah satu kader Golkar yang terjerat kasus korupsi adakah Rusli Zainal. Eks Gubernur Riau itu terlibat kasus korupsi perubahan Perda 6/2010 tentang Penambahan Anggaran Pembangunan Venue untuk Pekan Olahraga Nasional ke-18 di Pekanbaru, Riau. Setelah menjadi pesakitan, Rusli langsung dipecat Golkar. Partai itu juga tidak memberi bantuan hukum untuknya.

Selain Rusli, kader Golkar lain yang terlibat kasus korupsi adalah Ratu Atut Chosiyah. Ia terlihat kasus suap saat Golkar masih dipimpin Aburizal Bakrie, 2013 silam. Kasus suap juga menimpa kader Golkar lain yang menjabat Gubernur Riau periode 2014-2019, Annas Maamun. Ia terlihat kasus suap alih fungsi lahan di wilayah kekuasaannya.

Kemudian yang terbaru di era kepemimpinan Airlangga Hartarto yakni kasus dugaan korupsi yang melibatkan Idrus Marham. Idrus sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diduga menerima suap dalam proyek pembangunan PLTU Riau-1.

Catatan hitam pengurus Golkar itu menurut Sirajudin tidak berarti partainya gagal dalam hal komitmen pemberantasan korupsi.

"Tidak bisa dibilang gagal karena ini menjadi komitmen kami di kepengurusan Golkar hasil munaslub. Kami tanda tangan pakta integritas termasuk Bang Idrus. Makanya dia tak hanya meletakkan jabatan Mensos, tetapi juga meletakkan jabatan Korbid di Golkar," terangnya.

Golkar Adalah Wajah Semua Partai

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Muchtar menegaskan susah mencari penyebab tunggal mengapa kader Partai Golkar terlibat korupsi. Bisa juga karena internal partai yang butuh asupan dana dan pola pendanaan yang buruk.

“Tapi mungkin juga karena keserakahan pribadi, tidak ada kaitan dengan partai. Kalo pribadi cari duit bisa banyak polanya, bisa cari dana balik modal atau dana tambahan, untuk maju ke kontestasi berikutnya,” ujar Zainal ketika dihubungi reporter Tirto, Sabtu 25 Agustus 2018.

Ahli hukum tata negara UGM tersebut menuturkan, hingga kini Golkar menjadi partai yang populer. Di antara pengaruh dan kewenangannya yang besar, transparansi pendanaannya tidak jelas. Hal itu memicu celah bagi tindak pidana korupsi.

“Bahkan kalau kita lihat, usaha meringankan mantan napi korupsi juga masih ada dengan segala dalih,” tuturnya.

Namun menurut Zainal, beragam modus korupsi yang menimpa Golkar, juga menghantam partai lainnya. Sebab ada banyak partai yang memiliki sistem serupa dengan Partai Golkar. Maka dari itu menurutnya Partai Golkar adalah wajah dari semua partai.

“Enggak ada yang beda-beda banget. PDIP dan PKB juga nyumbang banyak. Hampir semua partai kaya gitu,” tegasnya.

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Reza Syawawi juga sependapat dengan Zainal. Korupsi yang seolah membudaya bukan hanya muncul dari partai-partai warisan Orde Baru.

“Sistem kepartaian itu semuanya sama, boleh dibilang tidak ada mitigasi korupsi, biasanya ketika korupsi sudah terjadi parpol lepas tangan,” kata Reza ketika dihubungi reporter Tirto, Sabtu 25 Agustus 2018.

Menurut Reza, sepanjang partai politik memiliki kekuasaan yang luas di berbagai lembaga politik, maka iklim korupsi susah dihindari. “Proses hukumnya harus diarahkan ke Parpol, apalagi ada indikasi Parpol ikut menikmati hasilnya,” sarannya.

Hal senada juga diungkapkan Peneliti Centre for Strategic and International Studies Arya Fernandes. Dia menganggap maraknya politikus yang terjerat kasus korupsi adalah tantangan bagi semua Parpol di Indonesia.

Salah satu yang memunculkan potensi korupsi karena mahalnya pembiayaan politik. Faktor itu membuat banyak politikus mengambil "jalan pintas" untuk meraup pundi-pundi aliran dana.

Menurut Arya, pencegahan dapat dilakukan, salah satunya, dengan meniadakan mahar politik untuk menjadi caleg atau calon kepala daerah. "Penentuan caleg dan kepala daerah itu kan pintunya. Harus dibikin sistem untuk menyebabkan perilakunya tidak koruptif," kata Arya saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu 25 Agustus 2018.

Baca juga artikel terkait PARTAI GOLKAR atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana