tirto.id - Kiwari, film atau serial yang mengadaptasi cerita dari Wattpad tengah mengalami masa keemasan. Berbagai genre kisah yang tengah digandrungi khalayak muda, khususnya Gen Z dan Alpha, sedang menanti giliran untuk tampil ke layar lebar.
Salah satu novel Wattpad yang beruntung mendapat giliran alih wahana di tahun ini adalah Invalidite yang ditulis Faradita, pemilik akun Wattpad @faradisme.
Novel ini meraih sukses besar saat masih ongoing di aplikasi tersebut. Gaungnya telah diperbincangkan sejak 2018 dan tawaran adaptasi pun menyusul tak lama berselang. Rangkaian proses produksi filmnya kemudian dikonfirmasi berlangsung pada 2021.
Meski sempat tertunda selama lebih kurang dua tahun, film Invalidite akhirnya rilis secara eksklusif di kanal streaming Amazon Prime Video pada 21 September 2023 kemarin.
Herwin Novianto yang sekitar sebulan lalu menelurkan Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti kini hadir kembali menakhodai departemen penyutradaraan.
Kisah filmnya sendiri berkutat di seputaran kehidupan perkuliahan dan memotret dinamika hubungan sepasang protagonis utama: Pelita (Jessica Mila), mahasiswi difabel berprestasi, dan Dewa (Omar Daniel), cucu seorang pengusaha sukses yang kerap membuat onar di kampus.
Menilik perhatian yang mulai tumbuh terhadap isu disabilitas dalam khasanah sinema Tanah Air, Invaliditejadi menarik untuk didedah. Terutama, soal bagaimana ia memperlakukan isu tersebut dalam jalinan naratifnya.
Perihal Ketimpangan
Secara ontologis, disabilitas jelas merupakan sebentuk ketimpangan. Secara materiil, kondisi ini tergolong ketimpangan fisik yang kasat mata dan gampang diidentifikasi. Namun, dimensi ketimpangan yang melekat pada diri seorang difabel sesungguhnya tidaklah tunggal.
Karakter Pelita digambarkan mengalami ketimpangan multidimensi. Kakinya cacat sejak lahir, ibunya meninggal ketika dia masih kecil, sang ayah sering kali seolah menganggapnya tidak ada, pun dia masih harus bergumul dengan kehidupan di rumah kontrakan yang serba terbatas.
Biaya kuliah Pelita sepenuhnya ditopang oleh beasiswa dari kampusnya. Situasi ini, diakui atau tidak, menempatkan Pelita dalam posisi rentan. Pasalnya, dia wajib tunduk pada seluruh peraturan kampus, tak terkecuali mesti memenuhi keinginan implisit sang pemilik universitas.
Disparitas relasi kuasa inilah yang kemudian membawanya masuk dalam pusaran konflik lintas generasi. Mengemban citra selaku mahasiswa teladan, Pelita tak kuasa menolak tekanan itu.
Awal perkenalannya dengan Dewa pun penuh drama. Itu dimulai dari instruksi pimpinan kampus yang menunjuknya menjadi mentor untuk Dewa yang kuliahnya berantakan. Tak disangka, mereka berdua ternyata lambat laun menjadi semakin akrab.
Berkat bantuan Pelita, kepercayaan Dewa perlahan mulai terbangun. Dia pun turut mempekerjakan Pelita di studio fotografi miliknya. Dia bahkan sampai menalangi utang kontrakan rumah Pelita dan ayahnya. Ketimpangan kelas ekonomi gamblang terpampang di sini.
Lalu, kotak pandora mengenai relasi Dewa dan kampus tersebut pun terbuka. Pelita tak siap menghadapi kerumitan yang timbul dan membuat kepercayaan Dewa rontok.
Mental Pelita juga kian terpuruk ketika ayahnya yang bekerja serabutan tak kunjung beranjak dari rasa bersalah terkait kematian ibu Pelita. Keputusan sang ayah akhirnya turut menjerumuskan Pelita ke dalam jurang. Dia menjadi korban penculikan, sementara di saat bersamaan Dewa tengah berjuang menyelamatkan nyawanya sendiri.
Penonton tak bakal kesulitan untuk mencerna parade ketimpangan yang secara bertubi-tubi menerpa kehidupan Pelita. Di babak pertama, kita mulanya diberi tahu hanya satu dimensi ketimpangan. Jumlahnya lalu melonjak menjelang klimaks babak ketiga.
Respons dan aksi Pelita menghadapi masalah-masalahnya yang bertumpuk tentu bakal menarik disimak. Namun, entah mengapa karakter Pelita malah dibuat tak berdaya dan sangat monoton. Dia seakan tidak mampu berinisiatif untuk mencari cara lepas dari jerat situasi laknat tersebut.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan citra Pelita sebagai karakter teladan yang selalu tampil solutif dan berani sebagaimana ditampilkan di awal film.
Pengembangan karakter Pelita terkesan mengalami simplifikasi berlebihan tatkala memasuki paruh kedua film. Alhasil, dia terjebak dalam pakem stereotipe tertentu yang terlalu sering didaur ulang dalam segudang film drama terdahulu.
Adegan pamungkas film paling cocok merepresentasikan premis tersebut, bahwa Pelita hanya pasrah menggantungkan nasibnya pada upaya keras orang lain untuk keluar dari penjara konflik yang menyelubunginya.
Walakin, penjabaran tipe-tipe disparitas yang cukup komprehensif mengikuti alur plotting cerita mendadak terasa hambar di momen puncak. Kepribadian Pelita selaku seorang difabel kian berjarak dari dunia nyata yang hendak dia wakili, memicu sebentuk antiklimaks yang seyogianya dapat dihindari.
Jebakan Naratif
Film-film panjang lokal yang menghiasi jaringan layar lebar arus utama maupun ruang-ruang streaming alternatif dengan tawaran pembicaraan tentang isu disabilitas sejujurnya belum menunjukkan progresi berarti.
Saya mencatat setidaknya ada tiga ciri umum yang sering muncul dalam pilihan narasi yang mengangkat karakter difabel dalam film Indonesia kontemporer: latar belakang kelas proletar, talenta istimewa tapi selalu kalah dalam benturan relasi kuasa, serta nyaris selalu tampil bodoh di pengujung konflik.
Maka saya memimpikan sineas dalam negeri mulai berani mengimajinasikan karakterisasi semacam Kaz Brekker dalam serial Shadow and Bone. Dia seorang difabel yang sangat berdaya—panjang akal, skeptis, berani mengambil risiko, serta penuh kalkulasi.
Tanpa segala atribut yang melekat pada dirinya tersebut, Kaz mustahil sanggup memimpin sebuah kelompok kriminal terkemuka di Kota Ketterdam. Dalam banyak segi pula, tokoh Pelita sebetulnya berbagi irisan serupa dengan Kaz.
Namun, apakah semata-mata karena Pelita berjenis kelamin perempuan sehingga karakternya kehilangan kesempatan mempertontonkan kelihaian berdiplomasi atau menghitung proyeksi untung-rugi dari keinginan manipulatif sang pemilik kampus?
Novel besutan Faradita yang menjadi sumber primer film ini mungkin saja tidak memuat kesadaran gender secara mendalam. Namun, justru di situlah letak peluang sang sineas guna menghadirkan improvisasi terkait pemaknaan cerita.
Penyesuain dalam rangkaian proses adaptasi dari medium teks ke bingkai audio-visual sesungguhnya lumrah belaka. Namun sayangnya, saya tidak menemukan deviasi kreatif terkait penyajian relasi kuasa antar gender dimaksud.
Herwin Novianto seharusnya lebih berani mengambil pendekatan anyar demi memperluas ruang interpretasi serta ragam pengalaman audiens, baik mereka yang telah membaca novelnya maupun yang baru atau hanya menonton versi filmnya.
Elemen krusial seperti susunan plot hingga kualitas penokohan yang gamang dalam Invalidite sejatinya kini mengandung jenis disparitas teranyar. Ketimpangan naratif yang timbul agaknya menjadi sinyal peringatan bahwa pembuat film lokal lagi-lagi masih kerap jatuh dalam lubang stereotipe yang sama.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi