Menuju konten utama
Misbar

Dunia Tanpa Suara dan Reposisi Disabilitas

Hanung Bramantyo menyuguhkan kisah asmara difabel dalam Dunia Tanpa Suara. Mencoba lepas dari perangkap bias Cinderella.

Dunia Tanpa Suara dan Reposisi Disabilitas
Header Misbar Dunia Tanpa Suara. tirto.id/Fuad

tirto.id - Penetrasi wawasan seputar disabilitas semakin hari semakin ramai merambah berbagai bidang, tak terkecuali ranah perfilman. Di tahun ini saja, tercatat sedikitnya tiga karya yang secara eksplisit mengangkat atau berkelindan di seputar tema tersebut.

Film yang tayang paling awal adalah Just Mom yang rilis di kanal Klik Film. Selanjutnya, ada Dunia Tanpa Suara, lalu disusul oleh Invalidite yang akan hadir di pengujung September nanti. Sepasang judul terakhir dapat dinikmati secara eksklusif melalui jejaring streaming Amazon Prime Video.

Persamaan di antara ketiga film tersebut? Seluruhnya menampilkan karakter perempuan difabel dalam tingkat tertentu.

Dunia Tanpa Suara bergenre drama romantis yang berlatar kehidupan metropolitan Jakarta. Ia juga menampilkan trope persinggungan antara kelas menengah dan kelas atas. Representasi kelas menengah adalah perempuan tuli bernama Arissa (Caitlin Halderman).

Arissa memiliki seorang sahabat kental sejak masa SMA bernama Kania (Nasya Marcella). Suatu hari, Kania mengenalkannya kepada Ezra (Maime Bouttier), seorang entrepreneur muda. Kania dan Ezra sama-sama berasal dari latar belakang keluarga elite.

Sehari-hari, Arissa berkutat dengan kesibukan sebagai kreator konten yang mengkhususkan diri pada produksi video bertema disabilitas serta introduksi bahasa isyarat sebagai media komunikasi terbaik. Selain itu, dia tengah mengurus persiapan rilis novel perdananya.

Setelah sebuah momen perkenalan singkat, Arissa lantas sering mampir ke tea shop “Yang Bercerita” milik Ezra. Lambat laun, tumbuh perasaan romantis dalam batin Ezra yang kemudian memantik konflik bernuansa cinta segitiga di sepanjang film.

Kisahnya jelas klasik. Pendekatannya pun sangat bercita rasa pop urban. Namun, apa yang sesungguhnya menjadi sebentuk kebaruan yang diusung oleh Hanung Bramantyo selaku sutradara kali ini?

Reposisi Naratif

Hanung secara sadar mengonstruksi semesta film ini di atas dua fondasi utama, yaitu relasi kuasa dalam konteks interaksi antargender serta pengaruh kondisi disabilitas salah satu protagonis terhadap perkembangan relasi kuasa tersebut.

Pertama, Hanung masih menggunakan formula lama tatkala mengenalkan karakterisasi masing-masing serta permulaan dialektika di antara trio protagonisnya. Arissa seorang difabel dan berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang “berbeda”.

Situasi spesifik itu membuat Ezra yang tengah jatuh hati menyeberangi batas zona nyamannya dan memasuki teritori Arissa, termasuk kewajiban menguasai bahasa isyarat. Di lain pihak, Kania tidak asing dengan metode komunikasi tersebut sebab ayah kandungnya adalah seorang tuli.

Bila kita menelisik lebih lanjut, kita akan menyadari adanya semacam ketimpangan psikologis dalam relasi Ezra dan Arissa. Sang laki-laki terbiasa hidup dalam lingkungan serba berkecukupan, termasuk sanggup membangun sebuah tea shop cukup dengan berpartner berdua.

Sementara itu, Arissa dibesarkan ibunya, Elena (Dian Nitami), yang seorang orang tua tunggal. Model keluarga yang pincang (broken home) seperti itu sebetulnya berpotensi membawa narasi film terperangkap dalam bias Cinderella, di mana seorang pangeran menyelamatkan perempuan pujaannya yang hidup menderita.

Namun, bias tersebut ternyata tidak terjadi dan di sini letak poin menariknya. Arissa secara proaktif membatasi ruang gerak Ezra, alih-alih memelihara harapan dari peluang ikatan batin yang semakin dalam dengan pria itu.

Adegan mental burnout Kania kemudian bertindak sebagai katalisator yang mengakselerasi percepatan penarikan diri Arissa. Puncaknya terdapat pada adegan komunikasi yang serba terburu-buru dan sangat emosional antara Arissa dan Ezra di halaman rumah.

Bahasa isyarat Arissa tiba-tiba mengubah tempo penyampaian menjadi jauh lebih cepat. Ezra tidak siap menghadapi perubahan tempo yang sedemikian drastis sehingga dia kelabakan saat berusaha memahami apa yang hendak disampaikan sang pujaan hati.

Secara cerdik pula, Arissa memanfaatkan momen itu sebagai justifikasi argumen bahwa mereka “tidak ditakdirkan bersama”, bahwa “dunia mereka berbeda jauh”, serta hambatan dan celah komunikasi akan terus membayangi bila mereka tetap memaksakan hubungan.

Bila kita melakukan komparasi antara dialektika hubungan Arissa-Ezra dan praktik kultur patriarki yang kadung mengakar pada sebagian besar konstruksi sosial masyarakat kita, tak pelak kita akan menemukan beberapa similaritas umum.

Contoh terbaik adalah penyajian karakter. Arissa digambarkan lebih tidak berdaya dari banyak segi (fisik, ekonomi, jejaring pergaulan) dibandingkan dengan Ezra. Saat itulah, naluri maskulinitas Ezra menuntutnya untuk bertindak menjadi semacam juru selamat.

Pada akhirnya, meskipun Arissa setengah mati menutup pintu bagi Ezra, sang pria tetap tidak peduli. Insting patriarkisnya jauh lebih dominan dan dia menganggap Arissa takkan pernah mampu hidup mandiri tanpa kehadirannya.

Justru di sini seharusnya eksistensi Kania mengambil alih. Mengetahui bahwa perasaannya terhadap Ezra tak berbalas, Kania bisa saja melancarkan serangan frontal atau bahkan menyombongkan “kelebihan” di hadapan sahabatnya.

Rupanya Kania memilih jalan damai. Sayangnya, motivasi yang dia tunjukkan bahkan hingga adegan penutup tidak cukup kuat untuk meyakinkan audiens bahwa pilihannya memang mencerminkan keikhlasan dan pengorbanan.

Kegagalan pengembangan peran Kania tersebut membuat momen klimaks film terasa kurang tajam. Arissa memang mampu menghindari jerat bias Cinderella, tapi dia masih tak kuasa melawan godaan bias patriarki yang begitu manipulatif.

Infografik Misbar Dunia Tanpa Suara

Infografik Misbar Dunia Tanpa Suara. tirto.id/FUad

Reposisi Kontemplatif

Eksplorasi yang kian jamak atas cerita-cerita difabel tentu mengisyaratkan kesegaran dalam khazanah film-film (dan serial) kontemporer dalam negeri. Apalagi jika jalinan kisah dimaksud dibungkus oleh kemasan kreatif dan inovatif.

Tantangan yang sangat krusial di depan mata adalah pencarian jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana melepaskan konstruksi naratif dari bias patriarki seperti tersebut sebelumnya, serta bagaimana meyakinkan penonton untuk pelan-pelan menerima sajian relasi kuasa yang lain dari keseharian mereka selama ini.

Bayangkan, misalnya, bila Ezra dan Arissa bertukar posisi. Apakah Arissa akan sedemikian ngotot memperjuangkan cintanya atau justru Ezra yang melakukan kekerasan fisik pada dirinya sendiri sebagai wujud frustrasi berkepanjangan atas tekanan naluri maskulin yang tidak sanggup terealisasi?

Pendekatan-pendekatan inovatif dalam cara tutur film perlu dikedepankan tanpa terus berpatok pada ekspektasi penonton kebanyakan. Bukankah salah satu fungsi terutama dari seni audio-visual adalah membuka kemungkinan pemahaman baru kepada segenap audiensnya?

Kepentingan finansial dalam produksi sebuah film tentu harus diseimbangkan dengan fungsi untuk mengedukasi dan memprovokasi cara berpikir melalui berbagai bentuk. Sesuatu yang tidak semata-mata berfokus pada penyampaian “pesan moral”.

Agaknya inilah formulasi tantangan yang akan dihadapi para pembuat film ke depan. Semesta disabilitas mungkin memiliki daya tawar tersendiri, tapi perjalanan mengarunginya tak pelak mengandung variasi perangkap yang lihai bersembunyi.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi