tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sarana kelengkapan rumah jabatan anggota DPR tahun anggaran 2020. Selain Indra, enam orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka.
KPK mengungkapkan penyidik menerapkan pasal soal kerugian keuangan negara dengan nilai miliaran rupiah. Penyidik juga telah memeriksa Indra Iskandar. Dia diperiksa soal dugaan adanya vendor yang mendapatkan keuntungan dengan tidak sepatutnya dalam pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR.
Namun, penyidik tidak menjelaskan lebih lanjut soal berapa vendor yang diduga terlibat maupun besaran aliran uang yang masuk ke vendor tersebut. Dalam pemeriksaan itu, KPK turut mendalami kaitan antara jabatan dan tugas saksi selaku Sekjen DPR RI.
Penyidikan kasus ini sendiri telah dimulai sejak 23 Februari 2024 lalu. Saat itu, KPK mengumumkan telah memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam pengadaan sarana kelengkapan rumah jabatan anggota DPR RI tahun anggaran 2020.
Pada Mei 2024, lembaga antirasuah tersebut mulai memeriksa Indra sebagai saksi. Sekjen DPR-RI tersebut dicecar sejumlah pertanyaan, diantaranya mengenai dugaan vendor yang mendapatkan keuntungan. Selain itu tim penyidik juga mengonfirmasi mengenai kaitan jabatan dan tugas saksi selaku Sekjen DPR RI.
“Termasuk dikonfirmasi pula dugaan adanya pihak vendor yang mendapatkan [keuntungan] secara melawan hukum dalam pengadaan barang dan jasa di DPR,” kata Kepala Bagian Pemberitaan Ali Fikri kepada wartawan, Kamis (16/5/2024).
Berdasarkan penelusuran Tirto di laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) DPR pada 2020, setidaknya ada empat proyek pengadaan kelengkapan sarana RJA DPR yang terkait dengan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI dengan nilai total Rp121,4 miliar.
Pertama, Pengadaan Kelengkapan Sarana RJA DPR RI Kalibata Blok E dan F dengan nilai Rp34 miliar. Tender ini diikuti oleh 71 perusahaan peserta dan hanya tujuh perusahaan yang memberikan penawaran. Tender ini dimenangkan oleh PT Paramita Multi Prakasa yang beralamat di Prakasa Ruko Bojong Indah Lantai 2 Jl. Pakis Raya No. 88 N Rt 009 Rw 06 Kel.Rawa Buaya, Kec.Cengkareng - Jakarta Barat.
Dengan harga penawaran sekira Rp32,8 miliar dan tanpa koreksi administrasi, kualifikasi hingga teknis perusahaan tersebut melenggang sebagai pemenang tender ini. Pesaing lainnya seperti PT Wahyu Sejahtera Berkarya yang menawar lebih tinggi di angka RP32,9 miliar tidak lolos dengan alasan tidak menyertakan brosur untuk AC, TV, kulkas dan mesin cuci.
Menukil pemberitaan Kompas, PT Paramita Multi Prakasa pernah menjadi salah satu perusahaan pemenang lelang tender pengadaan uninterruptible power supply (UPS) yang diketahui menerima imbalan berkisar Rp30 juta sampai Rp75 juta karena meminjamkan nama perusahaan mereka pada 2015 lalu.
Kedua, Pengadaan Kelengkapan Sarana RJA DPR RI Kalibata Blok A dan B dengan nilai sebesar Rp39,7 miliar yang diikuti oleh 70 perusahaan dengan tujuh perusahaan mengajukan harga penawaran. Tender ini dimenangkan oleh PT Dwitunggal Bangun Persada yang beralamat di Jl. Olympic Raya Kav. B Commercial Area Industri Sentul, Desa Sentul, Kec. Babakan Madang, Kabupaten Bogor.
Dengan harga penawaran sekira Rp38,9 miliar dan tanpa koreksi administrasi, kualifikasi hingga teknis perusahaan tersebut melenggang sebagai pemenang tender ini. Pesaing lainnya seperti PT Elsa Graha Multikarya yang menawar lebih tinggi di angka Rp39,1 miliar tidak lolos dengan alasan tidak menyertakan rekening koran/referensi bank.
Ketiga, Pengadaan Kelengkapan Sarana RJA DPR RI Kalibata Blok C dan D dengan nilai sebesar Rp37,7 miliar yang diikuti oleh 69 perusahaan dengan lima perusahaan mengajukan harga penawaran. Tender ini dimenangkan oleh PT Haradah Jaya Mandiri yang mengajukan penawaran tertinggi di angka Rp36,7 miliar.
Keempat, Pengadaan Kelengkapan Sarana RJA DPR RI Ulujami dengan nilai sebesar Rp10 miliar yang diikuti oleh 88 perusahaan dengan enam perusahaan mengajukan harga penawaran. Tender ini dimenangkan oleh PT Hagitasintar Lestarimegah yang mengajukan tawaran tertinggi di angka Rp9,75 miliar.
Sebagai informasi, sejumlah nama direksi perusahaan pemenang tender tersebut, seperti Direktur PT Dwitunggal Bangun Persada, Juanda Hasurungan Sidabutar, dan Direktur PT Haradah Jaya Mandiri bernama Adhar, telah diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus yang menjerat Sekjen DPR Indra Iskandar ini. Juanda menjadi salah satu nama yang dicekal ke luar negeri oleh KPK.
Kongkalikong Antara Pemberi Proyek dan Vendor
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Misbah Hasan, menduga modus korupsi kasus ini berkutat pada penggelembungan harga (mark up) dan pemberian timbal balik (feedback) antara pemberi proyek dalam hal ini Setjen DPR dan vendor.
Dalam kasus ini, Misbah menilai ada potensi kongkalikong antara pihak penyedia proyek dengan para vendor atau kontraktor yang akan mengikuti lelang ini.
“Karena sudah ada indikasi deal dan feedback, artinya meskipun tender ini melalui proses bidding dan sebagainya tapi pemenang tendernya biasanya sudah ditetapkan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (10/3/2025).
Ia meminta KPK untuk menelusuri kasus ini secara tuntas hingga hulu. Menurutnya, tak cukup bagi lembaga antirasuah itu jika berhenti menyelidiki kasus ini hanya sampai keterlibatan Sekjen DPR, Indra Iskandar. Perlu juga untuk membuka ke publik kemana aliran dana korupsi itu mengalir apakah berpotensi mengalir ke partai politik atau lembaga tertentu.
Misbah menduga proses korupsi dalam kasus ini sudah ada sejak tahap penetapan anggaran. Secara garis besar, ia menjelaskan proses penganggaran bermula dari pengajuan Setjen DPR dalam trilateral meeting antara DPR, Bappenas dan Kemenkeu. Setelah itu rencana anggaran akan diakomodir dalam nota keuangan dan RAPBN sebelum dibahas pada rapat komisi di parlemen.
“Rangkaian proses ini yang juga harus ditelusuri KPK. Untuk melihat apakah ada potensi korupsinya sejak proses perencanaan anggaran,” katanya.
Sementara itu, peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, melihat ada indikasi korupsi dalam hal pengadaan barang dan jasa dalam proyek perbaikan dan pemeliharaan RJA DPR selama periode 2019-2024.
Ia menyinggung pernyataan Sekjen DPR RI Indra Iskandar yang menyebut bahwa rumah dinas DPR itu sudah tua, dan dianggap bakal membutuhkan ongkos pemeliharaan yang lebih mahal ketimbang memberikan uang tunjangan perumahan.
Dalam satu kesempatan pada Oktober 2024 lalu, Indra memang mengungkap, setiap hari pihaknya menerima sebanyak 15-20 keluhan dari anggota DPR dalam aplikasi perawatan rumah jabatan Kalibata (Perjaka). Mayoritas keluhan karena atap rumah bocor.
Arief melihat pernyataan Indra itu sebagai suatu anomali, hal ini disebabkan tiap tahun selalu ada anggaran untuk perbaikan dan pemeliharaan RJA DPR ini dengan jumlah yang fantastis.
“Padahal di RAB-nya ya, rincian anggaran setiap tahunnya itu ada misalkan untuk benerin plafon, keramik dan sebagainya gitu tetapi ya gitu gak ada perbaikan katanya. Terus tiap tahun juga ada pengadaan furniture, kulkas, TV tapi juga sama aja gitu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (10/3/2025).
Terkait kasus ini, ia meminta KPK tak berhenti mengusut kasus ini pada tahun anggaran 2020 saja, melainkan selama satu periode utuh 2019-2024.
Sebagai informasi, berdasarkan penelusuran ICW dalam laman LSE DPR, dalam kurun waktu 2019-2024 terdapat 27 paket pengadaan terkait dengan RJA DPR dengan total kontrak senilai Rp374,53 miliar. Dua paket di antaranya dilakukan pada 2024 untuk pemeliharaan mekanikal, elektrikal dan plumbing dengan total kontrak sebesar Rp35,8 miliar.
“Kami menganggap ini satu ada potensi korupsi. Kedua, selama proses pengadaan ini rawan dimanipulasi karena tren nya yang menang tender itu-itu aja PT nya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (10/3/2025)
Arief dari IPC mencatat, bukan kali pertama Setjen DPR RI mendapat sorotan karena kasus pengadaan barang dan jasa RJA DPR. Pada Mei 2022 lalu, lembaga ini juga sempat menjadi perbincangan saat melakukan pengadaan barang bernilai fantastis Rp48,7 miliar yang digunakan untuk penggantian gorden dan blind rumah dinas anggota dewan.
Jumlah tersebut merupakan nilai pagu paket. Nilai hasil perkiraan sendiri (HPS) sebesar Rp45,7 miliar. Menurut laporan informasi tender dari situs lpses.dpr.go.id, proses lelang tender ini dimenangkan oleh PT Bertiga Mitra Solusi dengan penawaran Rp43,5 miliar.
Untuk mendapatkan tender ini, PT Mitra Bertiga Solusi berhasil mengalahkan 49 perusahaan lainnya. Namun dari 49 perusahaan, hanya 3 yang mengumpulkan berkas hingga muncul pemenangnya.
ICW pada saat itu mencatat adanya potensi kecurangan pada pengadaan gorden bagi rumah dinas anggota DPR ini. Misalnya dari segi pendaftar ada 49 perusahaan, namun hanya 3 yang melaporkan persyaratan sedangkan lainnya nihil.
Selain itu, dari 3 perusahaan tersebut, yang memegang izin usaha untuk dekorasi interior hanya PT Bertiga Mitra Solusi. Sedangkan dua perusahaan lainnya sama sekali tidak memiliki izin usaha tersebut. Hal ini patut diduga bahwa proses pengadaan tersebut hanya bersifat formalitas saja karena tidak ada kompetisi antar para penyedia.
Rawan Penyimpangan
Seperti yang diketahui, anggota DPR RI periode 2024-2029 tak lagi mendapatkan RJA, sebagaimana termaktub dalam surat Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang diteken Sekretariat Jenderal. Surat itu diterbitkan pada 25 September 2024. Sebagai gantinya, anggota dewan bakal mendapat uang tunjangan untuk perumahan setiap bulan.
"Karena rumahnya ditarik semua akan dikembalikan ke Kemensetneg. Mereka, anggota dewan, itu nanti akan mendapat tunjangan perumahan dalam bentuk tunjangan," kata Sekjen DPR RI, Indra Iskandar saat dihubungi, Jumat (4/10/2024) lalu.
Saat itu, Indra mengatakan total tunjangan anggota DPR RI kemungkinan di atas Rp70 juta per bulan, lantaran tak lagi mendapatkan fasilitas rumah jabatan anggota (RJA). Indra mengatakan, kalkulasi besaran tunjangan rumah DPR masih dikaji.
Nominalnya diperkirakan lebih besar dibanding dengan tunjangan anggota DPRD di sejumlah daerah yang berkisar Rp40 juta-Rp50 juta per bulan untuk perumahan. Sebab, harga properti di Jakarta lebih mahal ketimbang wilayah Indonesia lainnya. Bahkan tunjangan untuk rumah anggota anggota DPRD Jakarta ada di angka Rp70,4 juta.
“Itu di daerah lho harga properti logikanya di daerah dan DKI pasti berbeda,” kata Indra usai meninjau rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (7/10/2024).
Misbah dari Seknas FITRA menilai proses pemberian tunjangan rumah ke anggota DPR RI ini lebih rentan terhadap potensi penyimpangan. Hal ini disebabkan, tidak ada ukuran dan indikator yang jelas soal pertanggungjawaban dari uang tunjangan itu.
“Apakah alokasi anggaran yang dititipkan kepada masing-masing anggota DPR itu betul-betul digunakan untuk rumah, misalnya renovasi rumah jabatannya atau apa gitu,” katanya
Sementara, Arief dari IPC menilai pemberian tunjangan rumah ke anggota DPR RI dalam bentuk uang justru akan semakin banyak membuang anggaran. Ia mengusulkan seharusnya anggota DPR menikmati fasilitas rumah dinas yang telah ada dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
“Kalau misalkan anggota mau beli rumah atau sewa apartemen sendiri ya silakan pakai uang sendiri nggak usah ada tunjangan lagi. Ini kan pas dengan momen efisiensi,” katanya
Merujuk simulasi ICW, apabila anggota DPR RI mendapatkan tunjangan sebesar Rp50-70 juta per bulan, maka diperkirakan ada pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Perhitungan tersebut didapatkan dari pengurangan antara tunjangan yang didapatkan oleh anggota DPR selama lima tahun dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki RJA menggunakan mekanisme pengadaan.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang